Korelasi antara Puasa Ramadan dan Korupsi
Oleh Anis Fatiha, S.Ag., M.Pd.
Kabid Penelitian dan Pengembangan (R&D) Agerlip PGM Indonesia | Kepala MA Madania Bantul
Puasa Ramadan merupakan ibadah yang tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT, tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter dan moral individu. Selama bulan Ramadan, umat Muslim dianjurkan untuk menahan diri dari perilaku yang merugikan, termasuk tindakan yang tidak etis dan tidak jujur.
Dalam konteks ini, menarik untuk melihat apakah puasa Ramadan memiliki korelasi dengan tingkat korupsi dalam masyarakat, baik secara individu maupun secara struktural. Saat ini kita dikejutkan oleh banyak pemberitaan di media sosial terkait jumlah nominal korupsi yang merugikan negara.
Contoh kasus korupsi dengan nominal kerugian terbesar di Indonesia adalah kasus tata niaga timah yang melibatkan PT Timah Tbk, dengan total kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Kasus ini terjadi dalam periode 2015-2022 dan melibatkan 21 tersangka.
Selain itu, kasus dugaan korupsi di Pertamina juga menimbulkan kerugian negara yang signifikan, mencapai Rp 193,7 triliun (sekitar US$12 miliar). Kasus ini melibatkan tujuh tersangka, termasuk beberapa eksekutif dari anak perusahaan Pertamina, terkait impor minyak mentah dan manipulasi kualitas bensin selama periode 2018-2023. Nominal angka yang dikorupsi tersebut sangat fantastis, sehingga menyebabkan kerugian negara yang seharusnya bisa dialokasikan ke dana lain yang bermanfaat dan menyejahterakan rakyat.
Puasa Ramadan sebagai Pembentuk Karakter
Puasa Ramadan mengajarkan nilai-nilai kejujuran, disiplin, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama. Melalui praktik ini, individu diharapkan lebih mampu mengendalikan hawa nafsu, termasuk godaan untuk melakukan tindakan korupsi.
Dengan menahan diri dari tindakan curang atau manipulatif, seseorang dapat membentuk kebiasaan hidup yang lebih berintegritas. Jika nilai-nilai ini benar-benar diinternalisasi, maka diharapkan dapat mengurangi kecenderungan seseorang untuk terlibat dalam praktik korupsi.
Korelasi Puasa Ramadan dengan Kesadaran Sosial
Puasa juga menumbuhkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung, mengingatkan individu pada realitas kemiskinan dan penderitaan yang dialami banyak orang. Kesadaran sosial ini dapat berperan dalam mengurangi dorongan untuk melakukan korupsi, karena seseorang yang memiliki empati tinggi lebih cenderung menghindari tindakan yang dapat merugikan orang lain. Dengan demikian, jika praktik puasa Ramadan benar-benar diamalkan secara mendalam, dapat tercipta budaya kepedulian yang bertentangan dengan prinsip korupsi yang berorientasi pada keuntungan pribadi.
Tantangan dalam Implementasi Nilai Puasa
Meskipun puasa mengajarkan nilai-nilai moral yang tinggi, kenyataannya tingkat korupsi di negara-negara mayoritas Muslim masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah puasa saja tidak cukup untuk memberantas korupsi tanpa adanya sistem yang mendukung transparansi dan akuntabilitas.
Banyak individu yang tetap menjalankan praktik korupsi meskipun mereka berpuasa, yang menandakan bahwa ada kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengintegrasikan nilai-nilai puasa ke dalam praktik pemerintahan dan kebijakan publik.
Secara konseptual, puasa Ramadan memiliki korelasi positif dengan upaya pemberantasan korupsi melalui pembentukan karakter yang jujur, disiplin, dan empati. Namun, dalam praktiknya, dampaknya belum selalu terlihat secara nyata dalam menurunkan tingkat korupsi.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara nilai-nilai agama dan sistem hukum serta kebijakan yang mendukung integritas dalam kehidupan bernegara. Jika nilai-nilai puasa benar-benar diinternalisasi dan didukung oleh sistem yang baik, maka puasa Ramadan dapat menjadi salah satu faktor dalam membangun masyarakat yang lebih bersih dari korupsi.