Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Menulis karya tulis ilmiah (KTI) sudah lama
menjadi bagian dari kewajiban guru dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan
(PKB), terutama untuk kepentingan kenaikan pangkat.
Namun, hingga hari ini, masih banyak guru yang
menganggap KTI sebagai beban administratif semata, bukan sebagai sarana
reflektif, pengembangan diri, atau kontribusi keilmuan. Padahal, regulasi
seperti PermenPAN-RB Nomor 16 Tahun 2009 telah menggarisbawahi pentingnya
publikasi ilmiah sebagai unsur penunjang profesionalisme guru.
Sebagian besar guru belum melihat karya tulis ilmiah
sebagai alat untuk tumbuh dan belajar. Ini bisa dimaklumi jika menilik pada
beberapa kendala klasik yang terus berulang: kurangnya pemahaman tentang
struktur penulisan ilmiah, minimnya kemampuan meneliti, dan terbatasnya akses
terhadap bimbingan teknis dan jurnal yang sesuai.
Ditambah lagi, tekanan administratif dari kewajiban
angka kredit sering kali membuat penulisan dilakukan sekadarnya, tanpa semangat
ilmiah yang murni.
Padahal, esensi KTI bukan semata memenuhi angka
kredit, melainkan bagian dari proses ilmiah yang sah untuk mengembangkan
kualitas pendidikan. Karya tulis ilmiah bisa berbentuk artikel ilmiah, makalah,
skripsi, tesis, disertasi, hingga kertas kerja dan paper seminar.
Setiap jenis memiliki kedalaman dan target pembaca
berbeda, namun semuanya bermuara pada satu hal: mendorong guru berpikir,
meneliti, dan menulis untuk menyelesaikan masalah nyata dalam pembelajaran.
Karya tulis ilmiah yang baik memiliki ciri-ciri
objektif, sistematis, logis, dan empiris. Ia disusun dengan pendekatan ilmiah,
menggunakan data atau referensi yang sahih, serta taat pada etika
akademik—termasuk menghindari plagiarisme.
Sayangnya, masih banyak guru yang belum memahami
pentingnya prinsip APIK (Asli, Perlu, Ilmiah, Konsisten) dalam menulis
KTI. Padahal, menulis dari hasil pengalaman mengajar sendiri atau refleksi
pembelajaran bisa menjadi bahan tulisan yang sangat relevan dan kontekstual.
Pengalaman dari pelatihan BDK Bandung menunjukkan
bahwa guru sebenarnya mampu menyusun KTI yang layak publikasi jika dibekali
pelatihan yang tepat. Dalam pelatihan itu, peserta tidak hanya belajar teori,
tapi juga praktik langsung mulai dari menentukan topik, menyusun metodologi,
menganalisis data, hingga menuliskan hasil penelitian.
Format penulisan seperti IMRAD (Introduction, Methods,
Results, and Discussion) diajarkan sebagai pola baku penulisan artikel ilmiah.
Lebih lanjut, KTI bukan hanya bermanfaat untuk guru
secara individu. Secara kolektif, budaya menulis dan meneliti dapat membangun
ekosistem pendidikan yang lebih sehat, kolaboratif, dan berbasis data.
Pengetahuan yang tertulis dalam bentuk artikel atau
makalah dapat menjadi rujukan bagi guru lain, pembuat kebijakan, hingga calon
guru yang sedang menempuh pendidikan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan ekosistem
yang mendukung: adanya mentoring, ruang publikasi, komunitas menulis, dan
penghargaan terhadap guru penulis. Institusi pendidikan dan pemerintah juga
harus bersikap adil: tidak hanya mewajibkan guru menulis, tapi juga
memfasilitasi secara nyata dengan pendampingan berkelanjutan.
Sudah saatnya paradigma tentang karya tulis ilmiah
bergeser. Guru bukan lagi hanya pelaksana kurikulum, tetapi juga penghasil
pengetahuan. Menulis bukan beban, tetapi peluang untuk berbicara melalui
data dan pengalaman.
Jika tulisan guru bisa mengubah praktik kelas,
menginspirasi guru lain, dan mempengaruhi kebijakan, bukankah itu panggilan
intelektual yang sesungguhnya?
Pertanyaannya kini, bukan lagi haruskah guru
menulis KTI, tapi kapan guru mulai menulis dengan kesadaran dan kebanggaan?
Post a Comment