(63) Modul DDWK Kemenag BDK Bandung: Mengapa Karya Tulis Ilmiah Jadi Syarat Guru Naik Pangkat, Tapi Tetap Dianggap Beban?

 

                                                           Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Menulis karya tulis ilmiah (KTI) sudah lama menjadi bagian dari kewajiban guru dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), terutama untuk kepentingan kenaikan pangkat.

Namun, hingga hari ini, masih banyak guru yang menganggap KTI sebagai beban administratif semata, bukan sebagai sarana reflektif, pengembangan diri, atau kontribusi keilmuan. Padahal, regulasi seperti PermenPAN-RB Nomor 16 Tahun 2009 telah menggarisbawahi pentingnya publikasi ilmiah sebagai unsur penunjang profesionalisme guru.

Sebagian besar guru belum melihat karya tulis ilmiah sebagai alat untuk tumbuh dan belajar. Ini bisa dimaklumi jika menilik pada beberapa kendala klasik yang terus berulang: kurangnya pemahaman tentang struktur penulisan ilmiah, minimnya kemampuan meneliti, dan terbatasnya akses terhadap bimbingan teknis dan jurnal yang sesuai.

Ditambah lagi, tekanan administratif dari kewajiban angka kredit sering kali membuat penulisan dilakukan sekadarnya, tanpa semangat ilmiah yang murni.

Padahal, esensi KTI bukan semata memenuhi angka kredit, melainkan bagian dari proses ilmiah yang sah untuk mengembangkan kualitas pendidikan. Karya tulis ilmiah bisa berbentuk artikel ilmiah, makalah, skripsi, tesis, disertasi, hingga kertas kerja dan paper seminar.

Setiap jenis memiliki kedalaman dan target pembaca berbeda, namun semuanya bermuara pada satu hal: mendorong guru berpikir, meneliti, dan menulis untuk menyelesaikan masalah nyata dalam pembelajaran.

Karya tulis ilmiah yang baik memiliki ciri-ciri objektif, sistematis, logis, dan empiris. Ia disusun dengan pendekatan ilmiah, menggunakan data atau referensi yang sahih, serta taat pada etika akademik—termasuk menghindari plagiarisme.

Sayangnya, masih banyak guru yang belum memahami pentingnya prinsip APIK (Asli, Perlu, Ilmiah, Konsisten) dalam menulis KTI. Padahal, menulis dari hasil pengalaman mengajar sendiri atau refleksi pembelajaran bisa menjadi bahan tulisan yang sangat relevan dan kontekstual.

Pengalaman dari pelatihan BDK Bandung menunjukkan bahwa guru sebenarnya mampu menyusun KTI yang layak publikasi jika dibekali pelatihan yang tepat. Dalam pelatihan itu, peserta tidak hanya belajar teori, tapi juga praktik langsung mulai dari menentukan topik, menyusun metodologi, menganalisis data, hingga menuliskan hasil penelitian.

Format penulisan seperti IMRAD (Introduction, Methods, Results, and Discussion) diajarkan sebagai pola baku penulisan artikel ilmiah.

Lebih lanjut, KTI bukan hanya bermanfaat untuk guru secara individu. Secara kolektif, budaya menulis dan meneliti dapat membangun ekosistem pendidikan yang lebih sehat, kolaboratif, dan berbasis data.

Pengetahuan yang tertulis dalam bentuk artikel atau makalah dapat menjadi rujukan bagi guru lain, pembuat kebijakan, hingga calon guru yang sedang menempuh pendidikan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan ekosistem yang mendukung: adanya mentoring, ruang publikasi, komunitas menulis, dan penghargaan terhadap guru penulis. Institusi pendidikan dan pemerintah juga harus bersikap adil: tidak hanya mewajibkan guru menulis, tapi juga memfasilitasi secara nyata dengan pendampingan berkelanjutan.

Sudah saatnya paradigma tentang karya tulis ilmiah bergeser. Guru bukan lagi hanya pelaksana kurikulum, tetapi juga penghasil pengetahuan. Menulis bukan beban, tetapi peluang untuk berbicara melalui data dan pengalaman.

Jika tulisan guru bisa mengubah praktik kelas, menginspirasi guru lain, dan mempengaruhi kebijakan, bukankah itu panggilan intelektual yang sesungguhnya?

Pertanyaannya kini, bukan lagi haruskah guru menulis KTI, tapi kapan guru mulai menulis dengan kesadaran dan kebanggaan?

Post a Comment

Previous Post Next Post