Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag, S.Pd, M.Ag
Sebuah pertanyaan kritis muncul di grup WhatsApp
Persatuan Guru Madrasah (PGM) Kabupaten Garut pada Rabu, 7 Juni 2025 pukul
12.56 WIB. Ketua PGM Garut, Alan Muhtar, S.Pd.I., M.Pd., menggugah
rekan-rekannya dengan bertanya, “Apa alasan di balik kebijakan Pak Gubernur
Dedi Mulyadi tentang pendidikan di barak militer bagi siswa yang kurang baik?
Mengapa orang tua mendukung pendidikan di barak militer, tetapi marah ketika
disiplin militer diterapkan di sekolah?”
Pertanyaan tersebut seketika menjadi bahan
diskusi panjang, karena menyentuh isu krusial: pendidikan karakter,
kedisiplinan, dan hubungan antara sekolah, orang tua, serta kebijakan publik.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memang
beberapa kali mengeluarkan pernyataan tegas bahwa pendidikan harus kembali
membentuk karakter kuat, dan salah satu caranya adalah mengirimkan siswa
bermasalah ke tempat pelatihan semi-militer. Tujuannya jelas: membentuk
ketangguhan mental, kedisiplinan, serta rasa tanggung jawab melalui lingkungan
yang penuh aturan dan konsekuensi.
Orang tua pun banyak yang menyambut kebijakan ini
secara positif. “Biar anak saya jadi tahu rasa,” kata salah satu orang tua di
forum daring saat kebijakan ini dirilis. Ironisnya, ketika sekolah menerapkan
kedisiplinan serupa dengan penegakan aturan berpakaian, larangan penggunaan
gawai saat pelajaran, hingga hukuman ringan untuk keterlambatan justru protes
bermunculan. Sekolah dianggap terlalu keras, guru dituduh tidak ramah, dan
bahkan beberapa dilaporkan ke dinas tanpa klarifikasi terlebih dahulu.
Inilah paradoks yang dihadapi dunia pendidikan
hari ini. Ketika sekolah berupaya membentuk karakter dan menegakkan aturan,
justru berhadapan dengan tekanan sosial dari luar, khususnya orang tua yang
merasa anaknya ‘dizalimi’. Padahal, semua pihak sepakat bahwa pendidikan bukan
hanya soal nilai akademik, tetapi juga pembentukan watak.
Lalu, apa kendala yang dihadapi guru saat mencoba
menerapkan disiplin ala militer di sekolah? Pertama, kurangnya payung hukum dan
perlindungan terhadap guru saat menghadapi resistensi dari orang tua. Banyak
guru akhirnya memilih ‘main aman’ dan tidak lagi konsisten dalam menegakkan
aturan.
Kedua, ketidaksinkronan nilai antara rumah dan
sekolah. Ketika sekolah mengajarkan keteraturan, tapi di rumah anak dimanjakan
dan tidak dibiasakan tanggung jawab, maka nilai-nilai itu akan berkonflik di
dalam diri siswa.
Ketiga, belum ada pelatihan khusus bagi guru
untuk menerapkan disiplin secara efektif, adil, dan komunikatif, sehingga
pendekatannya sering disalahpahami sebagai kekerasan atau otoriter.
Dari sudut pandang kebijakan, kebijakan
pendidikan barak ala militer memang bukan untuk semua siswa. Ini pendekatan
terakhir bagi mereka yang benar-benar sulit ditangani di jalur reguler.
Namun jika sekolah dibekali sistem pendukung,
pelatihan manajemen kelas, serta kepercayaan dari orang tua, maka sekolah bisa
menjadi “barak karakter” yang hangat tapi tegas, tanpa harus membawa siswa ke
tempat yang jauh dan ekstrem.
Diperlukan sinergi antara guru, sekolah,
pemerintah, dan orang tua untuk menyelaraskan nilai-nilai pendidikan. Orang tua
harus diajak menjadi mitra sejati dalam proses pendidikan karakter, bukan
sekadar klien yang menuntut layanan.
Pemerintah juga harus hadir dengan kebijakan yang
melindungi guru yang menegakkan disiplin dan memberikan pelatihan konkret agar
disiplin tak bermakna kekerasan, tapi jadi pembiasaan.
Menjawab pertanyaan Alan Muhtar, kebijakan
pendidikan barak militer hadir karena sistem sekolah dinilai belum cukup kuat
dalam mendisiplinkan siswa secara sistemik. Tetapi solusi sejati bukan pada
pemindahan siswa ke tempat ekstrem, melainkan memperkuat sekolah sebagai rumah
disiplin yang konsisten, manusiawi, dan didukung penuh oleh orang tua serta
negara.
Pertanyaannya kini bukan lagi soal setuju atau
tidak dengan model barak militer, tetapi: apakah kita siap membenahi budaya
sekolah dengan nilai-nilai disiplin yang adil, bijak, dan berkelanjutan? Karena
mendidik karakter bukan tugas satu arah, tetapi kerja sama lintas generasi dan
instansi.
Post a Comment