(Disajikan dalam rangka Harlah PGM Indonesia ke-17)
Oleh: Dr. Hj. Neni Argaeni, M.Pd.I. | Wakil Ketua Umum PP PGM Indonesia
Lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 disambut gembira oleh dunia madrasah karena sejak itu kata “madrasah” secara de jure disebut dalam sistem Pendidikan nasional. Penyebutan ini tertuang dalam Bab VI, Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.” Selanjutnya ada di Pasal 18, ayat (3) yang menyebutkan “Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.”
Kelahiran undang-undang tersebut di atas tidak serta-merta menjadikan madrasah mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah, terutama perlakuan pemerintah daerah terhadap madrasah, di mana madrasah dianggap sebagai bagian dari lembaga vertikal Departemen Agama yang memiliki kebijakan anggaran yang berpusat di Jakarta. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang pendanaan Pendidikan yang kemudian diubah dengan PP No 18 Tahun 2022 tentang perubahan atas peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan
Perjuangan tentang pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi seperti menemui kebuntuan mengingat pada waktu itu Departemen Agama dengan anggaran yang terbatas harus mengurus banyak sekali lembaga keagamaan seperti pondok pesantren, majlis ta’lim, masjid, serta mushala yang secara nyata telah menjadi pusat pendidikan agama di Indonesia.
Kegalauan para penyelenggara dan guru madrasah sedikit terobati dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen terutama Bab III, Pasal 7 ayat (1) yang mengatur tentang prinsip profesionalitas, di mana guru sebagai sebagai profesi harus memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Menyadari pentingnya guru madrasah bersatu menyuarakan hak dan kewajibannya serta mensosialisasikan keberadaan madrasah dan guru madrasah yang sedikitnya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sistem pendidikan nasional, mulailah dilakukan pertemuan intensif di antara para aktivis guru madrasah. Selain pertemuan intensif, konsultasi juga dilakukan kepada pihak terkait seperti Menteri Agama, Dirjen Pendidikan Islam Direktur Pendidikan Madrasah, Dirjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPR RI komisi VIII dan komisi X, Ketua PB PGRI, Gubernur, Bupati, dan Walikota, termasuk didalamnya Menteri Pendidikan Nasional Profesor Bambang Sudibyo, M.B.A., di mana penulis mendapatkan kesempatan untuk membacakan puisi yang kami sampaikan di awal tulisan ini.
Di berbagai kabupaten dan kota -kota di Jawa Barat bermunculan perkumpulan profesi guru madrasah dengan nama yang berbeda-beda, seperti Persatuan Guru Madrasah Republik Indonesia (PGM RI) yang dipimpin oleh Mohammad Sholeh di Kota Depok dan Persatuan Guru Madrasah (PGM) yang dipimpin oleh Ubaydillah Khoir di Kota Bekasi. Maka pada bulan Desember 2007 diadakanlah Musyawarah Pembentukan Perkumpulan Guru Madrasah (Mustuk PGM) di Lapangan Gasibu Bandung yang dihadiri perwakilan guru madrasah dari berbagai kota dan kabupaten se-Jawa Barat. Dengan mengendarai bus, kereta api, dan kendaraan pribadi, guru madrasah datang berbondong-bondong dengan biaya masing-masing memenuhi Lapangan Gasibu Bandung. Salah satu Keputusan Mustuk adalah deklarasi persatuan guru madrasah yang diketuai Ir. H. Yaya Ropandi. Penulis absen dalam pertemuan tersebut karena sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah al-Mukarramah.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya makin intensif dilakukan hingga berkembang pemikiran untuk melakukan deklarasi Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) secara nasional. Maka mulailah kami melakukan silaturahmi dan lobi-lobi dengan provinsi terdekat, dalam hal ini Banten dan DKI Jakarta. Rupanya pada waktu itu di Banten sudah ada Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) yang diketuai Syamsudin sampai sekarang, bahkan beliau mengajak kami bergabung ke PGMI, namun karena amanat yang diemban adalah melakukan Musyawarah Nasional (MUNAS) guru madrasah, maka kami tidak dapat mengikuti ajakan tersebut tanpa melalui munas guru madrasah. Selanjutnya dilakukanlah pertemuan di MTsN Cibinong Kabupaten Bogor pada awal April 2007 dengan kepala sekolah pada waktu itu dijabat oleh Muhamad Nizar.
Penulis mendapat amanah untuk menjadi Ketua Panitia Munas Guru Madrasah yang direncanakan berlangsung pada bulan Juli 2008 di Jakarta. Panitia Mustuk Jawa Barat memberikan dana awal sebesar Rp6.800.000,00. Sementara itu setelah tersusun proposal kegiatan Munas, untuk kepentingan pertemuan tingkat nasional dengan menyewa seluruh ruang penginapan dan ruang pertemuan di Wiladatika Cibubur dibutuhkan dana sebesar Rp200.000.000,00 di mana Aula Pandan Sari menjadi tempat dilaksanakannya Musyawarah Nasional Guru Madrasah dan deklarasi pembentukan Persatuan Guru Madrasah (PGM).
Alhamdulillah, berbekal keyakinan akan pertolongan Allah Swt. dan keyakinan akan etos kerja seluruh panitia serta visi yang sama dari seluruh guru madrasah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi profesi yang dibentuk untuk, dari, dan oleh guru madrasah sendiri, maka pada tanggal 23 s.d. 24 Juli 2008 dilaksanakanlah Musyawarah Nasional (MUNAS) Guru Madrasah yang dihadiri oleh 9 utusan provinsi dan tidak kurang dari 1.300 orang guru madrasah menjadi peserta seminar nasional dengan berkontribusi sebesar Rp100.000,00/orang. Kegiatan dibuka oleh Pejabat Menteri Agama, Dr. Mashusi dengan narasumber Prof. Muhamad Surya selaku Ketua PB PGRI pada masa itu dan Dr. M. Syafei dari Departemen Agama. Hadir dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Ir. H. Ginandjar Kartasasmita, M.Eng. selaku Ketua DPD RI, Zulkarnaen Djabar dari komisi VIII DPR RI, dan Bapak Ibu anggota dewan serta pejabat lainnya.
Penulis mendapat dukungan moral yang luar biasa dari ayahanda K.H. Nian Atmadja yang juga Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Depok yang pertama, Bapak Subagio selaku Mantan Kepala Biro Kepegawaian Departemen Agama RI, Prof. Sudarsono Harjo Sukanto selaku Dirjen Kesbangpol masa itu, serta tokoh-tokoh lain yang tidak memungkinkan ditulis namanya satu per satu dalam tulisan ini. Terpilih dalam Munas tersebut Prof. Abdul Madjid sebagai Ketua Umum, Ahmad Sadeli sebagai Sekretaris Jenderal, dan Neni Argaeni Sebagai Bendahara Umum. Dalam rangka memenuhi legalitas organisasi, PGM mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor AHU-34.AH01.06 Tahun 2009 tanggal 16 Maret 2009 dengan diberi nama Perkumpulan Guru Madrash Indonesia, mengikuti peraturan yang berlaku mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur perkumpulan. Pada Munas kedua, nama Perkumpulan Guru Madrasah Indonesia disingkat menjadi PGM Indonesia.
Pada Munas II PGM Indonesia dipimpin oleh K.H. Thoif Abdul Manan, Sekretaris Jenderal Badruddin dan Bendahara Umum masih dipercayakan kepada Neni Argaeni. sehubungan KH. Thoif Abdul Manan berpulang ke Rahmatullah, maka terjadi kevakuman sementara sehingga diadakan rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang dihadari semua pendiri. Selanjutnya terpilihlah H. Agus Ridallah sebagai Ketua Umum, Neni Argaeni sebagai Sekretaris Jenderal, dan Masdalipah sebagai Bendahara Umum. Masa-masa yang berat itu dapat dilalui sampai terlaksananya Munas III yang digelar di Chevilly Hotel dan Resort dengan Ir. H. Yaya Ropandi menjadi Ketua Umum yang terpilih secara aklamasi, Sekretaris Jenderal Asep Rizal Asyari dan Bendahara Umum Ahmad Nadjiullah. Saat ini PGM INDONESIA telah memiliki perwakilan di berbagai provinsi di Indonesia dan sudan dirasakan manfaatnya oleh para guru madrasah dan stakeholder yang ada. Semoga PGM Indonesia dapat mencapai visi besarnya yaitu guru madrasah yang professional , sejahtera dan bermartabat.
Semoga
bermanfaat
Depok,
07 Mei 2025