Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Wakil
Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 121)
Langit Garut masih pucat
ketika koridor SBSN MTsN 2 Garut dipenuhi langkah kecil yang gugup namun
semangat. Jumat, 20 Juni 2025, bukan sekadar akhir semester. Di kelas 7A,
suasana berbeda terasa: bukan nilai yang dipamerkan, tapi keberanian dan rasa
percaya diri yang dirayakan.
Rubiana, S.Pd., wali kelas
7A, berdiri tenang di ujung lorong sambil memegang kotak berisi hadiah lucu dan
sertifikat. Ia bukan sekadar guru, tapi peneliti yang membawa pertanyaan:
apakah apresiasi personal bisa membuat anak percaya diri?
Ia memulai acara dengan
ritual “sapa-senyum-salam”. Setiap siswa dipanggil bukan sebagai angka, tapi
sebagai cerita. “Reni, terima kasih sudah jadi teladan,” ucapnya. Bukan
basa-basi. Kata-kata itu membuat anak merasa diakui, disayangi, dihargai.
Tepuk tangan menggema
ketika sepuluh besar diumumkan. Namun Rubiana menekankan, “Prestasi bukan trofi
diam, tapi pijakan untuk melompat bersama.” Usai itu, ia membagikan hadiah
kepada semua siswa. Makanan ringan yang dibungkus sederhana tapi penuh makna.
Semua anak mendapat bagian, semua diberi ruang untuk merasa istimewa.
Setiap anak juga menuliskan
satu kalimat syukur dan menempelkannya di “Pohon Percaya Diri”. Kelas berubah
jadi taman harapan. Bahkan anak yang nilainya biasa-biasa saja kini punya
cerita dibanggakan. Bukan tentang angka, tapi keberanian.
Tak hanya itu, tiap amplop
rapor juga berisi “surat rahasia” dari wali kelas. Isinya? Ucapan terima kasih
dan saran jujur. Orang tua diminta membalas surat itu dengan satu kalimat.
Dialog tiga arah pun tercipta guru, siswa, dan keluarga. Hangat dan mendalam.
Hasilnya? Kontak mata
meningkat, lebih banyak siswa berani bertanya soal nilainya. Seorang siswa yang
pemalu, Bambang, bahkan langsung cerita tentang hadiah komik dan ingin ikut
lomba pidato. Dampaknya nyata. Rapor bukan lagi momok, tapi motivasi.
PLH Kepala MTsN 2 Garut, Nurul
Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag., menyebut cara Rubiana sejalan dengan program
“Madrasah Ramah Siswa” yang digagas Kemenag. Rencana ke depan, metode ini akan
diperluas ke kelas lain. Hadiah sederhana bisa menjadi alat pendidikan
karakter.
Dosen Psikologi Pendidikan
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dr. Irmawan, menyebut ini sebagai bentuk nyata
“positive reinforcement” ala Skinner yang cocok untuk Gen Z madrasah. Hadiah
yang lucu dan ringan ternyata mampu mengurangi kecemasan.
Rubiana tengah menyusun
karya tulis ilmiahnya untuk dipublikasikan. Targetnya: Agustus 2025. Ia ingin
membuktikan bahwa pendekatan ini bukan hanya menyentuh hati, tapi juga punya
dasar ilmiah yang kuat. Dan siapa tahu, bisa menginspirasi guru lain di seluruh
Indonesia.
Akhirnya, hari itu bukan
cuma soal rapor. Tapi soal keberanian untuk percaya diri, menerima diri, dan
menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Semua itu dimulai dari satu langkah
kecil: mengubah cara kita memberi apresiasi.
Post a Comment