Jalan Pulang: Menerima Takdir, Menemukan Arah

Oleh: 

 Fatimah Nurjariah, M.Pd. | Guru Madrasah Ibtidaiyah Kab. Sukabumi


Ini adalah kisah teman SMA saya yang di DO dari kampusnya. Katakan saja namanya Rika. Saya dan Rika berteman baik. Namun kami berpisah setelah SMA karena tempat kuliah kami berbeda. Waktu itu saya mengambil jurusan keguruan sedangkan Rita mengambil jurusan Teknik di kampus yang berbeda. Mulai saat itu kami pun jarang bertemu dan berkomunikasi. Empat tahun kemudian saya baru bertemu kembali setelah diwisuda. 


Sore itu mendung. Angin berembus pelan menyapu dedaunan kering. Secara tidak  sengaja saya melihat Rika duduk di halte bis di kota kami. Wajahnya murung, matanya sembab. Di tangannya, tergenggam erat selembar surat keputusan—surat Drop Out dari fakultas tempat ia belajar selama hampir empat tahun terakhir.


Kemudian saya hampiri dia dan mulai bertanya, apakah gerangan yang membuatnya di DO dari kampus.


Mulailah dia bercerita sambil meneteskan air matanya. Air matanya jatuh perlahan, membasahi surat yang seolah menjadi bukti nyata dari kegagalannya. Rika bukan tidak berusaha. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia sadar—jalan yang ia tempuh selama ini bukan berdasarkan keyakinan, melainkan ikut-ikutan. Ia memilih jurusan teknik karena teman-temannya memilihnya. Bukan karena ia cinta. Bukan karena ia merasa itu jalan hidupnya. Kini semuanya terlambat. Ia merasa hancur. Gagal. Malu. Dan yang paling menyakitkan, merasa jauh dari Allah.


Sejenak, ketika Rika bercerita berderinglah ponselnya yang berada di tas mungilnya, ternyata panggilan dari ibunya. Disana saya melihat dan mendengar percakapan mereka.


“Assalamu’alaikum, Rika... kamu baik-baik saja, Nak?” tanya ibunya dengan suara lembut. Saat itu saya melihat Rika tak sanggup menjawab. Tangisnya pecah seketika. “Umi... Rika gagal. Rika di-DO. Semua sia-sia...” Namun sang ibu menjawab dengan bijak, “Nak, tak ada yang sia-sia dalam hidup seorang mukmin. Bahkan langkah yang salah pun bisa menjadi jalan pulang, jika kamu mau kembali kepada Allah. Mungkin ini bukan jalanmu. Tapi yakinlah, Allah sedang mengarahkan mu pada sesuatu yang lebih baik.”


Ucapan itu menusuk hati Aisyah. Ia pun mulai merenung. Selama ini, ia jauh dari Allah. Ia jarang salat, mulai meninggalkan kebiasaan mengaji, dan lebih sibuk mengejar dunia yang bukan miliknya.


Hari-hari berikutnya menjadi titik balik bagi Rika. Ia kembali menghidupkan malamnya dengan salat dan doa. Ia membuka Al-Qur’an, meski awalnya dengan air mata dan rasa malu. Ia pun mulai kembali menekuni hobi lamanya menggambar dan mendesain.


Ternyata, di dekat rumahnya ada komunitas dakwah kreatif yang membuka kelas desain grafis gratis. Rika pun bergabung dan belajar dari awal. Ia menemukan kembali semangat hidup yang lama padam.


Dari sana, ia mulai mengerjakan proyek-proyek kecil membuat logo masjid, desain pamflet kajian, hingga konten dakwah digital. Semuanya ia kerjakan dengan penuh cinta dan pengharapan. Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam hidup, langkahnya ringan—karena hatinya berjalan bersama ridha Allah.


Dua tahun kemudian, Rika berdiri di atas panggung kecil dalam sebuah seminar bertema “Bangkit dari Kegagalan.” dia mengatakan. “Saya pernah berada di titik paling rendah,” katanya di hadapan puluhan peserta. “Saya pernah merasa hidup saya berakhir karena salah memilih jalan. Tapi justru dari kegagalan itu, Allah tuntun saya pulang. Bukan untuk sukses secara dunia semata, tapi untuk kembali mengenal-Nya.”


Ia lalu mengangkat mushaf kecil dari tasnya.


“Ini teman saya saat bangkit. Di dalamnya, saya temukan ayat yang menjadi pelita hidup. ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu...’ (QS. Al-Baqarah: 216).”


Pelajaran dari kisah teman saya Rika menyampaikan bahwa dalam hidup, sering kali kita merasa kecewa karena rencana kita gagal. Kita salah memilih, salah langkah, dan akhirnya menyesal. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk percaya bahwa Allah tidak pernah salah dalam menuliskan takdir. Justru dari kesalahan kita, Allah bisa menciptakan jalan pulang.

1 Comments

  1. Kata orang,, gagal menurut manusia belum tentu menurut Allah, bisa jadi Allah menggagalkannya untuk diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post