Oleh Silviana
Putri, S.Ag
(Mahasiswa
Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Bandung)
(Naskah ke-1)
Mutu sekolah
telah lama menjadi isu sentral dalam pembangunan pendidikan nasional. Berbagai
strategi dan kebijakan dirumuskan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran,
kompetensi guru, dan capaian siswa. Namun di tengah gencarnya upaya tersebut,
muncul pertanyaan penting mengenai apakah studi kebijakan pendidikan
benar-benar mampu menjawab tantangan mutu sekolah, ataukah kajian yang
dilakukan masih terlalu teoritis dan jauh dari praktik lapangan. Dengan demikian, penting untuk meninjau kembali
efektivitas studi kebijakan pendidikan, tidak hanya dari sisi akademis, tetapi
juga dari sejauh mana ia mampu memberi pengaruh nyata terhadap peningkatan mutu
di sekolah-sekolah.
Studi kebijakan
pendidikan memiliki peran penting dalam menyediakan dasar ilmiah bagi
pengambilan keputusan. Di Indonesia, ratusan kajian telah dihasilkan oleh
akademisi, mahasiswa, dan lembaga riset, yang membahas mengenai kurikulum,
pengelolaan sekolah, pembiayaan, hingga evaluasi pendidikan. Meski demikian,
efektivitas kajian tersebut patut dipertanyakan ketika hasilnya tidak terhubung
langsung dengan kebutuhan sekolah dan pelaku pendidikan. Hal ini menunjukkan, perlu adanya penguatan keterhubungan antara pusat
kajian dan pemangku kebijakan agar hasil riset tidak berhenti pada tataran
teoritis, melainkan dapat diterjemahkan menjadi langkah kebijakan yang relevan
dan aplikatif.
Salah satu
kendala utama adalah minimnya integrasi antara pusat kajian dan pembuat
kebijakan. Kajian ilmiah sering kali disusun dalam bahasa teknis yang sulit
dipahami birokrat atau pelaku lapangan. Di sisi lain, pengambil kebijakan
kadang lebih didorong oleh kepentingan jangka pendek atau popularitas,
dibandingkan data dan rekomendasi akademik. Hal ini membuat kebijakan yang
dihasilkan kurang berakar pada realitas empiris dan kebutuhan aktual sekolah. Oleh karenanya,
diperlukan ruang dialog yang lebih terbuka, berkelanjutan, dan saling memahami
antara akademisi, birokrat, serta pelaku pendidikan, agar hasil kajian dapat
dipahami, diterima, dan diimplementasikan secara efektif dalam bentuk kebijakan
yang berdampak.
Tantangan mutu
sekolah sendiri tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan administratif
atau proyek jangka pendek. Masalah seperti rendahnya literasi siswa, disparitas
kualitas antar wilayah, dan rendah
nya motivasi guru membutuhkan kebijakan yang menyentuh
dimensi pedagogis, sosial, dan kultural. Studi kebijakan yang hanya berbasis
angka dan statistik tanpa observasi lapangan akan kesulitan menjawab
kompleksitas tersebut. Maka pendekatan kontekstual dan partisipatif sangat
dibutuhkan. Hal ini menunjukkan, perlu adanya dorongan dalam meningkatkan
kualitas siswa, guru serta pemangku kebijakan dengan mengkolaborasikan
pelatihan-pelatihan yang dapat dijangkau diberbagai wilayah. Dengan demikian, kesenjangan yang
dirasakan menjadi sebuah solusi terkait permasalahan dalam menjamin mutu
lembaga pendidikan.
Contoh nyata
bisa dilihat pada implementasi Kurikulum Merdeka. Banyak studi memuji semangat
fleksibilitas dan pembelajaran berdiferensiasi yang ditawarkan. Namun di
lapangan, sekolah sering menghadapi kebingungan karena minimnya pelatihan,
keterbatasan infrastruktur, dan belum adanya evaluasi menyeluruh. Hal ini
menunjukkan bahwa efektivitas studi kebijakan juga tergantung pada kesesuaian
rekomendasi dengan kapasitas implementasi.
Selain itu,
kajian kebijakan seringkali tidak melibatkan suara guru, kepala sekolah, dan
siswa yang merupakan aktor utama pendidikan. Ketika studi tidak mengakomodasi
pengalaman nyata pelaku lapangan, maka wajar jika hasilnya tidak berdampak
langsung. Studi yang efektif seharusnya menjadi jembatan dua arah: dari teori
ke praktik, dan dari praktik kembali ke refleksi teori. Di sinilah pentingnya
pendekatan transformatif dalam riset kebijakan pendidikan.
Keberhasilan
studi kebijakan dalam menjawab tantangan mutu sekolah juga bergantung pada
sistem umpan balik dan evaluasi yang berkelanjutan. Setelah suatu kebijakan
diterapkan, perlu ada proses monitoring berbasis data lapangan untuk menilai
apakah kebijakan tersebut efektif atau perlu revisi. Sayangnya, sistem evaluasi
kebijakan di Indonesia sering bersifat administratif, bukan reflektif. Padahal,
studi lanjutan setelah implementasi sangat krusial untuk perbaikan
berkelanjutan.
Untuk menjawab
tantangan mutu sekolah secara menyeluruh, studi kebijakan harus mengedepankan
kolaborasi multipihak. Akademisi, praktisi pendidikan, dinas, dan komunitas
sekolah perlu bekerja sama dalam merumuskan, menjalankan, dan mengevaluasi
kebijakan. Sinergi ini tidak hanya memperkuat akurasi kajian, tetapi juga
meningkatkan kemungkinan adopsi kebijakan secara efektif. Kolaborasi juga
memperkuat rasa kepemilikan terhadap kebijakan itu sendiri.
Di era
desentralisasi pendidikan, konteks lokal semakin penting dalam desain
kebijakan. Oleh karena itu, studi kebijakan yang hanya berfokus pada data
nasional cenderung kehilangan detail penting dari tantangan lokal. Pusat-pusat
kajian di daerah seharusnya diperkuat agar bisa menghasilkan riset yang relevan
dengan karakteristik wilayah masing-masing. Dengan demikian, kebijakan
pendidikan tidak bersifat seragam dan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
Pada akhirnya, menakar
efektivitas studi kebijakan pendidikan bukan hanya soal seberapa banyak
penelitian dilakukan, tetapi seberapa besar dampaknya terhadap perbaikan mutu
sekolah. Banyaknya jumlah kajian tidak akan berarti jika tidak mampu
memengaruhi arah kebijakan secara konkret. Kajian yang ideal adalah
yang mampu diterjemahkan menjadi kebijakan yang nyata, berpihak pada pelaku
pendidikan, dan mampu menjawab tantangan kualitas secara sistemik.
Untuk itu, diperlukan mekanisme yang menjamin keberlanjutan antara riset dan
proses perumusan kebijakan.
Post a Comment