Menghadapi Pemimpin yang NPD, how ?

 

Oleh: 

Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha,M.Ag., M.Pd

Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia

Dosen Pascasarjana UIN SGD Bandung



Saya pernah bekerja di bawah bos atau pemimpin yang terlihat karismatik. Ia percaya diri, bicara lantang, dan tampak tahu arah. Tapi lama-lama saya merasa tercekik. Semua hal harus tentang dia. Semua pencapaian miliknya. Semua kesalahan, tanggung jawab kami.


Pernah sekali saya memberanikan diri menyampaikan saran. Data yang disusun ada keliru. Saya bicara baik-baik, penuh hormat. Tapi yang saya dapat justru bentakan. “Kamu pikir kamu lebih pintar?” katanya. Sejak itu, saya tahu, bukan saran yang ia butuhkan, tapi pengakuan tanpa syarat.


Bos seperti itu bukan pemimpin sejati. Ia pemilik panggung. Ia haus pujian, alergi kritik. Setiap ketidaksetujuan dianggap ancaman. Bukan soal ide, tapi ego. Tak ada ruang tumbuh bagi bawahan. Yang ada hanya perasaan takut dan salah.


Teman saya juga pernah cerita hal serupa. Setiap pagi, katanya, ia bangun dengan jantung berdebar. Bukan karena semangat, tapi karena cemas. Salah sedikit, kena marah. Kerja keras, tetap disalahkan. Ia kehilangan tidur, kehilangan percaya diri.


Lingkungan kerja seperti itu diam-diam meracuni. Kita mulai meragukan diri sendiri. Kita belajar diam, bukan karena malas, tapi karena takut. Kita tak lagi punya suara. Kita hanya punya kewajiban, tanpa ruang untuk dihargai.


Saya lalu mencari tahu. Dari membaca dan bertanya, saya mengenal istilah Narcissistic Personality Disorder (NPD). Ciri utamanya: haus validasi, sulit menerima kritik, minim empati, dan cenderung memanipulasi. Yang lebih mengejutkan, orang dengan NPD sering justru menonjol di posisi pemimpin—karena mereka jago tampil dan meyakinkan. Tapi di balik itu, mereka bisa sangat merusak secara batiniah.


Teman saya, Dina, juga punya pengalaman yang mirip. Bosnya dulu selalu memujinya di depan publik, tapi di balik layar menjadikannya kambing hitam. “Dipuji saat dibutuhkan, dibuang saat tak lagi penting,” katanya waktu kami ngobrol di sebuah warung kopi. Saya hanya bisa mengangguk. Dalam hati, saya pun pernah merasakan luka yang sama.


Secara klinis, NPD memang tak menular. Tapi sikap dan atmosfernya bisa menyebar. Anak buah mulai saling menjatuhkan. Semua ingin terlihat paling dekat dengan bos. Orang baik pun bisa berubah demi bertahan. Kultur kerja pun berubah jadi ladang sandiwara.


Saya tahu itu tak sehat. Maka saya keluar. Bukan karena tak kuat. Justru karena saya ingin kuat. Saya ingin tetap waras. Saya ingin bisa tidur dengan tenang dan bangun tanpa rasa cemas.


Islam mengajarkan kita untuk menjauh dari kezaliman. Dalam Al-Qur’an disebut, “Jangan cenderung kepada orang-orang zalim...” (QS. Hud: 113). Ini bukan sekadar nasihat. Ini perintah agar kita menjaga nilai dan jiwa.


Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Tidak boleh saling membahayakan...” (HR. Ibnu Majah). Bila pekerjaan membuatmu sakit secara batin, itu pun bentuk bahaya. Dan menjaga diri darinya adalah bagian dari iman.


Saya tahu, tak semua orang bisa langsung resign. Tapi bukan berarti kita harus terus bertahan. Kita bisa mulai dengan mengenali pola. Menjaga jarak emosional. Mencari support system. Dan pelan-pelan membuka jalan keluar.


Keluar bukan berarti lemah. Keluar justru butuh keberanian. Karena kita sedang memilih kewarasan. Kita sedang melindungi diri, bukan lari dari masalah. Sebab hidup bukan sekadar bertahan, tapi juga tentang menjaga martabat.


Jika kamu sekarang sedang dalam situasi serupa, percayalah: kamu tak sendiri. Dan kamu berhak atas hidup yang damai. Jangan tunggu sampai semua rusak. Karena harga dirimu jauh lebih berharga dari pengakuan bos yang tak tahu cara menghargai.

Post a Comment

Previous Post Next Post