Menjaga Nafas Indonesia di Era Disrupsi Digital

                                                                              

                                                             Muhamad Nasir Pariusamahu

(Kabid Bidang III Agerlip PGM Indonesia, Komite Edukasi Mafindo Pusat)


Di tengah deru zaman yang kian tak menentu, Indonesia berdiri di sebuah persimpangan krusial, sebuah era yang dinamakan disrupsi digital. Gelombang perubahan ini, laksana angin kencang, membawa peluang sekaligus tantangan yang menguji ketahanan nafas kebangsaan kita. Nafas yang sama, yang dihembuskan oleh para pahlawan kemerdekaan, kini harus kita jaga dan perkuat agar tak terengah-engah di tengah pusaran modernitas. Arus ini tentang bagaimana kita, sebagai satu bangsa, merawat jiwa dan semangat Indonesia di rumah baru kita yakni dunia digital.


Seperti yang kita tahu bahwa dunia digital, dengan segala pesonanya, menawarkan sebuah kanvas baru untuk melukiskan wajah Indonesia. Fakta ini jadi kesempatan emas bagi kita untuk memperkenalkan kekayaan budaya, kearifan lokal, dan semangat gotong royong kepada mata dunia. Media sosial, yang seringkali dituding sebagai biang perpecahan, sesungguhnya dapat menjadi alat pemersatu yang dahsyat jika kita bijak menggunakannya. Mari kita banjiri linimasa dengan narasi-narasi positif tentang keberagaman kita, tentang indahnya toleransi yang telah lama menjadi detak jantung bangsa ini.


Namun, kita tak boleh menutup mata terhadap sisi gelapnya. Ujaran kebencian, berita bohong atau hoaks, dan gempuran budaya asing yang tak tersaring menjadi polusi udara yang dapat menyesakkan nafas persatuan. Di sinilah peran literasi digital menjadi krusial, layaknya sebuah filter udara yang menyaring informasi beracun. Setiap individu, dari Sabang sampai Merauke, harus dibekali kemampuan untuk berpikir kritis, untuk membedakan mana berita yang membangun dan mana yang meruntuhkan.


Pemerintah, sebagai nakhoda kapal besar bernama Indonesia, mengemban tugas berat untuk merumuskan kebijakan yang adaptif dan inklusif. Regulasi yang diciptakan jangan sampai menjadi kekang yang membatasi inovasi, melainkan harus menjadi pagar yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari ancaman siber dan ketidakadilan digital. Pembangunan infrastruktur digital yang merata hingga ke pelosok negeri adalah sebuah keharusan, agar tak ada lagi anak bangsa yang tertinggal dalam kereta cepat kemajuan ini.


Disrupsi digital membawa kita pada sebuah pertanyaan fundamental, bagaimana cara kita merawat taman sari budaya Indonesia agar tak layu di tengah gempuran budaya global? Generasi muda, yang lahir dan besar di era digital, adalah penjaga gerbang utama kelestarian budaya kita. Di tangan merekalah, kearifan lokal dapat dikemas dalam format-format yang lebih segar dan relevan dengan zaman. Konten-konten kreatif di media sosial yang mengangkat keunikan budaya daerah, misalnya, terbukti efektif untuk menumbuhkan rasa cinta dan bangga di kalangan anak muda.


Namun, kita mesti waspada terhadap erosi nilai-nilai budaya. Arus informasi yang tak terbendung seringkali membawa serta gaya hidup dan paham-paham yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Di sinilah peran keluarga dan institusi pendidikan menjadi sangat vital dalam menanamkan fondasi karakter yang kokoh. Anak-anak kita harus mengerti bahwa menjadi modern tidak berarti harus meninggalkan identitas ke-Indonesia-an kita.


Penting bagi kita untuk terus mendokumentasikan dan mengarsipkan kekayaan budaya kita secara digital. Jangan sampai generasi mendatang hanya bisa membaca tentang kehebatan budaya bangsanya dari buku-buku usang. Mari kita ciptakan sebuah museum digital yang dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja, sebagai pengingat abadi akan kebesaran peradaban Nusantara.


Menjaga nafas Indonesia di era disrupsi digital adalah sebuah marathon, bukan sprint. Ia membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kerja sama dari seluruh elemen bangsa. Sebab hal ini sebuah perjuangan kolektif untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan berkembang menjadi pemain utama dalam percaturan global.


Mari kita bayangkan sebuah Indonesia di masa depan, di mana teknologi menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan tembok yang memisahkan. Sebuah Indonesia di mana kearifan lokal bersanding serasi dengan inovasi global. Sebuah Indonesia di mana setiap anak bangsa, di mana pun ia berada, dapat merasakan hembusan kemajuan dan keadilan.


Impian itu bukanlah sebuah utopia yang mustahil untuk diwujudkan. Ia bisa menjadi kenyataan jika kita semua, dari pucuk pimpinan hingga rakyat jelata, mau bergandengan tangan dan bergerak dalam satu irama yang sama. Semangat semacam ini merupakan panggilan zaman untuk kita. Panggilan untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi pelaku sejarah. Panggilan untuk menjaga nafas Indonesia, karena di setiap hembusannya, ada harapan, ada cita-cita, dan ada masa depan gemilang yang menanti untuk kita raih bersama. Bangkitlah Indonesiaku, kepakkan sayap digitalmu, dan tunjukkan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang tangguh, bangsa yang tak akan pernah kehabisan nafas

Post a Comment

Previous Post Next Post