Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Wakil
Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 126)
"Kurang lebih, setiap
nikmat perlu dirayakan dengan secangkir kopi. " Kutipan dari Joko Pinurbo
ini bukan sekadar kata-kata puitis, tetapi sebuah ajakan halus untuk
merenungkan hidup. Dalam dunia yang kian cepat dan penuh tuntutan, kita kerap
lupa bahwa hadirnya hari ini saja sudah pantas disyukuri.
Kopi, bagi sebagian orang,
adalah rutinitas. Namun bagi yang mau berhenti sejenak, secangkir kopi bisa
jadi simbol kehadiran dan penerimaan. Bukan hanya untuk menghangatkan tubuh,
tapi juga jiwa yang lelah dikejar ambisi dan ekspektasi sosial.
Dalam ranah kesehatan
mental, rasa syukur bukan cuma soal nilai spiritual. Harvard Medical School
pernah merilis artikel “Giving Thanks Can Make You Happier” (2021), yang
menyatakan bahwa bersyukur secara rutin mampu menurunkan stres dan meningkatkan
kualitas tidur. Sementara American Psychological Association menyebutkan bahwa
kebiasaan bersyukur bisa meningkatkan kadar serotonin dan dopamin dua hormon
penentu suasana hati.
Kementerian Kesehatan RI
melalui GERMAS juga mendorong masyarakat untuk memperhatikan kesehatan mental.
Dalam pernyataannya, dr. Eva Susanti menjelaskan bahwa ketenangan batin dan
keseimbangan emosi menjadi bagian penting dari pencegahan penyakit kronis.
Menurutnya, hadir secara penuh saat menikmati secangkir teh atau kopi adalah
bentuk meditasi ringan yang mampu meredakan stres.
Mayo Clinic bahkan
menyebutkan bahwa konsumsi kopi dalam takaran sedang (1–2 cangkir per hari)
bisa memberikan manfaat bagi otak dan jantung, termasuk memperbaiki mood dan
menurunkan risiko depresi. Tapi, kekuatan kopi sejatinya tak terletak pada
kafeinnya saja. Ritual menyeduh, mencium aromanya, lalu duduk menikmati setiap
tegukan dengan sadar, adalah bentuk penghargaan terhadap momen.
WHO dalam Mental Health
Action Plan 2013–2030 menekankan pentingnya aktivitas harian yang bermakna dan
penuh relaksasi untuk menjaga kesehatan mental. Di masa penuh tekanan sosial
dan ekonomi pasca pandemi, secangkir kopi bisa jadi jeda yang menyelamatkan.
Budaya “lebih dan lagi”
mendorong kita untuk terus berlari tanpa henti. Lebih sukses, lebih sibuk,
lebih produktif. Tapi apa yang dikorbankan demi itu semua? Kadang kita lupa
merayakan pencapaian kecil atau bahkan hari biasa tanpa drama. Padahal, semua itu
juga layak untuk disyukuri.
Bukan berarti menyerah pada
mimpi, tapi menjaga keseimbangan. Kita tetap boleh bermimpi tinggi, selama tak
lupa hadir untuk diri sendiri. Duduk sebentar, tarik napas, seduh kopi, dan
sadari bahwa keberadaan kita hari ini sudah cukup berarti.
Kesehatan bukan hanya soal
tekanan darah atau kadar gula. Tapi juga tentang ketenangan hati, lapangnya
pikiran, dan kemampuan untuk mengatakan: “Terima kasih, hari ini aku baik-baik
saja.”
Jadi, di tengah riuh dunia,
mari rayakan yang sederhana. Karena seperti kata Joko Pinurbo, “Kurang atau
lebih, setiap syukur dan nikmat perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”
Post a Comment