Darma Wawayangan

Oleh: Dr. Muhammad Irfanudin Kurniawan, M.Ag.

Cucu ke-18 an dari Aki Otib dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Inovasi

Universitas Darunnajah  Jakarta


Tanggal 3 Syawal selalu menjadi hari bersejarah bagi kami. Pada tanggal inilah hampir seluruh keluarga besar Bani Otib ini berkumpul dan bersilaturahmi. 


Kalau dihitung mundur, mungkin sudah hampir 30 tahun acara ini kami ikuti. Dulu salah satu momen tahun 90-an,  acara halal bi halal ini dimeriahkan dengan santapan kambing guling, sumbangan dari mang pepe, kenangan ini ditulis Aki dalam buku hariannya. 


Bagi kami waktu itu jadi kenangan, karena sebelum sate dihidangkan, kami sudah duluan mencicipi walaupun dimarahi sama yang masak he he he.


Hari Rabu 3 Syawal 1446 H ini, Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri' BANU MANSUR yang berlokasi di Kp, Mekarmulya, RT. 01 RW. 05, Sukaratu, Kec. Bojongpicung, Kabupaten Cianjur menjadi tempat bersejarah. Bagi kami pribadi yang baru pertama bersilaturrahmi ke pesantren ini, melihat sebuah motivasi, penguatan dan perubahan tradisi. Bahasa Inggris menjadi bahasa sehari-hari, bukan untuk gaya-gayaan, apalagi ikut-ikutan, bahasa merupakan alat untuk bisa berkembang ke level yang lebih luas, tidak hanya Jawa Barat, Indonesia bahkan dunia harus tahu pesantren.


Pesantren Banu Mansur tempat yang sederhana namun sarat makna. Bukan hanya sebuah pesantren biasa, melainkan rumah bagi sejarah dan budaya yang diwariskan oleh Aki Otib. Kenala demikian? Karena pendiri pesantrennya putri bungsu dari Aki Otib dan putra-putrinya. 


Hari ini, lima generasi keluarga berkumpul dalam kebersamaan yang hangat. Putra, putri, cucu, cicit, buyut berkumpul saling berbagi tawa dan cerita, menyatukan berbagai cerita yang sudah lama terpendam.



Salah satu obrolan yang penuh pelajaran kami dapatkan ketika duduk, ngobrol di depan rumah Umi Yayah, bersama Wa bubun dan Engking Wawan. Engking (Panggilan ayah penulis) menyampaikan pesan dari Aki Otib, kalau “Hidup ini hanyalah Darma Wawayangan,” jujur kami baru mendengar nasehat ini saat itu. Sebelumnya nasehat yang sering kami dengar adalah "Upami ngaemam cabe kadeh siap ku ladana" artinya harus siap bertanggungjawab dengan resikonya.


Tertarik dengan nasehat baru itu, kami coba googling dan ternyata kata-kata ini bukan sekadar pepatah, melainkan sebuah renungan mendalam dari pupuh Asmarandani yang telah menjadi bagian dari budaya Sunda.


"Hidup itu ibarat sebuah pertunjukan wayang. Setiap kita, seperti karakter dalam wayang, memiliki peran yang sudah ditentukan oleh takdir. Ada Gatot Gaca yang katanya santri mantra guna, urat kawat, tulang besi, tapi kalau kata dalang harus mati ya mati," ujarnya.



Namun, bukan berarti kita hanya tinggal diam dan pasrah. Kita tetap harus berusaha, tetap harus berikhtiar dengan segenap kemampuan yang kita punya, tegasnya. Tugas kita bukan untuk menebak apa yang akan terjadi, tapi untuk melakukan yang terbaik dalam setiap langkah yang kita ambil. Itulah yang dimaksud dengan tawakkal—menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah, setelah kita berusaha dengan penuh kesungguhan.


Pesan ini mengingatkan kita pada keseimbangan hidup. Tidak terjebak dalam keyakinan yang ekstrem—baik yang menolak takdir sama sekali (Qadariyah) atau yang hanya pasrah tanpa usaha (Jabariah). Sebagai seorang Ahlu Sunnah, kita diajarkan untuk tetap berusaha, tetap bekerja keras, namun dalam hati selalu ada keyakinan bahwa segala sesuatu sudah ada dalam takdir-Nya. Kita hanya bisa berbuat terbaik, sementara hasilnya adalah urusan Allah.


Mendengarkan nasehat ini, kami tegaskan kembali niat untuk terus melangkah, menjemput takdir yang masih menjadi rahasia.


Selain nasehat bijak di atas kami melihat para anggota keluarga menikmati hidangan yang telah disiapkan. Mulai dari buras yang menggugah selera, leupeut dengan rasa pedas manisnya, hingga cireng dan bakso yang selalu menjadi menu favorit. 


Semuanya ngobrol, seuri ngagakgak sanajan teu boga duit, sambil menikmati makanan, saling berbagi tawa, mengingat kembali kenangan masa kecil, atau sekadar menikmati kebersamaan yang jarang terulang.


Sebelum makan siang, acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama. Semua anggota keluarga, mulai dari yang tertua hingga yang termuda, berkumpul dalam satu bingkai, tersenyum bersama di bawah slogan ti mang Zamzam tukang nagih sedekah he he yang sederhana tapi penuh makna: "Bani Otib, berwarna tapi tetap Bersama." Slogan ini bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi cerminan dari hati yang saling terhubung, dari satu keluarga yang tetap berdiri teguh meskipun waktu terus berlalu.


Acara ditutup dengan penuh keceriaan. Perlombaan untuk anak-anak pun dimulai. Suara tawa mereka yang riang, lari kesana kemari, dan semangat yang mereka tunjukkan mengingatkan kita bahwa kebahagiaan itu sederhana. Tawa mereka adalah tanda bahwa warisan Aki Otib—tentang hidup yang penuh usaha dan tawakal—terus hidup dalam setiap generasi, mengalir dalam darah keluarga ini.


Hari itu tidak hanya merayakan kebersamaan, tetapi juga mengingatkan kita akan sebuah kebenaran sederhana namun dalam: 



"Hidup adalah sebuah perjalanan, dan selama kita berusaha, apapun yang terjadi adalah bagian dari takdir yang harus kita terima dengan ikhlas. Kita harus tetap berjalan bersama, dalam setiap langkah, dengan penuh tawakkal dan kebersamaan".


Acara halal bi Halal ini pun berakhir dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Sebuah momen yang akan selalu dikenang oleh keluarga besar Bani Otib. 

Dr. Irfanudin Kurniawan, M.Ag.


Previous Post Next Post