(65) Kurikulum Cinta: Apa Jadinya Jika Kurikulum Ditanam dengan Cinta dan Moderasi Beragama? Ini Jawaban untuk Indonesia yang Damai!

 

                                                            Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Di tengah kompleksitas kehidupan sosial yang semakin majemuk, pendidikan tidak hanya dituntut mencetak peserta didik yang cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial. Untuk itu, hadirnya gagasan “Kurikulum Cinta dan Moderasi Beragama” menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia.

Bukan sekadar wacana, konsep ini kini dikupas tuntas dalam Webinar Series 4 bertajuk "Kurikulum Cinta dan Moderasi Beragama dalam Pembelajaran", yang akan digelar pada Senin, 19 Mei 2025 pukul 09.00–13.00 WIB secara daring melalui Zoom dan YouTube.

Webinar ini diselenggarakan oleh Koordinatoriat Widyaiswara BDK Surabaya bekerja sama dengan Nizamia Learning Center (NLC), menghadirkan tiga narasumber nasional yang kompeten di bidangnya: Dr. Sholehuddin, M.Pd.I. (Widyaiswara Moderasi Beragama), Dr. Moh. Amak Burhanudin, M.Pd.I. (Kabid PAIS Kanwil Kemenag Jatim), dan Dr. Agus Akhmadi, M.Pd. (Widyaiswara). Ketiganya akan membedah bagaimana nilai kasih sayang, toleransi, dan sikap seimbang dalam beragama bisa ditanamkan melalui pembelajaran sehari-hari.

Kurikulum ini lahir dari kesadaran bahwa tantangan kehidupan berbangsa tidak lagi sekadar soal ekonomi atau politik, tapi juga harmoni sosial dan keberagamaan. Dalam konteks tersebut, pendidikan punya posisi strategis untuk membentuk generasi yang tidak hanya toleran secara wacana, tapi inklusif dalam praktik.

Cinta dalam kurikulum berarti mengajarkan empati, tidak cepat menghakimi, serta membangun relasi antarmanusia yang berlandaskan kasih. Moderasi beragama berarti menjauhi ekstremisme, baik yang terlalu liberal maupun terlalu konservatif, dengan memilih jalan tengah yang adil dan bijak.

Tujuan utama dari kurikulum ini adalah melahirkan peserta didik yang bisa hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat multikultural. Mereka diajak untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai rahmat yang memperkaya kehidupan.

Di sinilah peran guru menjadi sangat penting—tidak hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai role model yang mempraktikkan nilai-nilai moderat dalam ucapan dan tindakan.

Manfaat langsung dari penerapan kurikulum ini sangat luas. Di kelas, peserta didik menjadi lebih empatik dan kooperatif. Di masyarakat, mereka menjadi agen perdamaian yang mampu meredam konflik sosial berbasis identitas. Di level kebijakan, kurikulum ini bisa menjadi inspirasi nasional dalam mengintegrasikan moderasi beragama ke dalam sistem pendidikan formal.

Namun, upaya ini tentu tidak tanpa tantangan. Masih ada segelintir kelompok yang mencurigai pendekatan moderat sebagai kompromi nilai. Ada pula guru yang merasa kesulitan menerjemahkan konsep moderasi dalam RPP atau strategi pembelajaran.

Di sinilah pentingnya webinar ini sebagai ruang berbagi praktik baik dan solusi. Para narasumber akan menjelaskan pendekatan pedagogik yang konkret, memberikan contoh RPP tematik, serta menjawab kebingungan peserta secara langsung.

Kegiatan ini juga bernilai 10JP (Jam Pelajaran) sehingga sangat bermanfaat untuk pengembangan keprofesian guru. Pendaftaran bisa dilakukan melalui tautan resmi: https://s.id/Pendaftaran_WebMei25. Panitia juga menyediakan kanal komunikasi terbuka melalui tiga narahubung: Kibi (081-228-684-406), Ani (085-123-786-667), dan Anung (081-252-369-90).

Di era digital dan disrupsi sosial yang semakin kompleks, kurikulum tidak bisa lagi berjalan secara konvensional. Kita butuh pendekatan baru yang menanamkan cinta dalam relasi antarumat dan memupuk cara pandang beragama yang penuh hikmah. Webinar ini adalah langkah nyata untuk menghidupkan nilai itu di ruang-ruang kelas seluruh Indonesia.

Pertanyaannya sekarang: sudahkah sekolah Anda mengajarkan cinta dan moderasi dalam setiap pembelajaran? Atau justru masih sibuk dengan angka dan ujian?

Post a Comment

Previous Post Next Post