Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Di tengah kompleksitas kehidupan sosial yang
semakin majemuk, pendidikan tidak hanya dituntut mencetak peserta didik yang
cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial. Untuk itu,
hadirnya gagasan “Kurikulum Cinta dan Moderasi Beragama” menjadi angin segar
bagi dunia pendidikan Indonesia.
Bukan sekadar wacana, konsep ini kini dikupas
tuntas dalam Webinar Series 4 bertajuk "Kurikulum Cinta dan Moderasi
Beragama dalam Pembelajaran", yang akan digelar pada Senin, 19 Mei 2025
pukul 09.00–13.00 WIB secara daring melalui Zoom dan YouTube.
Webinar ini diselenggarakan oleh Koordinatoriat
Widyaiswara BDK Surabaya bekerja sama dengan Nizamia Learning Center (NLC),
menghadirkan tiga narasumber nasional yang kompeten di bidangnya: Dr.
Sholehuddin, M.Pd.I. (Widyaiswara Moderasi Beragama), Dr. Moh. Amak Burhanudin,
M.Pd.I. (Kabid PAIS Kanwil Kemenag Jatim), dan Dr. Agus Akhmadi, M.Pd.
(Widyaiswara). Ketiganya akan membedah bagaimana nilai kasih sayang, toleransi,
dan sikap seimbang dalam beragama bisa ditanamkan melalui pembelajaran
sehari-hari.
Kurikulum ini lahir dari kesadaran bahwa tantangan
kehidupan berbangsa tidak lagi sekadar soal ekonomi atau politik, tapi juga
harmoni sosial dan keberagamaan. Dalam konteks tersebut, pendidikan punya
posisi strategis untuk membentuk generasi yang tidak hanya toleran secara
wacana, tapi inklusif dalam praktik.
Cinta dalam kurikulum berarti mengajarkan empati,
tidak cepat menghakimi, serta membangun relasi antarmanusia yang berlandaskan
kasih. Moderasi beragama berarti menjauhi ekstremisme, baik yang terlalu
liberal maupun terlalu konservatif, dengan memilih jalan tengah yang adil dan
bijak.
Tujuan utama dari kurikulum ini adalah melahirkan
peserta didik yang bisa hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat
multikultural. Mereka diajak untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman,
tetapi sebagai rahmat yang memperkaya kehidupan.
Di sinilah peran guru menjadi sangat penting—tidak
hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai role model yang mempraktikkan
nilai-nilai moderat dalam ucapan dan tindakan.
Manfaat langsung dari penerapan kurikulum ini sangat
luas. Di kelas, peserta didik menjadi lebih empatik dan kooperatif. Di
masyarakat, mereka menjadi agen perdamaian yang mampu meredam konflik sosial
berbasis identitas. Di level kebijakan, kurikulum ini bisa menjadi inspirasi
nasional dalam mengintegrasikan moderasi beragama ke dalam sistem pendidikan
formal.
Namun, upaya ini tentu tidak tanpa tantangan. Masih
ada segelintir kelompok yang mencurigai pendekatan moderat sebagai kompromi
nilai. Ada pula guru yang merasa kesulitan menerjemahkan konsep moderasi dalam
RPP atau strategi pembelajaran.
Di sinilah pentingnya webinar ini sebagai ruang
berbagi praktik baik dan solusi. Para narasumber akan menjelaskan pendekatan
pedagogik yang konkret, memberikan contoh RPP tematik, serta menjawab
kebingungan peserta secara langsung.
Kegiatan ini juga bernilai 10JP (Jam Pelajaran)
sehingga sangat bermanfaat untuk pengembangan keprofesian guru. Pendaftaran
bisa dilakukan melalui tautan resmi: https://s.id/Pendaftaran_WebMei25. Panitia juga menyediakan kanal
komunikasi terbuka melalui tiga narahubung: Kibi (081-228-684-406), Ani
(085-123-786-667), dan Anung (081-252-369-90).
Di era digital dan disrupsi sosial yang semakin
kompleks, kurikulum tidak bisa lagi berjalan secara konvensional. Kita butuh
pendekatan baru yang menanamkan cinta dalam relasi antarumat dan memupuk cara
pandang beragama yang penuh hikmah. Webinar ini adalah langkah nyata untuk
menghidupkan nilai itu di ruang-ruang kelas seluruh Indonesia.
Pertanyaannya sekarang: sudahkah sekolah Anda
mengajarkan cinta dan moderasi dalam setiap pembelajaran? Atau justru masih
sibuk dengan angka dan ujian?
Post a Comment