Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Pemerintah mengumumkan langkah besar dalam dunia pendidikan: mulai tahun ajaran baru, pelajaran Artificial Intelligence (AI) akan mulai dimasukkan ke dalam kurikulum SD, SMP, SMA, dan SMK di Indonesia.
Langkah ini menandai era baru dalam sistem
pembelajaran nasional yang menyesuaikan dengan tantangan zaman digital dan
revolusi industri 4.0. Namun, di balik gebrakan ini, berbagai pertanyaan
muncul: bagaimana kesiapan guru, bagaimana nasib literasi dasar siswa, dan
apakah teknologi justru membawa dampak negatif dalam pembelajaran?
Kurikulum AI ini merupakan bagian dari fokus
pemerintah terhadap penguatan bidang STEM (Science, Technology, Engineering,
dan Mathematics). Presiden menegaskan bahwa ke depan anak-anak Indonesia harus
menjadi generasi yang tidak hanya mampu menggunakan teknologi, tetapi juga
memahami dan menguasainya. “Serangan-serangan siber terus terjadi.
Kita harus kerja keras menghasilkan generasi yang
menguasai teknologi ini, menguasai cyber, menguasai AI,” ujarnya dalam
pernyataan publik yang sekaligus menjadi momen peringatan Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas).
Namun demikian, penerapan pelajaran AI dan coding di
sekolah masih bersifat opsional, bukan wajib, untuk tahun ajaran 2025–2026.
Artinya, sekolah diberi ruang untuk beradaptasi secara bertahap.
Naskah akademik dan capaian pembelajaran telah
rampung, dan saat ini sedang dalam proses harmonisasi regulasi melalui
Kementerian Hukum dan kementerian terkait lainnya. Pemerintah juga telah
menggandeng berbagai penyedia pelatihan coding di masyarakat, dan menjalin
kemitraan dengan perusahaan teknologi, termasuk Google.
Meski terdengar menjanjikan, muncul sejumlah
kekhawatiran dari para pemerhati pendidikan. Salah satunya terkait kesiapan
guru. Pelatihan untuk guru AI masih dalam tahap pembahasan. “Pelatihannya nanti
akan dibicarakan lebih lanjut.
Yang dari Google tadi hanya peluncuran awal,” terang
perwakilan kementerian. Artinya, ada potensi kesenjangan implementasi antara
sekolah-sekolah di daerah maju dengan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan
terluar).
Isu lain yang cukup mengemuka adalah risiko
ketergantungan siswa pada teknologi. Dengan akses AI yang sangat cepat dan
mudah, siswa bisa jadi tergoda untuk tidak lagi membaca atau berpikir kritis.
“Kelemahannya ada dua. Pertama, informasi yang
diperoleh belum tentu benar. Kedua, siswa bisa jadi malas belajar secara aktif
karena semua serba instan,” ujar pejabat kementerian. Oleh karena itu, penting
bagi guru tetap memadukan AI dengan metode pembelajaran tradisional yang
mendorong literasi, numerasi, dan aktivitas fisik.
AI tidak dimaksudkan untuk menggantikan guru,
melainkan menjadi alat bantu yang memperkaya pengalaman belajar siswa.
Contohnya, seorang guru bahasa Inggris dapat menggunakan AI untuk melatih
percakapan dengan siswa, sementara tetap membimbing pemahaman gramatika dan
struktur kalimat secara manual.
AI juga dapat digunakan untuk mempercepat layanan
pendidikan dan menjangkau siswa di daerah terpencil melalui platform daring.
Sementara itu, pemerintah juga tengah menyusun
strategi untuk pemerataan pendidikan melalui pendirian sekolah satu atap dan
rumah-rumah belajar berbasis komunitas. Relawan pendidikan akan direkrut untuk
menjangkau wilayah-wilayah yang kekurangan tenaga pendidik. Dalam jangka
panjang, AI diharapkan menjadi pelengkap, bukan pengganti, upaya membangun SDM
unggul.
Pendidikan digital memang membuka peluang besar,
tetapi juga menuntut tanggung jawab besar. Saat teknologi melesat cepat, peran
manusia justru menjadi semakin penting dalam memaknai dan memfilter informasi.
Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia berpotensi
besar memanfaatkan kurikulum AI untuk melahirkan generasi kreatif, kritis, dan
siap bersaing di tingkat global.
Demikian informasi terkini dilansir dari https://www.youtube.com/@zona_Guru
Namun pertanyaannya tetap: siapa yang lebih dulu siap sekolah,
guru, atau murid? Dan bagaimana agar transformasi digital ini tidak memperlebar
ketimpangan, tetapi justru menjadi jembatan bagi pendidikan yang lebih
inklusif, adaptif, dan bermutu? Pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan
perlu menjawabnya bersama.
Post a Comment