(69) Info Terbaru Kurikulum AI: Bagaimana Kurikulum AI Masuk SD hingga SMK di Tahun Ajaran Baru dan Apa Dampaknya bagi Guru dan Siswa? Simak Informasinya!

 

                                                   Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Pemerintah mengumumkan langkah besar dalam dunia pendidikan: mulai tahun ajaran baru, pelajaran Artificial Intelligence (AI) akan mulai dimasukkan ke dalam kurikulum SD, SMP, SMA, dan SMK di Indonesia.

Langkah ini menandai era baru dalam sistem pembelajaran nasional yang menyesuaikan dengan tantangan zaman digital dan revolusi industri 4.0. Namun, di balik gebrakan ini, berbagai pertanyaan muncul: bagaimana kesiapan guru, bagaimana nasib literasi dasar siswa, dan apakah teknologi justru membawa dampak negatif dalam pembelajaran?

Kurikulum AI ini merupakan bagian dari fokus pemerintah terhadap penguatan bidang STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics). Presiden menegaskan bahwa ke depan anak-anak Indonesia harus menjadi generasi yang tidak hanya mampu menggunakan teknologi, tetapi juga memahami dan menguasainya. “Serangan-serangan siber terus terjadi.

Kita harus kerja keras menghasilkan generasi yang menguasai teknologi ini, menguasai cyber, menguasai AI,” ujarnya dalam pernyataan publik yang sekaligus menjadi momen peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Namun demikian, penerapan pelajaran AI dan coding di sekolah masih bersifat opsional, bukan wajib, untuk tahun ajaran 2025–2026. Artinya, sekolah diberi ruang untuk beradaptasi secara bertahap.

Naskah akademik dan capaian pembelajaran telah rampung, dan saat ini sedang dalam proses harmonisasi regulasi melalui Kementerian Hukum dan kementerian terkait lainnya. Pemerintah juga telah menggandeng berbagai penyedia pelatihan coding di masyarakat, dan menjalin kemitraan dengan perusahaan teknologi, termasuk Google.

Meski terdengar menjanjikan, muncul sejumlah kekhawatiran dari para pemerhati pendidikan. Salah satunya terkait kesiapan guru. Pelatihan untuk guru AI masih dalam tahap pembahasan. “Pelatihannya nanti akan dibicarakan lebih lanjut.

Yang dari Google tadi hanya peluncuran awal,” terang perwakilan kementerian. Artinya, ada potensi kesenjangan implementasi antara sekolah-sekolah di daerah maju dengan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Isu lain yang cukup mengemuka adalah risiko ketergantungan siswa pada teknologi. Dengan akses AI yang sangat cepat dan mudah, siswa bisa jadi tergoda untuk tidak lagi membaca atau berpikir kritis.

“Kelemahannya ada dua. Pertama, informasi yang diperoleh belum tentu benar. Kedua, siswa bisa jadi malas belajar secara aktif karena semua serba instan,” ujar pejabat kementerian. Oleh karena itu, penting bagi guru tetap memadukan AI dengan metode pembelajaran tradisional yang mendorong literasi, numerasi, dan aktivitas fisik.

AI tidak dimaksudkan untuk menggantikan guru, melainkan menjadi alat bantu yang memperkaya pengalaman belajar siswa. Contohnya, seorang guru bahasa Inggris dapat menggunakan AI untuk melatih percakapan dengan siswa, sementara tetap membimbing pemahaman gramatika dan struktur kalimat secara manual.

AI juga dapat digunakan untuk mempercepat layanan pendidikan dan menjangkau siswa di daerah terpencil melalui platform daring.

Sementara itu, pemerintah juga tengah menyusun strategi untuk pemerataan pendidikan melalui pendirian sekolah satu atap dan rumah-rumah belajar berbasis komunitas. Relawan pendidikan akan direkrut untuk menjangkau wilayah-wilayah yang kekurangan tenaga pendidik. Dalam jangka panjang, AI diharapkan menjadi pelengkap, bukan pengganti, upaya membangun SDM unggul.

Pendidikan digital memang membuka peluang besar, tetapi juga menuntut tanggung jawab besar. Saat teknologi melesat cepat, peran manusia justru menjadi semakin penting dalam memaknai dan memfilter informasi. Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia berpotensi besar memanfaatkan kurikulum AI untuk melahirkan generasi kreatif, kritis, dan siap bersaing di tingkat global.

Demikian informasi terkini dilansir dari https://www.youtube.com/@zona_Guru

Namun pertanyaannya tetap: siapa yang lebih dulu siap sekolah, guru, atau murid? Dan bagaimana agar transformasi digital ini tidak memperlebar ketimpangan, tetapi justru menjadi jembatan bagi pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan bermutu? Pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan perlu menjawabnya bersama.

Post a Comment

Previous Post Next Post