Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Siapa sangka, pura-pura tertawa ternyata bisa
memberikan manfaat yang sama dengan tertawa sungguhan? Banyak yang mengira
bahwa hanya tawa yang tulus dari hati yang berdampak positif bagi kesehatan.
Namun sains menunjukkan, otak manusia tidak cukup
pintar untuk membedakan antara tawa yang asli dan tawa yang dibuat-buat. Yang
dikenali otak hanyalah gerakan otot wajah, dan dari situlah seluruh efek
positif dimulai.
Fakta ini membuka pemahaman baru dalam dunia
pendidikan dan kesehatan mental, terutama bagi pelajar, guru, maupun orang tua.
Dalam situasi penuh tekanan seperti masa ujian, konflik sosial, atau bahkan
rutinitas monoton sekolah, seringkali sulit untuk benar-benar merasa bahagia.
Tapi tahukah Anda bahwa hanya dengan menggerakkan
otot wajah seolah-olah tertawa, tubuh Anda bisa memicu pelepasan hormon
endorfin?
Endorfin dikenal sebagai hormon perasaan baik. Ia
bertugas meningkatkan mood, meredakan nyeri, mengurangi stres, dan melancarkan
sirkulasi darah. Jadi, meskipun Anda sedang tidak benar-benar gembira,
berpura-pura tertawa bisa menjadi trik psikologis dan biologis yang cerdas
untuk mengelabui sistem saraf Anda agar merasa lebih baik.
Dalam konteks pendidikan, ini bisa menjadi solusi
sederhana namun efektif untuk membangun suasana belajar yang menyenangkan.
Bayangkan jika guru memulai pelajaran dengan sesi tertawa kecil tidak perlu
lucu, cukup ajak siswa tersenyum dan tertawa bersama selama satu menit.
Aktivitas ini dapat memperbaiki suasana hati siswa, meningkatkan konsentrasi,
dan mengurangi kecemasan.
Manfaatnya juga berdampak pada relasi sosial di
lingkungan sekolah. Tawa, meskipun pura-pura, menciptakan efek domino
psikologis yang mempererat ikatan antarindividu. Siswa yang terbiasa tertawa
bersama, bahkan dalam suasana formal, cenderung memiliki empati lebih tinggi
dan komunikasi yang lebih terbuka.
Namun tentu saja, pendekatan ini bukan tanpa
kritik. Sebagian orang mungkin menilai bahwa berpura-pura tertawa bisa terasa
artifisial, bahkan munafik. Tapi perlu dipahami, ini bukan soal menipu diri
sendiri, melainkan memanfaatkan mekanisme alami tubuh untuk mengaktifkan sistem
keseimbangan emosi.
Justru ketika seseorang memaksa dirinya tersenyum
atau tertawa dalam situasi sulit, itu bisa menjadi langkah awal keluar dari
lingkaran stres atau keputusasaan.
Langkah-langkah kecil ini bisa diterapkan dengan
mudah. Misalnya, sekolah dapat menyisipkan laughing break di sela
kegiatan belajar, guru dapat memancing siswa untuk tertawa saat menjelaskan
materi sulit, atau orang tua dapat mengajak anak-anak tertawa pura-pura saat
suasana di rumah terasa tegang. Yang penting adalah konsistensi dan kesadaran
akan manfaatnya.
Trik ini bahkan sudah diadopsi dalam berbagai
terapi tertawa (laughter therapy) di sejumlah negara. Terapi ini mengandalkan
gerakan tertawa buatan sebagai pemicu kebahagiaan alami.
Banyak pasien depresi dan gangguan kecemasan yang
menunjukkan perbaikan kondisi hanya dengan teknik ini, tanpa obat-obatan berat.
Untuk pelajar dan tenaga pendidik, ini adalah
kabar baik. Di tengah berbagai tekanan kurikulum, tuntutan capaian akademik,
dan dinamika sosial yang rumit, strategi sederhana seperti pura-pura tertawa
bisa menjadi senjata ampuh yang murah, aman, dan langsung terasa efeknya.
Kesimpulannya, tertawa memang bukan selalu soal
lucu. Kadang, itu adalah bentuk perlawanan terhadap stres. Dan yang lebih
mengejutkan: otak Anda tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang
pura-pura. Jadi, kenapa tidak mencoba tertawa meski hanya dibuat-buat dan
rasakan manfaatnya bagi tubuh dan pikiran Anda?
Demikian informasi terkini dilansir dari https://www.instagram.com/voxnative/
Ingin mencoba? Ayo tertawa sekarang… ha… ha… ha…
Siapa tahu, hari ini bisa terasa lebih ringan hanya dengan memancing senyum di
wajah Anda sendiri.
Post a Comment