Dilema: Ujian Tanpa HP di Madrasah, Siapa Punya Kuasa? 3 Pertanyaan Kritis Guru Ini Bikin Dilema Antara Gubernur dan Kemenag

 

Oleh Nurul Jubaedah, S Ag.,S.Pd.,M.Ag

(Naskah ke 79)

“Apakah madrasah tetap boleh ujian manual meski Kemenag gencar digitalisasi?” Pertanyaan ini dilontarkan oleh Pak Deni M. Toha, M.Ag., guru Qur’an Hadis MTsN 2 Garut saat diskusi teknis menjelang

Penilaian Akhir Semester (PAS), Penilaian Akhir Tahun (PAT), dan Ujian Madrasah (UM). Pertanyaan sederhana yang menggugat dua arus kebijakan yang saling tarik-menarik: larangan penggunaan HP oleh Gubernur Jawa Barat dan program transformasi digital yang dicanangkan Kementerian Agama RI.

Pak Deni mempertanyakan: jika ujian tetap dilakukan dengan kertas, bagaimana peran madrasah dalam menyukseskan digitalisasi pendidikan? Namun, jika ujian dilakukan menggunakan HP atau perangkat digital, apakah itu tidak bertentangan dengan imbauan Gubernur Jawa Barat? Di tengah dualitas ini, madrasah seperti berjalan di persimpangan kebijakan.

Sebagaimana diketahui, Gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi, dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang dekat dengan rakyat dan berorientasi pada nilai-nilai etika dan budaya. Salah satu fokusnya adalah menegaskan kembali disiplin dan karakter siswa dengan melarang penggunaan HP di lingkungan sekolah. Alasannya jelas: mencegah penyalahgunaan teknologi, meminimalisir distraksi, dan membangun kembali fokus belajar yang terarah.

Namun di sisi lain, Kementerian Agama RI sebagai lembaga yang menaungi madrasah, sedang mendorong penuh Transformasi Digital Madrasah. Program ini bukan sekadar kampanye, tapi sudah dituangkan dalam beberapa regulasi resmi, antara lain:

  • Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Pedoman Kurikulum PAI dan Bahasa Arab, yang sudah membuka ruang integrasi teknologi digital dalam pembelajaran.
  • Surat Edaran Dirjen Pendis Nomor B-356/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/02/2022 tentang Implementasi Transformasi Digital Madrasah, yang mendorong penggunaan platform digital seperti RDM, EMIS, SIMPATIKA, e-Kinerja, Pintar, dan lainnya.
  • KMA Nomor 624 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengelolaan Rencana Digital Madrasah (RDM), sebagai acuan sistem evaluasi dan pelaporan hasil belajar berbasis digital.

Selain itu, program prioritas Kemenag RI 2020–2024 menegaskan arah transformasi kelembagaan berbasis digital sebagai bagian dari Modernisasi Manajemen Pendidikan Islam.

Madrasah hari ini dituntut untuk tidak tertinggal dalam urusan digital. Siswa-siswi madrasah adalah bagian dari generasi digital native, yang akan tumbuh di tengah persaingan global berbasis teknologi. Maka, jika sistem ujian tetap menggunakan metode manual karena menghindari penggunaan HP, bukankah ini malah bisa memutus kesinambungan kebijakan transformasi?

“Kalau madrasah tidak mengikuti arus digital, kita akan tertinggal jauh. Anak-anak kita perlu dibekali literasi digital sejak sekarang,” ujar Pak Deni.

Namun, penggunaan HP secara bebas pun bisa berdampak negatif. Ketergantungan, penyalahgunaan, hingga konten yang tidak layak menjadi ancaman nyata. Maka, titik temu kebijakan menjadi kebutuhan mendesak. Apakah kebijakan Gubernur Jawa Barat bisa disinergikan dengan regulasi Kemenag?

Solusi yang bisa dijajaki adalah: penerapan zona digital terbatas di madrasah untuk kepentingan belajar dan ujian; penggunaan Chromebook atau tablet resmi dari madrasah; pembelajaran etika digital sejak dini; dan kolaborasi lintas instansi untuk menyelaraskan arah pembangunan madrasah.

Madrasah tidak bisa terus digantung oleh kebijakan yang saling bertentangan. Diperlukan kejelasan peran dan wewenang. Sebab, dari aspek struktural, madrasah adalah satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama, bukan Dinas Pendidikan Provinsi. Artinya, orientasi dan standar pelayanan pendidikan madrasah mengikuti garis kebijakan pusat, meski tidak mengabaikan konteks lokal.

Pak Deni hanya mewakili kegelisahan banyak guru madrasah hari ini. Mereka ingin mendidik anak-anak agar siap menghadapi masa depan, tapi sering kali terbelenggu kebijakan yang belum searah. Maka, pertanyaan kuncinya adalah: apakah kita ingin madrasah maju secara digital atau tetap berjalan di tempat karena dibatasi oleh ketakutan terhadap teknologi?

Jika digitalisasi adalah keniscayaan, maka koordinasi antar-instansi menjadi keniscayaan berikutnya. Jangan sampai madrasah hanya jadi objek kebijakan, bukan subjek yang tumbuh, mandiri, dan berdaya di tengah perubahan zaman.

Post a Comment

Previous Post Next Post