(Naskah ke 80)
Sudah inpassing sejak 2011, mengabdi 25 tahun, kini usia 54 tahun. Tapi,
apakah harapan diangkat otomatis sebagai ASN P3K hanya jadi janji di media
sosial?
Itulah kegelisahan diam-diam yang kini dirasakan
ribuan guru swasta se-Indonesia. Satu suara dari mereka muncul lewat pertanyaan
tulus seorang guru yang membaca tulisan di portal berita online: “Usia saya 54 tahun,
masa kerja 25 tahun, inpassing tahun 2011. Apakah benar wacana minimal usia 50
tahun akan otomatis diangkat jadi P3K?”
Pertanyaan ini bukan basa-basi. Ini jeritan batin
mereka yang telah mengabdi seumur hidup untuk mencerdaskan anak bangsa, tetapi
masih berdiri di tepi status: bukan PNS, bukan pula P3K. Sementara masa
pensiun makin dekat, tunjangan tak kunjung stabil, dan kepastian status tak
kunjung hadir.
Inilah 5 fakta yang perlu diketahui para guru dan
pemangku kebijakan:
- Inpassing
bukan jaminan pengangkatan P3K. Meski sudah inpassing sejak 2011, belum
ada regulasi otomatisasi untuk ASN kecuali lewat seleksi formal.
- Wacana
pengangkatan otomatis 50+ tahun muncul di forum publik dan media. Tapi
hingga saat ini belum dituangkan dalam PermenPAN-RB atau regulasi hukum
yang sah.
- Guru
swasta usia di atas 50 tahun rentan tersingkir dari seleksi kompetitif
P3K. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem tidak akomodatif
terhadap usia.
- Ada
ketimpangan perlakuan antara guru madrasah swasta dan guru sekolah negeri.
Meski sama-sama mengabdi, akses afirmasi sangat berbeda.
- Rasa
keadilan guru honorer dan swasta makin terkikis. Banyak yang merasa sudah
‘cukup’ layak untuk diangkat tanpa tes lagi, tetapi belum mendapat ruang.
Dalam konteks ini, muncul 3 harapan besar yang
disuarakan oleh guru-guru swasta:
- Regulasi
afirmatif yang mengangkat otomatis guru berusia 50+ tahun dengan masa
kerja 20 tahun ke atas dan status inpassing aktif.
- Pengakuan
penuh terhadap masa bakti dan kontribusi dalam membangun kualitas
pendidikan, terutama di wilayah pinggiran.
- Kebijakan
yang menyeimbangkan keadilan sosial dalam ASN, bukan semata kompetisi
akademik dan administratif.
Namun, pada akhirnya semua kembali pada 1 pertanyaan
kunci untuk pemerintah dan DPR:
Jika negara mengakui pengabdian sebagai landasan pengangkatan P3K, lalu mengapa
guru yang sudah berumur, punya inpassing, dan masa kerja panjang masih harus
menunggu nasib lewat rekrutmen terbuka yang belum tentu berpihak?
Tulisan ini bukan sekadar narasi, tapi bentuk advokasi
moral bahwa ada puluhan ribu guru senasib yang kini menanti sinyal baik
dari para penguasa pendidikan. Mereka bukan meminta belas kasih, mereka hanya
ingin pengakuan dan keadilan.
Semoga tulisan ini sampai ke meja para pengambil
keputusan. Semoga, usia tidak menjadi alasan untuk ditinggalkan. Dan semoga,
langkah kecil di media ini bisa menjadi gerbang besar untuk perubahan.
Teruslah bertanya. Teruslah bersuara. Karena suara
guru, adalah suara masa depan bangsa.
Post a Comment