(Naskah ke 82)
Amel, murid berprestasi alumni MTsN 2 Garut, harus kubur mimpi demi bantu keluarga. Simak kisah nyata ini biar kamu tahu, kemiskinan itu bukan pilihan!
Namanya Amel. Tiga tahun lalu dia lulus dari MTsN
2 Garut dengan segudang prestasi. Ranking selalu di atas, karakter luar biasa,
dan punya impian besar: kuliah, kerja di kota besar, lalu bangun rumah untuk
ibunya. Tapi kenyataan lebih kejam dari harapan.
Kini, di usianya yang baru lulus SMA dari SMAN 3
Garut, Amel tak melangkah ke kampus impian. Dia melangkah ke pabrik. Bukan
karena bodoh, bukan karena malas, tapi karena satu hal yang terlalu sering kita
anggap biasa: kemiskinan.
Apa masalahnya?
Amel hidup dalam keluarga fatherless. Sejak kecil
hanya tinggal bersama ibunya yang berjuang sendiri. Perceraian orang tua
menyisakan trauma. Tapi Amel enggak menyerah. Dia tetap belajar keras. Tapi
pada akhirnya, keadaan menang. Saat teman-temannya daftar kuliah, Amel sibuk
cari kerja.
Apa dampaknya?
Mimpi dikorbankan. Potensi dibekukan. Bukan cuma Amel, tapi jutaan anak di Indonesia alami hal serupa. Mereka pintar, rajin, punya semangat tapi kalah oleh biaya dan beban hidup. Pendidikan bukan cuma soal sekolah, tapi soal siapa yang bisa bertahan di tengah kerasnya dunia.
Ternyata begini realitanya:
1.
Kemiskinan membuat anak kehilangan masa depan meski
punya prestasi.
2.
Fatherless dan broken home memperparah kondisi
psikologis.
3.
Perempuan seperti Amel sering jadi tulang punggung
keluarga terlalu dini.
4.
Negara dan masyarakat sering luput memantau nasib
anak-anak seperti ini.
5.
Guru hanya bisa membantu sebatas peran, selebihnya
bergantung pada sistem.
Apa solusinya?
Kita enggak butuh belas kasihan. Kita butuh
sistem yang cepat tanggap pada siswa rentan. Beberapa langkah
yang bisa mulai dilakukan:
·
Data detil siswa rawan putus sekolah di
tiap madrasah/sekolah.
·
Gerakan beasiswa lokal dan gotong royong
alumni.
·
Kolaborasi sekolah dengan pabrik dan
UMKM agar siswa bisa kerja sambil lanjut belajar.
·
Penguatan peran wali kelas untuk
mengidentifikasi kasus berat.
Langkah yang bisa diambil sekarang juga:
1. Jika
kamu guru, cek kondisi sosial anak didikmu. Seringkali mereka tidak bicara
2. .Jika
kamu orang tua, jangan pernah wariskan kemiskinan emosional dan finansial.
3. Jika
kamu murid, tetap berjuang. Dunia bisa keras, tapi kamu bisa lebih kuat.
4. Jika
kamu pembaca umum, bagikan kisah ini. Mungkin ada Amel di sekitar kita yang
bisa diselamatkan lewat satu aksi nyata.
Kisah Amel bukan kasus tunggal. Indonesia sedang mengejar target penghapusan
kemiskinan ekstrem pada 2024–2025. Tapi itu hanya angka di grafik
kalau kisah nyata seperti ini terus berulang dan tak terdengar.
Amel mengajarkan kita satu hal: prestasi tidak selalu cukup menyelamatkan. Tapi
doa, semangat, dan solidaritas mungkin bisa. Jangan biarkan ada “Amel-Amel”
lain yang menyerah hanya karena lahir dalam kondisi yang tidak mereka pilih.
Amel, semoga Allah SWT membukakan jalan terbaik
untukmu.
Untuk para guru, orang tua, dan pemangku
kebijakan jangan tutup mata.
Karena kemiskinan bukan dosa, tapi
membiarkannya terus terjadi adalah kejahatan bersama.
Post a Comment