(Naskah ke 83)
Namanya Amel. Wajahnya teduh, matanya menyimpan
seribu cerita yang tak pernah ia ucapkan. Dulu, di kelas kecil itu kelas tempat
aku menjadi walinya Amel duduk di bangku pojok dekat jendela, tempat cahaya
matahari selalu lebih dulu menyapanya. Seperti doa yang diam-diam kupanjatkan
untuknya setiap pagi: semoga hidupmu lebih terang dari cahaya yang menyentuh
pipimu.
Amel tak pernah banyak bicara. Tapi nilainya berbicara
lantang. Dia selalu masuk tiga besar, hafal jadwal, rajin menulis puisi, dan
diam-diam memungut sampah teman-temannya yang tercecer. Di antara hiruk pikuk
anak-anak remaja yang mulai belajar ego, Amel tumbuh dalam senyap, membawa
luka, dan menyembunyikan letihnya dengan tawa ringan.
Aku tahu rumahnya kecil, sepi. Ayahnya pergi saat
usianya masih sangat muda. Ibunya perempuan tabah dengan kerudung lusuh dan
langkah yang cepat kerap datang ke madrasah membawa sepiring pisang goreng
sebagai tanda terima kasih karena telah menjaga anak gadisnya. Tapi aku tahu,
di balik rasa manis itu, ada getir yang tak mampu mereka kunyah bersama.
Amel ingin kuliah. Katanya ingin jadi guru. Seperti
aku. Katanya lagi, “Bunda Nurul, kalau nanti Amel jadi guru, Amel enggak mau
ada anak yang merasa sendirian.” Aku tertawa waktu itu, menahan air mata yang
hampir jatuh karena kalimatnya seperti lembar doa yang disisipkan ke langit.
Tiga tahun berlalu. Amel lulus dari SMAN 3 Garut. Tak
ada toga, tak ada pawai kelulusan, hanya kabar lirih dari teman-temannya: “Bu,
Amel kerja di pabrik. Dia enggak jadi kuliah.” Dunia seakan berbisik: mimpi itu
tak selalu punya cukup ongkos.
Amel, muridku, anakku, kau tahu… hatiku remuk. Aku
ingin sekali memanggilmu, menyuruhmu duduk di hadapanku seperti dulu. Ingin
kubisikkan bahwa dunia ini tak adil, tapi Tuhan tetap Maha Sayang. Ingin kuberi
tahu bahwa bukan kamu yang salah, tapi sistem yang terlalu sibuk mencetak
juara, lupa mendengar suara.
Andai aku bisa menukar sepatu kerjamu yang keras
dengan sepatu kampus yang nyaman. Tapi aku hanya seorang guru, Amel. Seorang
ibu yang harus membiayai anak-anaknya sendiri. Aku tak bisa banyak, tapi aku
masih bisa menulis doa.
Maka kutulis cerpen ini, sebagai hadiah kasihku.
Supaya dunia tahu, bahwa kamu pernah ada pernah bersinar meski akhirnya
terbenam terlalu dini. Supaya tak ada lagi Amel-Amel lain yang harus memilih
antara mimpi dan nasi.
Kepada siapa pun yang membaca ini, lihat sekelilingmu. Jika kau temukan Amel di kelasmu, di kampungmu, di antara pengikut Instagrammu jangan diam. Pegang tangannya. Tuntun dia ke cahaya. Karena bukan hanya otak yang butuh diselamatkan, tapi harapan yang terus dipatahkan.
Amel, semoga Allah SWT selalu menyertaimu.
Doaku tak akan habis.
Meskipun tangan tak bisa memberi, semoga tulisan ini
menjagamu dari lupa:
bahwa kamu berharga.
Selalu.
Post a Comment