Tangis di Balik Seragam: Kenapa Amel Tak Lagi Sekolah? Cerita Nyata yang Akan Membuatmu Menangis dan Tak Bisa Diam Saja

Oleh Nurul Jubaedah, S Ag.,S.Pd.,M.Ag

(Naskah ke 83)

Namanya Amel. Wajahnya teduh, matanya menyimpan seribu cerita yang tak pernah ia ucapkan. Dulu, di kelas kecil itu kelas tempat aku menjadi walinya Amel duduk di bangku pojok dekat jendela, tempat cahaya matahari selalu lebih dulu menyapanya. Seperti doa yang diam-diam kupanjatkan untuknya setiap pagi: semoga hidupmu lebih terang dari cahaya yang menyentuh pipimu.


Amel tak pernah banyak bicara. Tapi nilainya berbicara lantang. Dia selalu masuk tiga besar, hafal jadwal, rajin menulis puisi, dan diam-diam memungut sampah teman-temannya yang tercecer. Di antara hiruk pikuk anak-anak remaja yang mulai belajar ego, Amel tumbuh dalam senyap, membawa luka, dan menyembunyikan letihnya dengan tawa ringan.


Aku tahu rumahnya kecil, sepi. Ayahnya pergi saat usianya masih sangat muda. Ibunya perempuan tabah dengan kerudung lusuh dan langkah yang cepat kerap datang ke madrasah membawa sepiring pisang goreng sebagai tanda terima kasih karena telah menjaga anak gadisnya. Tapi aku tahu, di balik rasa manis itu, ada getir yang tak mampu mereka kunyah bersama.


Amel ingin kuliah. Katanya ingin jadi guru. Seperti aku. Katanya lagi, “Bunda Nurul, kalau nanti Amel jadi guru, Amel enggak mau ada anak yang merasa sendirian.” Aku tertawa waktu itu, menahan air mata yang hampir jatuh karena kalimatnya seperti lembar doa yang disisipkan ke langit.


Tiga tahun berlalu. Amel lulus dari SMAN 3 Garut. Tak ada toga, tak ada pawai kelulusan, hanya kabar lirih dari teman-temannya: “Bu, Amel kerja di pabrik. Dia enggak jadi kuliah.” Dunia seakan berbisik: mimpi itu tak selalu punya cukup ongkos.


Amel, muridku, anakku, kau tahu… hatiku remuk. Aku ingin sekali memanggilmu, menyuruhmu duduk di hadapanku seperti dulu. Ingin kubisikkan bahwa dunia ini tak adil, tapi Tuhan tetap Maha Sayang. Ingin kuberi tahu bahwa bukan kamu yang salah, tapi sistem yang terlalu sibuk mencetak juara, lupa mendengar suara.


Andai aku bisa menukar sepatu kerjamu yang keras dengan sepatu kampus yang nyaman. Tapi aku hanya seorang guru, Amel. Seorang ibu yang harus membiayai anak-anaknya sendiri. Aku tak bisa banyak, tapi aku masih bisa menulis doa.


Maka kutulis cerpen ini, sebagai hadiah kasihku. Supaya dunia tahu, bahwa kamu pernah ada pernah bersinar meski akhirnya terbenam terlalu dini. Supaya tak ada lagi Amel-Amel lain yang harus memilih antara mimpi dan nasi.


Kepada siapa pun yang membaca ini, lihat sekelilingmu. Jika kau temukan Amel di kelasmu, di kampungmu, di antara pengikut Instagrammu jangan diam. Pegang tangannya. Tuntun dia ke cahaya. Karena bukan hanya otak yang butuh diselamatkan, tapi harapan yang terus dipatahkan.


Amel, semoga Allah SWT selalu menyertaimu.

Doaku tak akan habis.

Meskipun tangan tak bisa memberi, semoga tulisan ini menjagamu dari lupa:

bahwa kamu berharga.

Selalu.

Post a Comment

أحدث أقدم