Oleh:
Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.
Saya masih ingat jelas satu momen ketika mengisi pelatihan di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota. Seorang anak tiba-tiba menghampiri saya saat istirahat, dan dengan polosnya bertanya, “Pak, kenapa saya nggak pernah bisa jadi juara kelas, padahal saya sudah belajar terus?”
Pertanyaan itu menghentak saya. Bukan karena saya punya jawabannya, tapi karena saya sadar: ada begitu banyak anak yang merasa dirinya gagal, hanya karena sistem tidak mampu melihat mereka secara utuh.
Anak itu sedang mengalami apa yang sering disebut sebagai rasa insecure secara akademik. Ia merasa usahanya tidak cukup, meskipun sudah belajar keras. Bukan karena dia malas atau tak mampu, tapi karena tolok ukur keberhasilan yang ada terlalu sempit—hanya berpusat pada nilai dan peringkat. Sistem tidak memberi ruang untuk mengenali cara belajar yang berbeda, kekuatan lain yang mungkin ia miliki, atau bahkan perjuangan pribadinya. Ia tak butuh simpati, tapi pengakuan bahwa dirinya berharga. Dan jika kita sebagai pendidik tidak mampu melihat dan mengangkat hal itu, maka kita ikut melanggengkan rasa tidak cukup yang tumbuh diam-diam dalam diri banyak anak.
Setiap kali saya masuk ke ruang kelas—baik sebagai dosen, guru, fasilitator, atau bahkan hanya sebagai tamu—saya selalu bertanya: benarkah ruang ini memberi tempat bagi semua anak? Atau malah hanya cocok untuk sebagian kecil yang kebetulan sesuai dengan standar?
Kita sering kali mengartikan sekolah sebagai tempat mengejar nilai dan prestasi. Tapi kalau boleh jujur, berapa banyak dari kita yang masih ingat isi pelajaran matematika kelas 5? Yang lebih kita ingat biasanya adalah guru yang baik hati, teman yang menyemangati, atau momen saat kita merasa dihargai. Itu yang saya maksud dengan “memanusiakan.” Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat tumbuh dan bertumbuh.
Sebagai akademisi yang menekuni teori pembelajaran, saya selalu tertarik pada pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek. Paulo Freire pernah bilang, “Pendidikan harus membebaskan, bukan menjinakkan.” Tapi dalam praktiknya, kita sering menemukan sebaliknya. Sekolah menjadi tempat yang horor, kaku, seragam, mencukur kreativitas, bahkan menekan. Anak-anak duduk diam, mendengar, menghafal, lalu diuji. Tak semua cocok dengan cara itu, dan bukan berarti mereka bodoh.
Saya pernah bertemu dengan anak yang sangat pandai bercerita, tapi selalu mendapat nilai rendah karena tak bisa menulis rapi. Juga anak yang luar biasa logis saat bicara, tapi sering gagal dalam ujian pilihan ganda. Bukankah kita harus mulai bertanya: apa sebenarnya ukuran keberhasilan dalam belajar?
Sebagai praktisi, saya belajar bahwa yang paling dibutuhkan anak adalah rasa aman. Aman untuk bertanya, untuk mencoba, bahkan untuk salah. Sekolah yang memanusiakan akan memberi ruang untuk semua itu. Guru bukan cuma pengajar, tapi juga pendengar. Kadang, satu kalimat dukungan dari guru bisa jadi pengubah hidup seorang anak. Saya tahu, karena saya pernah mengalaminya sendiri.
Kita juga harus bicara soal inklusi. Saya tahu ini bukan topik yang selalu nyaman. Tapi kenyataannya, masih banyak anak berkebutuhan khusus yang ditolak masuk sekolah, hanya karena dianggap “mengganggu kelas”. Padahal, sekolah seharusnya belajar beradaptasi, bukan justru menolak mereka yang berbeda.
Tentu ini bukan pekerjaan ringan. Kita punya kurikulum yang padat, target yang tinggi, dan sistem penilaian yang sering kali sempit. Tapi di sela-sela semua itu, kita masih bisa memberi sentuhan manusiawi. Mendengarkan lebih banyak, memaklumi kekeliruan, dan merayakan proses—bukan hanya hasil.
Pada Hari Pendidikan Nasional tahun 2025 ini, saya tidak punya jawaban besar. Tapi saya punya harapan sederhana: semoga semakin banyak sekolah yang jadi tempat aman untuk tumbuh. Tempat di mana anak-anak tidak hanya diajari cara menjawab soal, tapi juga cara menjadi manusia.
Karena pada akhirnya, sekolah bukan hanya soal siapa yang paling pintar. Tapi siapa yang paling dihargai, didengarkan, dan diberi kesempatan untuk tumbuh—apa pun bentuk kecerdasannya.
Bukankah pendidikan itu pada hakikatnya adalah proses untuk memanusiakan manusia?
Wallahu ’alamu.
=====≠=============
*) Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Ketua Umum Agerlip PGM Indonesia
Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Sukabumi
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi MUI Kota Sukabumi
إرسال تعليق