Kiprah dan eksistensi Perkumpulan Guru
Madrasah Indonesia (PGM Indonesia) tidak akan tercatat dalam sejarah tanpa
dedikasi luar biasa dari para pendirinya. Diantara mereka, tiga nama terus
mencuat, tak lekang oleh waktu, dan senantiasa menyertai perjalanan panjang
organisasi ini: Ir. H. Yaya Ropandi, S.Pd.I., M.Si, Drs. H. Ahmad Sadeli,
M.M.Pd.I, dan Dr. Hj. Neni Argaeni, M.Pd.I. Mereka bukan sekadar pendiri,
tetapi ruh pergerakan yang masih terus bekerja, berpikir, dan berjuang untuk
guru madrasah di seluruh Indonesia.
Ir. H. Yaya Ropandi lahir di Garut, 12
Februari 1972. Pendidikan dasar ia tempuh di MI Muhammadiyah Bojot,
Karangpawitan. Selepas itu, ia melanjutkan ke SMPN 1 Wanaraja dan SMAN Cibatu
(kini SMAN 3 Garut). Sejak remaja, Yaya tinggal di pesantren, termasuk selama
SMA di Pondok Pesantren Keresek Cibatu yang dikenal ahli dalam ilmu alat
(nahwu-sharaf). Jiwa keislaman dan kedisiplinan pesantren menjadi fondasi
perjuangannya kelak.
Meski sempat mengambil jurusan teknik mesin
di Universitas Islam As-Syafi’iyah, semangat mengabdi pada dunia pendidikan tak
pernah padam. Ketika kuliah, Yaya aktif dalam berbagai organisasi, termasuk
Senat Mahasiswa, LDK, hingga HMI Cabang Karawang-Bekasi, menjabat sebagai Ketua
PAO dan PTKP.
Perjalanan mengajarnya dimulai pada semester
VI kuliah, ketika diminta menggantikan guru fisika yang kosong di MA Nur
Elghazy, Bekasi. Tak berhenti di situ, ia terus terlibat aktif membina OSIS,
dan mengajar di MTs Negeri Setu Bekasi. Dunia pendidikan madrasah pun resmi
menjadi jalan hidupnya.
Tahun 2005 menjadi titik balik penting dalam
sejarah profesi guru madrasah. Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14
Tahun 2005 membuka peluang perjuangan hak-hak guru, namun belum ada organisasi
resmi yang mewakili guru madrasah di bawah Kementerian Agama. Di tengah
kekosongan itulah Yaya Ropandi dan sejumlah tokoh lokal mulai membangun wadah
perjuangan.
Dari Bekasi lahir Persatuan Guru Islam Bekasi
(PGIB). Di Depok, muncul PGMRI (Persatuan Guru Madrasah Republik Indonesia)
yang dipelopori H. Soleh, Ahmad Sadeli, dan lainnya. Di Kota Bekasi, PGM
dipimpin oleh H. Ubaydillah Khoir dan H. Thaif Abdul Manan. Dari Bogor ada Hj.
Euis, H. Nizar, dan dari Karawang ada H. Ibrahim dan Ahmad Ade. Semua bergerak
karena kesamaan nasib dan kepentingan: guru madrasah harus punya suara, dan
suara itu harus terorganisasi.
Setelah melalui rangkaian diskusi dan rapat bergilir lintas kota, maka disepakati pembentukan organisasi guru madrasah tingkat Jawa Barat. Yaya Ropandi dipercaya sebagai Ketua Panitia Deklarasi. Momentum ini pecah pada 27 Desember 2007 di Lapangan Gasibu, Gedung Sate, Bandung. Deklarasi ini dihadiri 12.000 guru dari 27 kabupaten/kota se-Jabar, menjadi salah satu aksi massa guru terbesar di Indonesia. Sekda Provinsi Jabar, Kakanwil Kemenag Jabar, dan para kepala Kemenag turut hadir mendukung gerakan ini.
Tak lama kemudian, DPW PGM Indonesia Jawa
Barat resmi terbentuk. Yaya bersama timnya berkeliling Jabar untuk melantik
pengurus di daerah. Salah satu momen istimewa adalah peresmian MI PGM di
Cirebon, sekolah yang dibangun oleh PD PGM Cirebon dan kini menjadi madrasah
favorit di kota tersebut. Ini membuktikan bahwa PGM bukan hanya organisasi
profesi, tapi juga motor pembangunan pendidikan di tingkat akar rumput.
Kesadaran akan pentingnya organisasi skala
nasional membuat Yaya bersama jaringan guru madrasah Jawa Barat, DKI Jakarta,
dan Banten menginisiasi Musyawarah Nasional (Munas) I pada 23-24 Juli 2008 di
Taman Wiladatika Cibubur, Jakarta. Dra. Hj. Neni Argaeni ditunjuk sebagai Ketua
Panitia. Pada tanggal 24 Juli 2008, tepat di Aula Pandansari, PGM Indonesia
resmi dideklarasikan sebagai organisasi nasional.
Munas I menghasilkan keputusan strategis:
membentuk organisasi bernama Persatuan Guru Madrasah (PGM) Indonesia,
menetapkan AD/ART, serta memilih Prof. Dr. H. Abdul Madjid sebagai Ketua Umum
dan Drs. H. Ahmad Sadeli sebagai Sekretaris Jenderal. Sadeli, yang sejak awal
memperjuangkan guru madrasah Depok, dikenal sebagai pemikir strategis dan
penghubung antar wilayah.
Perjalanan organisasi terus berlanjut. Munas
II memilih H. Thaif Abdul Manan sebagai Ketua Umum dan Badrudin S.Pd.I sebagai
Sekjen. Namun, setelah wafatnya Thaif pada 2015, organisasi sempat vakum. Dalam
situasi inilah Neni Argaeni kembali menjadi penopang organisasi. Bersama para
pembina, ia menyelenggarakan rapat pleno nasional yang memilih A. Agus
Ridallah, SH., MH sebagai Ketua Umum dan dirinya sendiri sebagai Sekjen.
Kepengurusan baru ini disahkan secara hukum dan menjadi landasan organisasi
hingga 2022.
Pada Munas III tahun 2022 di Bogor, Ir. H.
Yaya Ropandi kembali memimpin organisasi sebagai Ketua Umum dan didampingi Asep
Rizal Asy’ari, S.Pd.I sebagai Sekjen. Perubahan struktur ini kembali disahkan
oleh Kemenkumham RI melalui akta notaris dan SK resmi. Dengan legalitas yang
kuat dan semangat lama yang tak pernah padam, Yaya dan timnya langsung bergerak
cepat membangun konsolidasi.
Hingga akhir 2024, PGM Indonesia telah
memiliki 21 pengurus wilayah provinsi, dari Aceh sampai Papua. Ini adalah
pencapaian besar bagi organisasi yang dibangun dengan modal semangat, jejaring,
dan tekad memperjuangkan guru madrasah.
PGM Indonesia tidak hanya bicara soal
advokasi tunjangan atau status kepegawaian, tetapi juga membawa misi besar
membangun profesionalisme dan marwah guru madrasah. Dalam visinya, PGM ingin
mewujudkan guru madrasah yang berkualitas, sejahtera, dan bermartabat. Visi ini
diterjemahkan dalam lima misi besar:
- Meningkatkan budaya kerja guru yang kreatif,
inovatif, produktif, dan bertanggung jawab.
- Mendorong peningkatan kualitas pendidikan
madrasah secara menyeluruh.
- Mengoptimalkan pembelajaran kompetitif dan kolaboratif
melalui berbagai kegiatan.
- Membangun kerja sama strategis dengan
pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun swasta.
- Menjadikan guru madrasah sebagai teladan moral
(uswatun hasanah) di tengah masyarakat.
Ketiga tokoh yang sejak awal menyertai PGM
Indonesia tetap aktif hingga kini. Yaya Ropandi menjadi motor utama organisasi;
Ahmad Sadeli tetap menjadi rujukan pemikiran dan strategi; dan Neni Argaeni
menjadi tulang punggung administratif dan hukum organisasi. Ketiganya saling
melengkapi dan menjadi kekuatan yang tidak tergantikan.
Perjalanan panjang mereka membuktikan bahwa
perubahan besar bisa dimulai dari niat tulus dan kerja kolektif. Tak ada
anggaran negara, tak ada fasilitas mewah. Hanya semangat, komunikasi, dan
keyakinan akan pentingnya memperjuangkan hak guru madrasah. Kini, ribuan guru
mendapat manfaat dari keberadaan PGM: legalitas, pelatihan, advokasi, hingga
pembangunan sekolah berbasis komunitas.
Namun, jalan ke depan masih panjang.
Tantangan era digital, kompleksitas regulasi ASN dan non-ASN, serta tuntutan
peningkatan mutu pendidikan membuat PGM Indonesia harus terus berinovasi.
Regenerasi kader, digitalisasi organisasi, dan peningkatan kualitas sumber daya
guru menjadi agenda penting berikutnya.
Dan disinilah pentingnya mengenal siapa
tokoh-tokoh yang selama ini menjaga bara api semangat. Mereka bukan sekadar
pendiri, tetapi penjaga nyala yang hadir bukan hanya saat organisasi
lahir, tapi juga saat organisasi melewati badai, stagnasi, bahkan hampir mati.
Keberadaan mereka adalah jaminan bahwa PGM Indonesia dibangun dengan jiwa,
bukan sekadar formalitas.
Pertanyaannya kini bukan lagi, "Siapa
mereka?" Tapi lebih dalam: "Siapa yang siap melanjutkan perjuangan
mereka?"
Karena organisasi ini tidak akan abadi jika
tidak ada regenerasi. Sejarah membutuhkan penjaga baru. PGM Indonesia butuh
lebih banyak guru madrasah muda yang tidak hanya mengajar di kelas, tapi juga
bersuara untuk sesamanya. Karena perubahan tidak datang dari atas, tapi dari
mereka yang berani bertindak di bawah.
Jika Anda seorang guru madrasah, bergabunglah
dengan gerakan ini. Jika Anda orang tua, dukunglah perjuangan guru madrasah.
Dan jika Anda pembuat kebijakan, dengarlah suara mereka. Karena tanpa guru
madrasah, pendidikan agama di Indonesia akan kehilangan ruhnya.
Dan karena tanpa tokoh seperti Yaya Ropandi,
Ahmad Sadeli, dan Neni Argaeni PGM Indonesia mungkin hanya akan jadi mimpi yang
tak pernah lahir.
إرسال تعليق