Kejanggalan dalam Pendidikan Nasional Kita

Oleh: Ahmad Arief Ma’ruf, M.A., M.Si. | Ketua III Agerlip PGM Indonesia, Kepala MAN 4 Sleman



“Akreditasi tidak menjamin mutu.”
Demikianlah sepenggal kalimat dari Menteri Nadiem Makarim yang pernah mencuri perhatian publik. Sebagian orang menyambutnya dengan serius, sementara saya hanya bisa tersenyum lalu berseloroh, “Menjadi Menteri Pendidikan tidak menjamin pintar.”


Waktu terus bergulir, dan kebijakan demi kebijakan meluncur dari sang menteri, mengguncang tatanan pendidikan kita. Ada yang memuji, ada pula yang bertanya-tanya. Inilah catatan kecil tentang kejanggalan yang terasa menyelusup di sela-sela harapan besar pada pendidikan kita.


1. Kurikulum Merdeka: Inovasi yang Terburu-buru

Kurikulum Merdeka hadir dengan janji gemilang: fleksibilitas, relevansi, dan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Namun, di balik benderang visinya, tampak bayang-bayang tergesa. Kurikulum ini konon lahir dari metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) yang diadopsi dari kurikulum sebuah sekolah swasta yang beliau kunjungi, tapi diberlakukan tanpa persiapan matang.


Saya teringat masa kuliah, saat Prof. Yahya Umar, dosen statistik kami, tak hadir karena menghadiri rapat penting di Malaysia. Mereka sedang merancang kurikulum untuk 12 tahun mendatang. Sebuah persiapan yang penuh kehati-hatian. Sementara kita? Seolah terjun bebas tanpa jaring pengaman, berharap semuanya berjalan baik.


2. Asesmen Nasional: Potret yang Terlalu Sempit

Asesmen Nasional (AN) berfokus pada literasi dan numerasi, dua hal yang tak bisa disangkal pentingnya. Namun, apakah kehidupan hanya tentang angka dan kata? Kurikulum di sekolah mengajarkan banyak hal—sains, seni, sosial, keterampilan hidup—semua menjadi bagian dari mozaik manusia seutuhnya.

Namun, AN menyempitkan fokus itu. Literasi dan numerasi menjadi dewa yang harus disembah. Guru tertekan oleh target, siswa terbebani oleh harapan. Dan aspek-aspek lain? Kreativitas, kolaborasi, bakat, dan minat terabaikan, bagai daun gugur yang ditiup angin.


Lebih ironis lagi, hasil AN dan Survei Lingkungan Belajar (Surlingjar) dijadikan acuan Rapor Mutu Pendidikan. Padahal, instrumen Surlingjar penuh bias. Semua guru dan kepala sekolah diukur dengan alat yang sama, tanpa membedakan peran mereka. Jawaban-jawaban pun mudah ditebak, seolah permainan menebak kunci jawaban, bukan refleksi nyata sebuah mutu.


3. UTBK: Standarisasi yang Menghapus Diferensiasi

Di meja UTBK, semua siswa dipaksa sama. Anak yang ingin menjadi dokter atau guru Bahasa Jawa, semua diuji dengan soal yang serupa. Sebuah ironi besar: pendidikan yang mestinya menghargai diferensiasi justru memaksakan standarisasi yang kaku.


Anak-anak bertanya-tanya: untuk apa memeras otak memahami kimia, fisika, atau akuntansi, jika semuanya tak berbekas di ujian seleksi? Di kelas, guru telah mencoba menerapkan diferensiasi, merangkul gaya belajar yang berbeda-beda. Namun, UTBK menghapusnya dengan satu sapuan kuas: satu format, satu materi, untuk semua.


Lebih dari itu, UTBK menggerus motivasi siswa. Apa yang mereka pelajari di sekolah tampak tak relevan. Pendidikan kehilangan ruhnya: tak lagi mendidik manusia, hanya mencetak angka.


Sebuah Harapan untuk Masa Depan

Kurikulum Merdeka, Asesmen Nasional, UTBK—semuanya adalah potret dari upaya perubahan. Namun, perubahan tanpa arah yang jelas hanya akan melahirkan kebingungan. Pendidikan kita butuh kebijakan yang lebih bijak, kebijakan yang membumi dan menghargai kompleksitas.


Semoga, pemimpin-pemimpin mendatang mampu memperbaiki apa yang perlu diperbaiki, menambal retakan tanpa meruntuhkan fondasi. Pendidikan bukan sekadar sistem, ia adalah jiwa. Semoga kita semua dapat menjaga jiwa itu tetap hidup.

Amin.


Bionarasi

Ahmad Arief Ma’ruf (Arief) lahir pada 19 Agustus 1967 di Plosokuning, Sleman. Meraih Magister pada bidang Psikologi Pendidikan Islam di UMY dan bidang Psikometri di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kepala madrasah yang juga pernah menjabat sebagai anggota Badan Akreditasi Nasional  (BAN) ini tinggal di Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Dua buah novelnya telah diterbitkan oleh pemerintah dengan tiras 100 ribu dan 40 ribu eksemplar. Ia juga pernah menulis modul pelatihan untuk Kemdikbud maupun Kemenag. Sementara itu puisi-puisinya pernah diterbitkan oleh Fakultas Sastra UGM (Antologi Jembatan) dan Jamaah Shalahuddin UGM (Antologi Jembatan). Sejak 2 Maret 2023 Arief dipercaya menjadi Kepala MAN 4 Sleman.

أحدث أقدم