Kurban dan Jalan Pulang ke Dalam Diri

 

Oleh: 

Dr.H.Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag.,M.Pd. *)


Saya masih ingat bau amis itu. Bau amis dari  kambing dan sapi, peluh panitia, dan debu halaman masjid. Tahun itu saya terlibat kut menjadi panitia kurban. 


Di tengah bau darah dan rumput basah, mata saya bertemu tatapan seekor domba. Ia diam. Tidak melawan. Seperti pasrah sekali. Jujur, saya malu. Mungkin ia lebih ikhlas daripada saya.


Kata guru saya di pesantren dulu, kurban itu bukan soal daging. Bukan tentang sapi besar atau kambing lokal. Kurban adalah latihan spiritual yang tidak mudah. Kita menyembelih bukan hanya hewan, tapi rasa memiliki yang selama ini kita peluk erat: harta, ego, gengsi.


Saya pernah susah sekali melepas uang untuk orang lain. Rasanya sayang. Bukankah itu hasil kerja keras? Tapi kemudian saya belajar: semakin saya genggam, harta itu makin menyesakkan. Tapi saat saya lepaskan—walau sedikit—rasa cukup perlahan datang. Aneh, ya?


Nabi Ibrahim juga tak diberi penjelasan lengkap. Allah SWT meminta sesuatu yang paling ia cintai: anaknya sendiri. Tapi ia taat, bukan karena logika, melainkan cinta. Dan saya sadar, ketaatan sejati memang sering tidak nyaman. Tapi justru di situlah makna kurban.


Kita ini, seringnya, terlalu sibuk mengamankan apa yang kita punya. Sampai lupa, semuanya akan kembali juga. Kurban mengingatkan saya bahwa semua ini titipan. Anak, rumah, pekerjaan, bahkan napas. Maka saat diminta, tak semestinya kita menggertak langit dengan tangis.


Saya punya tetangga, buruh tani yang hidup pas-pasan. Tapi setiap tahun ia tetap berkurban. “Saya nggak kaya,” katanya, “tapi saya nggak mau pelit.” Kata-kata itu membekas. Karena kadang, yang sedikit justru lebih tulus saat memberi, dibanding mereka yang berlimpah.


Idul Adha lalu, saya lihat banyak orang sibuk posting daging kurban. Pagi motong, siang upload. Saya tersenyum getir. Kurban seharusnya adalah ibadah senyap. Memberi tanpa ingin dipuji. Diam-diam mengalirkan kebaikan. Seperti air sumur yang tak berisik, tapi menyejukkan.


Dunia ini sedang gaduh. Semua orang bicara, sedikit yang mendengar. Semua ingin terlihat, sedikit yang ikhlas. Mungkin karena itulah kita butuh Idul Adha—untuk mengingat bahwa memberi tanpa suara adalah bentuk cinta paling utuh.


Pada akhirnya, saya percaya: kurban bukan tentang kambing atau sapi. Tapi tentang diri saya sendiri. Tentang keberanian melepaskan. Tentang kerelaan menyerahkan. Tentang jalan pulang ke dalam jiwa yang sering lupa bahwa hidup bukan tentang memiliki, tapi tentang memberi.


Dan saya ingin belajar lagi tahun ini. Menyembelih bukan hanya hewan, tapi juga rasa tamak. Rasa takut kehilangan. Rasa enggan memberi. Sebab saya tahu, makin ringan saya berjalan, makin dekat saya pulang—kepada-Nya.


==============

*) Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ketua Umum Agerlip PGM Indonesia

Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Sukabumi

Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi

Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi MUI Kota Sukabumi

Ketua Komisi Bidang Pendidikan ICMI Kota Sukabumi

Litbang, Perpustakaan, Kajian dan Kurikulum DKM Masjid Agung Kota Sukabumi

Ketua FU-Warci (Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul) Kota Sukabumi

Post a Comment

Previous Post Next Post