ANAK KITA, CERMIN KITA: SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?

 

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Sering kali kita mendengar atau melihat berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para siswa, terutama akhir-akhir ini, yang banyak diberitakan melalui media sosial. Fenomena perilaku menyimpang remaja di berbagai daerah menurut saya sudah sangat mengkhawatirkan telah melampaui batas, meresahkan, dan menjadi isu serius yang harus segera ditangani.


Miris dan sedih rasanya menyaksikan berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja kita, mulai dari kenakalan ringan hingga tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan diri mereka sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat luas. Bahkan, tak jarang aksi perkelahian antarpelajar menelan korban jiwa.


Beberapa hari lalu, media sosial dihebohkan dengan video pelajar di Kendari yang tawuran mengenakan seragam olahraga. Ironisnya, peristiwa semacam ini bukanlah yang pertama. Di awal tahun 2025, saya sendiri sempat menyaksikan langsung sekelompok anak usia SD sekitar sepuluh orang terlibat bentrokan kecil di pinggir jalan. Mereka membawa kayu bekas pagar sawah, besi yang dibengkokkan menyerupai celurit panjang, dan salah satunya tampak merekam kejadian tersebut dengan gawai.


Saya segera membubarkan mereka dan mencoba menanyakan kepada salah satu anak, "Kenapa ini? Ada apa?" Jawabannya sungguh menohok, “Tuman kudu diwarah.” (Sudah kebiasaan, harus dinasihati.) Saya lalu mengajak mereka saling memaafkan, menyampaikan agar jangan terbawa emosi, dan mencoba berbincang santai. Sebelum beranjak, saya pesankan dengan tegas bahwa jika kejadian serupa terulang, mereka akan dikumpulkan dan orang tua masing-masing akan diberitahu dan dipanggil oleh sekolah masing-masing. Respons mereka? Hanya tertawa kecil sambil menjawab, “Siap, Bu,” lalu berlarian membubarkan diri.


Tawuran Pelajar: Alarm Sosial dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Tawuran pelajar bukan sekadar soal remaja yang brutal atau kehilangan arah. Ia adalah gejala dari sistem sosial yang sedang sakit. Ketika anak-anak kita lebih memilih batu yang dibalut sarung, celurit, dan kekerasan, ketimbang buku, musik, atau dialog itu pertanda ada nilai yang gagal kita tanamkan sebagai orang dewasa di sekitar mereka. Sering kali kita saling menunjuk:
“Ini salah orang tua.”
“Sekolah kurang tegas.”
“Lingkungan buruk.”
“Pemerintah tidak peduli.”


Namun yang jarang kita lakukan adalah melihat ke dalam diri sendiri: Apa yang sudah saya lakukan?

Anak tidak dilahirkan dengan kebencian. Mereka belajar dari lingkungan sekitarnya. Ketika kasih sayang di rumah digantikan oleh kekerasan, ketika tekanan menggantikan dialog antara orang tua dan anak, ketika sekolah hanya mengejar nilai tanpa empati, ketika guru mengajar sekadar menggugurkan kewajiban, ketika masyarakat bersikap acuh, ketika pemerintah hanya hadir lewat regulasi tanpa tindakan nyata, dan ketika negara lebih sibuk menjaga citra dibanding hadir untuk rakyatnya. maka tawuran menjadi pelarian yang, bagi sebagian anak, terasa masuk akal.

 


Saya percaya, menyelamatkan anak dari tawuran bukan tugas siapa-siapa, tapi tugas kita semua. Mulai dari rumah yang penuh kasih, sekolah yang menjadi ruang aman, lingkungan yang aktif membina, media yang tidak memprovokasi, dan negara yang benar-benar hadir bukan hanya saat sudah viral. Jangan tunggu viral untuk peduli. Jangan tunggu korban berikutnya untuk bertindak. Karena jika satu anak jatuh dalam tawuran, itu bukan sekadar kegagalan pribadi, tapi kegagalan kita semua sebagai bangsa. Anak adalah harapan masa depan. Namun harapan itu bisa sirna jika kita lengah sejak awal. Maraknya aksi tawuran pelajar yang merusak dan bahkan merenggut nyawa sesama, adalah sinyal keras bahwa ada yang salah dalam proses pembentukan karakter generasi muda kita.


Tawuran tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari benih-benih yang dibiarkan, dari emosi yang tak terkontrol, pergaulan bebas tanpa arah, minimnya nilai akhlak, dan longgarnya pengawasan dari semua pihak. Di balik setiap aksi kekerasan remaja, sering kali tersembunyi kisah anak-anak yang haus kasih sayang, perhatian, dan bimbingan yang seharusnya mereka dapatkan. Inilah saatnya kita berhenti menyalahkan, dan mulai berbenah bersama.
Karena pendidikan sejati bukan sekadar angka dan prestasi akademik, tetapi soal membentuk hati dan perilaku manusia.


Peran Orang Tua: Fondasi Awal yang Tak Tergantikan

Orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Rumah menjadi tempat pertama anak belajar membedakan mana yang benar dan salah, menyerap nilai-nilai kesopanan, serta meneladani perilaku orang tuanya. Jika anak tumbuh dalam suasana yang penuh kasih sayang, perhatian, dan kedisiplinan, serta terbiasa dengan dialog terbuka tanpa penghakiman, ia akan memiliki bekal moral dan tanggung jawab yang kuat untuk menolak ajakan kekerasan di luar rumah. Sebaliknya, jika anak tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, pengabaian, atau dimanja tanpa batas, ia akan cenderung mencari “kekuatan” dan “pengakuan” di luar rumah, termasuk melalui geng atau aksi tawuran.


Peran Guru: Pembentuk Karakter di Sekolah

Di sekolah, guru tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter siswa. Guru yang peduli, adil, dan tegas akan dihormati siswanya. Sekolah harus menciptakan iklim yang menumbuhkan empati, kerja sama, dan penyelesaian konflik secara sehat, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Program pembinaan akhlak dan layanan bimbingan konseling perlu diperkuat, bukan sekadar menjadi solusi setelah masalah muncul, tetapi sebagai upaya pencegahan sejak dini. Kolaborasi antara sekolah dan keluarga sangat penting. Komunikasi yang aktif antara orang tua dan guru membantu mendeteksi perubahan perilaku anak sejak awal, sehingga tindakan pencegahan bisa dilakukan lebih cepat.


Anak adalah aset berharga yang harus dijaga. Tawuran bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga tanda adanya luka sosial yang harus disembuhkan bersama. Jika orang tua dan guru mampu bekerja sama dalam membina akidah, akhlak, dan karakter anak, maka masa depan mereka dan masa depan bangsa masih dapat diselamatkan.


Anak atau remaja dan moral bagaikan dua mata pisau. Jika tidak diarahkan dengan benar, dapat melukai diri sendiri maupun orang lain. Remaja yang tumbuh tanpa dasar moral yang kuat sangat rentan terjerumus dalam perilaku negatif. Maka muncul pertanyaan penting: Siapa yang bertanggung jawab menyelamatkan anak dari benih kekerasan, tawuran, dan perilaku menyimpang? Jawabannya bukan satu pihak saja, melainkan tanggung jawab bersama.


Tanggung Jawab Bersama Dalam Mencegah Perilaku Menyimpang Dan Kekerasan Remaja

1.    Orang Tua atau Keluarga

§  Menanamkan nilai moral, agama, dan etika sejak dini.

§  Menjadi teladan dalam mengelola emosi, menyelesaikan konflik, dan bertanggung jawab.

§  Membangun komunikasi yang terbuka dan hangat dengan anak.

§  Menjadi tempat curhat yang aman bagi anak agar tidak mencari pelarian negatif.


2.    Sekolah

§  Mendidik siswa tidak hanya secara akademis, tetapi juga dalam pembentukan karakter dan pengendalian diri.

§  Memberikan pembinaan melalui konseling, kegiatan ekstrakurikuler positif, dan pendekatan humanis.

§  Melibatkan guru BK, wali kelas, dan keamanan sekolah dalam pencegahan kekerasan.


3.    Masyarakat atau Lingkungan

§  Budaya kekerasan di lingkungan sekitar dapat membentuk perilaku agresif anak.

§  RT/RW, tokoh masyarakat, dan warga sekitar perlu peduli dan responsif terhadap perilaku menyimpang anak-anak.

§  Memfasilitasi kegiatan positif seperti olahraga, seni, dan keagamaan.


4.    Pemerintah atau Negara

§  Menyediakan kebijakan dan program pencegahan kenakalan remaja.

§  Memperkuat layanan konseling di sekolah, puskesmas, dan lembaga sosial.

§  Menyediakan ruang kreativitas dan pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan remaja (youth center).


5.    Media Sosial dan Media Massa

§  Menyajikan konten edukatif dan inspiratif, serta menghindari glorifikasi kekerasan.

§  Orang tua dan guru perlu memberikan literasi digital dan mengawasi konten yang dikonsumsi anak.

§  Jika tidak ada pihak yang peduli, maka anak sendirilah yang menjadi korban. Masa depan mereka terancam karena salah arah. Tawuran bukan hanya soal hukum, tetapi juga kegagalan sistem pendidikan karakter.

 


Evaluasi Pendidikan dan Undang-Undang

Perilaku menyimpang, kekerasan, dan tawuran di kalangan remaja mencerminkan krisis karakter yang bertentangan dengan amanat pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 3 UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan:


"Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."


Perilaku kekerasan jelas bertentangan dengan tujuan ini. Selain itu, Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa peserta didik wajib: "Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses pendidikan."


Ketika anak terlibat dalam kekerasan atau tawuran, mereka telah melanggar norma pendidikan yang mencakup sikap toleransi, penolakan terhadap kekerasan, kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen terhadap belajar. Pendidikan nasional memiliki fungsi membentuk watak dan kepribadian yang bermartabat. Jika kenyataannya remaja justru menunjukkan perilaku menyimpang, maka ini menandakan adanya kesenjangan antara tujuan dan implementasi pendidikan. Maka penanganan terhadap remaja yang berperilaku menyimpang harus dilakukan melalui pendekatan pendidikan dan pembinaan, bukan hanya dengan sanksi atau pengusiran. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa peserta didik berhak mendapatkan layanan pendidikan dan bimbingan konseling.

 


Orang Tua: Penjaga dan Penyelamat Pertama dari Perilaku Menyimpang Anak

Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang semakin kompleks, tantangan yang dihadapi anak-anak dan remaja pun kian beragam. Pergaulan bebas, konten digital tanpa batas, tekanan teman sebaya, dan lemahnya kontrol sosial membuat mereka mudah tergelincir dalam perilaku menyimpang seperti tawuran, narkoba, pornografi, dan kekerasan. Di tengah derasnya arus zaman ini, orang tua tidak bisa hanya menjadi penonton. Orang tua harus menjadi penyelamat pertama anak dari semua bentuk penyimpangan moral dan perilaku. Ini bukan hanya tuntutan sosial, tetapi juga perintah langsung dari Allah SWT. Dalam QS. At-Tahrim ayat 6, Allah menegaskan:


"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
(QS. At-Tahrim: 6)


Ayat ini mengandung makna yang sangat dalam: orang tua bertanggung jawab secara langsung atas keselamatan akidah, akhlak, dan amal anak-anaknya. Allah tidak menyuruh pemerintah dulu, tidak menyuruh guru dulu, tapi menyuruh “orang-orang yang beriman”  yaitu para ayah dan ibu, kepala keluarga, untuk menjadi penjaga utama dan pertama.


Kenapa orang tua? Karena rumah adalah tempat pertama anak belajar membedakan baik dan buruk. Dari rumah, anak belajar nilai-nilai kejujuran, sopan santun, tanggung jawab, dan kasih sayang. Jika rumah gagal memberikan fondasi ini, maka anak akan mencarinya di luar yang belum tentu membimbingnya ke jalan kebaikan. Lebih dari itu, orang tua juga akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas apa yang mereka biarkan terjadi pada anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:


"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)


Maka menjadi kewajiban orang tua untuk:

§  Menanamkan iman dan akhlak sejak dini, bukan menunggu anak bermasalah.

§  Mengawasi pergaulan dan media yang dikonsumsi anak, bukan membiarkannya lepas tanpa kontrol.

§  Membangun komunikasi terbuka, agar anak merasa aman dan dimengerti.

§  Menjadi teladan nyata, karena anak meniru lebih cepat daripada mendengar nasihat.


Ketika anak terjerumus dalam penyimpangan, maka yang pertama harus bercermin adalah rumahnya: adakah cinta yang kurang? Adakah perhatian yang hilang? Adakah teladan yang buruk?. Orang tua tidak sempurna, tapi mereka punya tanggung jawab yang tidak bisa ditunda. Jika bukan orang tua yang lebih dulu peduli, siapa lagi? Sekolah, masyarakat, dan pemerintah memang punya peran, tetapi mereka semua datang setelah orang tua. Maka jika orang tua lepas tangan, anak bisa tersesat sebelum sempat ditolong.


#SALAM SEMANGAT UNTUK PARA ORANG TUA DIMANAPUN BERADA

 

Post a Comment

Previous Post Next Post