Filosofi Menjadi Penulis Tangguh

 Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaKetua Umum Agerlip PP PGM Indonesia



Menulis itu bukan cuma soal bakat. Banyak orang berpikir, “Saya nggak bisa nulis,” padahal masalahnya bukan kemampuan, tapi kemauan buat terus belajar. Saya pun pernah ada di titik itu—buka laptop, niat nulis, ujung-ujungnya malah scroll Instagram. Tapi akhirnya saya sadar: kalau nggak mulai nulis sekarang, ya selamanya cuma jadi penonton. Pilihannya cuma dua—menulis atau diam.


Alasan klasik selalu ada. Sibuk, nggak ada ide, nggak ada waktu. Tapi kalau memang niat, waktu itu bisa dicuri dari sela-sela kesibukan. Saya sering nulis di angkot, pakai notes di HP. Tulisan seadanya, tapi lebih baik daripada nol. Kita kadang terlalu nunggu waktu sempurna, padahal yang penting mulai aja dulu.


Tulisan yang kuat sering lahir dari luka. Dari keresahan, dari hal-hal yang nggak bisa kita ucapkan. Hidup yang datar-datar aja, biasanya tulisannya juga nggak nyentuh. Jadi kalau kamu punya pengalaman pahit, jangan malah dipendam. Tulis. Karena itu juga bisa jadi kekuatan.


Saya pernah kirim tulisan ke redaksi. Tiga minggu nggak ada kabar. Akhirnya dibalas juga—tapi katanya belum layak naik. Sakit hati? Iya. Tapi saya nggak berhenti. Saya revisi, saya belajar lagi. Dan akhirnya, beberapa bulan kemudian, tulisan saya dimuat. Rasanya? Campur aduk. Tapi yang paling terasa: ternyata saya bisa.


Review dari orang lain itu penting banget. Kita sering terlalu sayang sama tulisan sendiri sampai nggak sadar banyak yang nggak jelas. Makanya, saya selalu minta dibaca orang lain dulu. Kritik memang kadang bikin nggak enak, tapi dari situlah kita bisa tumbuh. Sama kayak pupuk yang baunya nggak enak, tapi justru bikin tanaman subur.


Menulis itu seperti nanem pohon. Kalau mau tinggi, akarnya harus dalam. Dan itu butuh waktu. Kalau buru-buru, ya jadinya kayak rumput—cepat tumbuh, tapi juga cepat diinjak. Penulis yang tangguh itu sabar. Tahu bahwa prosesnya lama, tapi hasilnya layak ditunggu.


Pernah juga saya nulis semalaman. Pas dibaca keesokan harinya, rasanya jelek banget. Tapi saya nggak hapus. Saya simpan. Karena tulisan yang jelek hari ini, bisa jadi bagus besok. Yang penting, jangan takut gagal. Semua penulis hebat juga pernah nulis jelek.


Menulis itu kayak bikin pisau. Besi harus dipanasin dulu, dipukul-pukul, baru diasah sampai tajam. Kalau cuma disayang, ya tetap tumpul. Tapi kalau digembleng terus, hasilnya luar biasa. Tulisannya bisa jadi alat yang kuat, bahkan buat mengubah pandangan orang.


Kadang yang nyinyir justru teman sendiri. “Apaan sih nulis-nulis gitu, lebay.” Dulu saya tersinggung. Sekarang saya senyum aja. Karena saya tahu, tulisan saya bukan cuma buat mereka. Di luar sana, selalu ada orang yang butuh suara kita. Dan tulisan adalah salah satu cara paling kuat untuk bicara.


Penulis tangguh itu bukan berarti nggak capek. Tapi mereka tahu kenapa harus terus menulis. Kalau kamu baca ini dan merasa tergerak, mungkin artinya kamu juga punya suara. Tinggal satu pertanyaan yang tersisa: kamu siap bicara lewat tulisanmu sendiri?

Post a Comment

Previous Post Next Post