Mengapa Pendidikan Karakter Gagal Menyentuh Hati Siswa?

 

Oleh Dianing Banyu Asih

Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

 

Pendidikan karakter kini seolah menjadi “Bintang Utama” dalam setiap pidato pejabat, modul pelatihan guru, visi misi yang dijual pada berbagai lembaga pendidikan, hingga menjadi topik penelitian yang begitu digandrungi oleh banyak peneliti. Nilai-nilai luhur seperti integritas, gotong royong dan tanggung jawab menjadi jargon dan semboyan dalam berbagai naskah sakral Undang-undang hingga menjadi tema dalam berbagai isu kebijakan.

 

Namun, dibalik maraknya jargon pendidikan karakter, muncul sebuah pertanyaan besar bagi kita semua, Apakah pendidikan karakter yang sedang kita gaung-gaungkan saat ini, benar-benar hidup dalam keseharian siswa dan para pendidiknya? Atau hanya sekedar retorika yang gagal menyentuh hati para siswa yang menjadi amanah bagi para pendidik?

 

Jawabannya, ya pendidikan karakter di negara kita saat ini cenderung bersifat administratif daripada praktik, hal ini terlihat dari bentuk pembelajaran pendidikan karakter yang hanya berupa ceramah dan slogan di dinding kelas bukan pemberian pengalaman melalui kegiatan-kegiatan yang dapat membentuk dan menghidupkan “karakter baik” dalam diri siswa.

 

Bahkan tidak jarang “pendidikan karakter” hanya dilakukan saat ada momentum khusus seperti upacara bendera, pelatihan kepemimpinan atau kegiatan ekstrakurikuler bertema “Pendidikan Moral” yang hanya berlangsung dalam kurun waktu 1-2 hari, padahal pendidikan karakter hanya bisa dibentuk melalui pemberian keteladanan dan pembiasaan yang konsisten.

 

Lalu mengapa pendidikan karakter gagal menyentuh hati hati siswa ? Jawabannya tentu tidak sederhana.

 

Pertama,  masih kurangnya pendekatan pedagogik yang efektif, jarang sekali kita temui pendidik yang mau memberikan pengajaran dengan melibatkan siswa melalui kegiatan pembelajaran yang mampu menyentuh akal dan emosi siswa melalui diskusi reflektif, pembelajaran berbasis proyek sosial hingga praktik nyata di lingkungan.

 

Kedua, masih minimnya keteladanan di lingkungan sekolah, ini tentunya menjadi tugas yang berat bagi pendidik, karena pendidik tidak hanya bisa berbicara tentang pendidikan karakter tanpa merefleksikanya pada ucapan dan tingkah laku terutama saat berada di lingkungan sekolah, sehingga pendidik harus melakukan pendidikan karakter dengan prinsip “Walks the Talkbukan “Blatherskite”. Ingat karakter tidak bisa diajarkan secara verbal tapi ditularkan lewat tindakan.

 

Lalu apa yang bisa kita lakukan ? Jawabannya, banyak..!

Kita bisa memulai dengan mengintegrasikan pendidikan karakter pada semua mata pelajaran, bukan sekedar berupa “pelajaran tambahan” dengan cara menyisipkan nilai-nilai karakter pada setiap proses pembelajaran, seperti siswa diajarkan untuk jujur saat mengerjakan ujian dan pengambilan data untuk pelajaran science juga belajar empati melalui karya sastra yang ada pada pelajaran Bahasa Indonesia.

 

Guru tidak hanya diarahkan untuk memiliki sertifikasi keprofesian dan membuat konten ajar yang kekinian saja, tetapi juga diajarkan dan dibina untuk dapat mengelola dinamika yang sering terjadi di dalam kelas, seperti memfasilitasi dialog antar siswa, membantu siswa untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dan yang terpenting diarahkan untuk dapat menjadi teladan bagi siswa.

 

Dalam pendidikan karakter, tidak hanya guru yang memiliki peranan penting, lembaga pendidikan pun harus dapat menjadi tempat dimana nilai-nilai karakter dapat dipraktikan bersama oleh seluruh warga sekolah, karena hanya dalam ekosistem yang sehat, karakter bisa tumbuh dengan kuat.

 

Pendidikan karakter tidak boleh hanya menjadi proyek “Roro Jonggrang” yang ingin segalanya dapat dilakukan dengan instan , tetapi pendidikan karakter harus menjadi proyek jangka panjang yang berkelanjutan yang dimulai sejak pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi, Ia harus dapat menyentuh hati, mengubah perilaku, dan membentuk kepribadian yang tangguh. Jika tidak, pendidikan karakter hanya akan melahirkan generasi yang cakap secara teori moral tetapi gagap dalam implementasinya.

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post