Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.
Sebuah gebrakan edukasi kembali mencuat dari
Kementerian Agama RI bersama Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), melalui
pelaksanaan Uji Keterbacaan dan Uji Coba Modul Pendidikan Kesehatan Reproduksi
dan Seksual (PKRS) berperspektif Islam. Kegiatan ini digelar pada 21–25 April
2025 di Kabupaten Garut, dengan melibatkan guru MTs, pengasuh pondok pesantren,
dan berbagai elemen pendidikan Islam dari pusat hingga daerah.
Modul yang diuji kali ini adalah Modul SETARA
(Semangat Dunia Remaja) Berperspektif Islam – Modul 2, lanjutan dari Modul 1
yang telah diperkenalkan sebelumnya. Tujuan utama dari uji keterbacaan ini
adalah memastikan bahwa materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
remaja dapat dipahami secara utuh, kontekstual, dan selaras dengan nilai-nilai
Islam yang dianut peserta didik madrasah dan pesantren.
Apa Isi Modulnya?
Modul ini tidak hanya membahas aspek biologis seperti
pubertas, kehamilan, atau infeksi menular seksual. Tapi juga mendalami isu-isu
sosial seperti kekerasan berbasis gender, bullying, penyalahgunaan NAPZA,
hingga pentingnya menjaga hak atas tubuh, privasi, dan relasi yang sehat. Semua
ini diramu dalam kerangka keislaman, seperti nilai iffah (menjaga kehormatan
diri), rahmah (kasih sayang), dan adl (keadilan).
Kegiatan ini diikuti oleh nama-nama penting seperti
Prof. Dr. H. Suyitno (Dirjen Pendis Kemenag), Dr. Thobib Al Asyhar (Direktur
GTK), dan tokoh perempuan ulama seperti Nyai Badriyah Fayumi dari KUPI,
memperlihatkan bahwa isu ini sudah masuk dalam agenda strategis nasional.
Mengapa Diperlukan Modul Berbasis
Islam?
Sejak terbitnya Permenag Nomor 73 Tahun 2022 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Kemenag RI menegaskan pentingnya
pendidikan kespro di satuan pendidikan keagamaan. Namun, tantangan terbesarnya
adalah resistensi terhadap konten kespro yang dianggap “tidak sesuai budaya dan
agama”. Modul SETARA hadir menjawab tantangan ini—dengan bahasa yang bersahabat,
perspektif yang menghargai nilai keislaman, dan pembelajaran yang reflektif.
“Remaja kita harus tahu tentang tubuhnya, haknya, dan
bagaimana menjaga dirinya tanpa merasa bersalah secara agama,” ujar Ely
Sawitri, Direktur YGSI.
Uji Keterbacaan dan Uji Coba di
Lapangan
Peserta dari MTs dan pesantren dilibatkan langsung
dalam simulasi mengajar dan implementasi di kelas, dengan topik-topik sensitif
seperti “Dorongan dan Perilaku Seksual”, “Perkawinan Anak”, dan “Kehamilan
Tidak Diinginkan”. Para guru dilatih menyampaikan materi dengan pendekatan yang
interaktif, tanpa meninggalkan adab dan akhlak Islam.
Yang menarik, Modul ini bukan sekadar buku ajar,
tetapi menjadi alat advokasi untuk kebijakan pendidikan yang lebih berpihak
pada hak anak dan kesetaraan gender.
Solusi Bagi Pendidikan Islam?
Penguatan materi kespro berbasis Islam ini memberi
harapan baru bagi sekolah berbasis agama yang kerap terjebak dalam dilema:
mendidik remaja tentang seksualitas atau menjaga “kesucian” institusi? Dengan
pendekatan SETARA, pendidikan kespro tidak harus bertentangan dengan ajaran
Islam—bahkan justru memperkuatnya.
Dampaknya diharapkan lebih luas: menekan angka
perkawinan anak, menurunkan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, dan
mendorong remaja tumbuh sehat—fisik, emosional, spiritual.
Catatan Kritis
Namun, pertanyaannya: apakah modul ini akan menjadi
kebijakan nasional, atau hanya berhenti sebagai pilot project? Keberlanjutan,
perluasan distribusi modul, dan pelatihan guru secara massif harus menjadi
perhatian. Selain itu, pendekatan sensitif-budaya dan agama harus tetap menjaga
prinsip-prinsip HAM dan hak anak secara universal.
Modul SETARA berperspektif Islam diharapkan bukan
hanya menjadi pelengkap kurikulum, tapi penjaga masa depan remaja muslim di era
disrupsi informasi dan relasi. Uji keterbacaan ini menjadi langkah awal yang
menjanjikan. Jika berhasil, ini bisa menjadi model nasional bahkan
global—bagaimana agama dan sains bisa beriringan untuk melindungi anak-anak
kita.
Post a Comment