Gelombang Tsunami Cintaku

Oleh : Dra. Rr. Ayu Dewi Widowati | Dewan Pakar Agerlip PGM Indonesia, Guru MTsN 1 Yogyakarta



“Tak ada pilihan lain, aku harus pergi”, guman Haris lirih. Matanya menerawang jauh ke hamparan sawah di sebelah rumahnya. “Ya, aku memang harus pergi”, kata Haris lagi. Tapi bagaimana dengan Ninda? gadis kecilku yang baru berusia 7 bulan. Aku pasti akan selalu kangen dengan tingkah dan senyumnya yang menggemaskan. Tapi, semua itu harus kutepis. Harga diriku sebagai laki-laki tak mungkin kubiarkan jatuh terinjak-injak. Kubayangkan 3 tahun lalu ketika aku dan Wina bersanding di pelaminan. Ada rasa bahagia yang menyeruak dalam dada, saat itu aku masih punya penghasilan tetap sebagai mandor bangunan. Dan Wina istriku masih menjadi guru honor di salah satu SD di desaku.

Tetapi kini....semua berubah 180 derajat, setelah istriku diangkat menjadi pegawai negeri dan aku di PHK dari tempatku bekerja. Istriku berubah, dulu dia sangat lemah lembut dan selalu menyambutku dengan senyum sepulangku dari kerja, membuatkan teh nasgitel kesukaanku dan menemaniku mengobrol di ruang tengah. Sekarang, menoleh pun tidak ia lakukan saat aku pulang mencari pekerjaan. Yah...memang  dengan ijazah SMA yang kupunya saat ini memang sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Yang ada hanya pekerjaan serabutan di toko, atau buruh angkat barang di pasar. Saat kusampaikan kepada Wina istriku, dia selalu mengatakan,” tidak pantas pak, istrinya pegawai negeri kok suami hanya jadi buruh kasar”. Makanya dia selalu menuntutku untuk mencari pekerjaan yang dirasanya cocok dan bergengsi, agar dia tidak malu di depan keluarga dan teman-temannya.


Ketika ada pendaftaran relawan untuk diberangkatkan ke Aceh setelah bencana Tsunami melanda, aku pun iseng-iseng mendaftar , dan alhamdulillah diterima. Namun ketika aku sudah semangat mau berangkat, istriku gamang, dia merasa berat melepasku, namun juga menuntutku untuk mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya, Sedangkan hal itu mustahil kudapatkan saat ini.


Maka dengan setengah memaksa, aku beranikan diri untuk meminta izin berangkat ke Aceh memenuhi panggilan jiwa dan sekaligus untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluargaku. Sudah lebih setahun aku menganggur, semua kebutuhan rumah tanggaku istrikulah yang mencukupinya, termasuk untuk membeli rokok kesukaanku. Akhirnya dengan berat hati istriku mengizinkanku berangkat ke Aceh untuk kurun waktu 2 tahun . Ini adalah kontrak yang pertama, selanjutnya jika kondisi pembangunan di Aceh pasca Tsunami belum memungkinkan bisa dikontrak 2 tahun lagi.


Berangkatlah aku bersama rombongan dari Yogyakarta, seluruh relawan ada sekitar 500 orang dari beberapa provinsi di Jawa. Dari Yogyakarta sendiri ada sekitar 120 orang. Dengan perasaan campur aduk akhirnya aku berangkat juga. Ada perasaan sedih karena harus berpisah dengan putri semata wayangku Ninda yang sedang lucu-lucunya, berpisah dengan Ibuku, dan sedikit rasa sedih berpisah dengan Wina istriku. Aku tak tahu mengapa rasa sayang dan cintaku kepadanya mulai memudar, apakah karena aku yang terlalu sensitif, atau memang karena aku tak tahan dengan omelan-omelannya yang kadang membuatku tersinggung sebagai seorang  laki-laki dan sekaligus sebagai kepala keluarga? Aku tak tahu pasti....?


Setelah berada di Aceh untuk beberapa bulan, aku mulai kerasan meski pekerjaanku cukup berat dan beresiko. Awal-awal kedatanganku di daerah bencanaTtsunami sungguh mengerikan. Karena aku dan rekan-rekan relawan harus membersihkan sisa-sisa bencana yang begitu dahsyat,sering kutemukan potongan mayat diantara reruntuhan bangunan dan sampah yang berserakan. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa enjoy dan bisa menyesuaikan diri.


Tak kenal maka tak sayang, tak dekat maka tak cinta., demikian kata pepatah. Dalam istilah Jawa ada ‘witing tresno jalaran soko kulino’ . Mungkin itulah yang menyebabkan perkenalanku dengan gadis Aceh Latifah mendatangkan benih-benih cinta diantara kami.Latifah adalah seorang gadis yatim piatu yang menjadi korban Gelombang Tsunami. Ayah Ibu dan saudaranya hilang tak diketahui rimbanya. Dan menurut berita terakhir ayah dan ibunya ditemukan sudah tak bernyawa lagi. Latifah akhirnya menerjunkan diri menjadi relawan juga, dia ingin mengabdikan dirinya untuk membangun Aceh, tanah kelahirannya.


Akhirnya gayung bersambut, aku dan Latifah menikah, Meski kami hanya menikah sirri. Aku sudah melupakan Wina dan Ninda putriku, karena sejak 2 tahun lalu sudah kutinggalkan. Kontak kami pun sudah lama terputus . Kuniatkan untuk tetap tinggal di Aceh merajut kehidupan baru bersama Latifah, gadis sederhana yang mau menerimaku apa adanya. Betapa bahagia hatiku ketika kutahu Latifah mulai mengandung benih cinta kasih kami. Tak sabar ku menunggu calon anakku lahir. Hari demi hari selalu kunantikan, betapa bahagianya hatiku karena menurut hasil USG calon anakku berjenis kelamin laki-laki. Kubayangkan jika besar nanti dia akan kuajak main catur atau sepak bola bersamaku.


“ Pak Haris......, Anda dipanggil ke ruang dokter,” kata suster memecah lamunanku. Aku terkesiap dan bergegas menuju ke ruang dokter. Bagai disambar petir, saat iru rasanya aku mau roboh dan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kudengar dengan lirih Bu Intan dokter yang menangani persalinan istriku mengabarkan bahwa jiwa istriku Latifah tidak tertolong, akibat pendarahan hebat saat melahirkan anakku. Yaa Allah.....ampuni hambaMu ini. Mungkin ini hukuman bagiku karena telah menyia-nyiakan anak dan istri pertamaku.


أحدث أقدم