(62) Info DDWK Kemenag BDK Bandung: Kenapa Menulis Karya Ilmiah Masih Jadi Momok Guru? Ini Kunci Etika, Kaidah, dan Solusinya!

 

                                                        Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Menulis karya tulis ilmiah (KTI) masih menjadi tantangan besar bagi banyak guru di Indonesia. Padahal, kemampuan ini bukan hanya syarat administratif kenaikan pangkat, tetapi juga merupakan representasi dari kualitas berpikir kritis, reflektif, dan akademik yang mestinya melekat pada sosok pendidik. Lalu, mengapa masih banyak guru yang gamang, bahkan enggan menulis KTI?

Penyebab utamanya adalah ketidaksiapan pada tiga level: pemahaman konsep, penguasaan teknis, dan kedisiplinan akademik. Berdasarkan modul pelatihan dari Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung, disampaikan bahwa banyak guru yang belum memahami bahwa menulis ilmiah bukan sekadar mengutip dan menyusun ulang informasi, tetapi menyampaikan ide sendiri secara sistematis, logis, dan etis berdasarkan data atau analisis yang valid.

Permasalahan terbesar adalah etika dan kaidah. Banyak penulis pemula yang tanpa sadar melakukan plagiarisme karena tidak memahami cara mengutip, membuat parafrasa, hingga membedakan kutipan langsung dan tidak langsung. Meski sumber sudah dicantumkan, tak sedikit tulisan yang tetap terdeteksi plagiat karena teknik parafrasa yang salah atau terlalu mirip dengan sumber asli. Dalam konteks akademik, ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tapi juga pelanggaran moral.

Etika menulis ilmiah berarti penulis harus menghargai orisinalitas gagasan, menghindari manipulasi data, serta tidak menjiplak karya orang lain. Kaidah ilmiah mengacu pada struktur penulisan, sistematika logis, konsistensi sudut pandang, hingga pemilihan diksi yang tepat. Sumber referensi juga tidak cukup asal comot dari internet, melainkan harus berbasis karya akademik yang kredibel.

Solusi teknis untuk mengatasi kebuntuan menulis KTI sebenarnya sudah tersedia dan cukup praktis. Di antaranya adalah memahami PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), menguasai teknik parafrasa dengan benar, dan memanfaatkan aplikasi parafrase serta reference manager. Situs seperti PrepostSEO, Paraphrasing-tool.com, dan SEO Magnifier bisa membantu penulis meminimalkan risiko plagiarisme. Namun, aplikasi tetap hanya alat bantu, bukan jaminan mutu.

Akar dari semua ini sebenarnya terletak pada mentalitas dan niat. Menurut prinsip APIK (Asli, Perlu, Ilmiah, Konsisten), penulisan ilmiah tidak sekadar kegiatan akademik, tapi juga ekspresi integritas intelektual. Sayangnya, sebagian besar guru hanya menulis ketika “terpaksa” oleh tuntutan angka kredit, bukan karena semangat berbagi ilmu atau mengembangkan keilmuan.

Untuk itu, penting ada transformasi cara pandang: menulis sebagai bentuk tanggung jawab intelektual, bukan beban administratif. Guru yang aktif menulis akan terdorong untuk terus belajar, mengkritisi praktik pendidikan, dan menjadi bagian dari perubahan. Artikel, jurnal, atau buku yang mereka hasilkan akan menjadi warisan keilmuan bagi siswa, rekan sejawat, bahkan generasi guru berikutnya.

Dari sisi kebijakan, perlu ada dukungan sistemik yang tidak hanya mendorong kewajiban menulis, tetapi juga menyediakan pembinaan berkala, klinik menulis, mentoring, serta platform publikasi yang terbuka. Tidak semua guru harus jadi peneliti besar, tetapi semua guru perlu punya kemampuan menyusun gagasan ilmiah secara benar dan bermartabat.

Dengan memahami dan menguasai prinsip-prinsip dasar penulisan ilmiah, para guru dapat naik kelas bukan hanya secara pangkat, tetapi secara kualitas profesi. Ketika karya tulis lahir dari pemikiran murni, disusun secara metodologis, dan dipublikasikan secara etis, maka lahirlah generasi pendidik yang tak hanya mengajar, tetapi juga mencerdaskan bangsa lewat tulisan.

Apakah Anda sudah siap menulis karya ilmiah yang bukan hanya memenuhi syarat, tapi juga bermutu dan bermakna?

Post a Comment

أحدث أقدم