Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Menulis karya tulis ilmiah (KTI) masih menjadi
tantangan besar bagi banyak guru di Indonesia. Padahal, kemampuan ini bukan
hanya syarat administratif kenaikan pangkat, tetapi juga merupakan representasi
dari kualitas berpikir kritis, reflektif, dan akademik yang mestinya melekat
pada sosok pendidik. Lalu, mengapa masih banyak guru yang gamang, bahkan enggan
menulis KTI?
Penyebab utamanya adalah ketidaksiapan pada tiga
level: pemahaman konsep, penguasaan teknis, dan kedisiplinan akademik.
Berdasarkan modul pelatihan dari Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung,
disampaikan bahwa banyak guru yang belum memahami bahwa menulis ilmiah bukan
sekadar mengutip dan menyusun ulang informasi, tetapi menyampaikan ide sendiri
secara sistematis, logis, dan etis berdasarkan data atau analisis yang valid.
Permasalahan terbesar adalah etika dan kaidah.
Banyak penulis pemula yang tanpa sadar melakukan plagiarisme karena tidak
memahami cara mengutip, membuat parafrasa, hingga membedakan kutipan langsung
dan tidak langsung. Meski sumber sudah dicantumkan, tak sedikit tulisan yang
tetap terdeteksi plagiat karena teknik parafrasa yang salah atau terlalu mirip
dengan sumber asli. Dalam konteks akademik, ini bukan sekadar pelanggaran
teknis, tapi juga pelanggaran moral.
Etika menulis ilmiah berarti penulis harus
menghargai orisinalitas gagasan, menghindari manipulasi data, serta tidak
menjiplak karya orang lain. Kaidah ilmiah mengacu pada struktur penulisan,
sistematika logis, konsistensi sudut pandang, hingga pemilihan diksi yang
tepat. Sumber referensi juga tidak cukup asal comot dari internet, melainkan
harus berbasis karya akademik yang kredibel.
Solusi teknis untuk mengatasi kebuntuan menulis
KTI sebenarnya sudah tersedia dan cukup praktis. Di antaranya adalah memahami
PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), menguasai teknik parafrasa dengan
benar, dan memanfaatkan aplikasi parafrase serta reference manager. Situs
seperti PrepostSEO, Paraphrasing-tool.com, dan SEO Magnifier bisa membantu
penulis meminimalkan risiko plagiarisme. Namun, aplikasi tetap hanya alat
bantu, bukan jaminan mutu.
Akar dari semua ini sebenarnya terletak pada
mentalitas dan niat. Menurut prinsip APIK (Asli, Perlu, Ilmiah, Konsisten),
penulisan ilmiah tidak sekadar kegiatan akademik, tapi juga ekspresi integritas
intelektual. Sayangnya, sebagian besar guru hanya menulis ketika “terpaksa”
oleh tuntutan angka kredit, bukan karena semangat berbagi ilmu atau
mengembangkan keilmuan.
Untuk itu, penting ada transformasi cara pandang:
menulis sebagai bentuk tanggung jawab intelektual, bukan beban administratif.
Guru yang aktif menulis akan terdorong untuk terus belajar, mengkritisi praktik
pendidikan, dan menjadi bagian dari perubahan. Artikel, jurnal, atau buku yang
mereka hasilkan akan menjadi warisan keilmuan bagi siswa, rekan sejawat, bahkan
generasi guru berikutnya.
Dari sisi kebijakan, perlu ada dukungan sistemik
yang tidak hanya mendorong kewajiban menulis, tetapi juga menyediakan pembinaan
berkala, klinik menulis, mentoring, serta platform publikasi yang terbuka.
Tidak semua guru harus jadi peneliti besar, tetapi semua guru perlu punya
kemampuan menyusun gagasan ilmiah secara benar dan bermartabat.
Dengan memahami dan menguasai prinsip-prinsip
dasar penulisan ilmiah, para guru dapat naik kelas bukan hanya secara pangkat,
tetapi secara kualitas profesi. Ketika karya tulis lahir dari pemikiran murni,
disusun secara metodologis, dan dipublikasikan secara etis, maka lahirlah
generasi pendidik yang tak hanya mengajar, tetapi juga mencerdaskan bangsa
lewat tulisan.
Apakah Anda sudah siap menulis karya ilmiah yang
bukan hanya memenuhi syarat, tapi juga bermutu dan bermakna?
إرسال تعليق