Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Komitmen belajar adalah fondasi yang menentukan
arah, semangat, dan keberhasilan dalam setiap proses pendidikan.
Namun, di balik konsep sederhana itu, tersembunyi
realitas yang jauh lebih dalam: komitmen belajar bukan sekadar sikap, melainkan
cerminan dari citra diri, integritas moral, dan etos kerja seseorang, khususnya
bagi guru sebagai agen utama transformasi pendidikan.
Balai Diklat Keagamaan Bandung dalam pelatihan
bertajuk Building Learning Commitment menyajikan pendekatan yang
menyentuh akar persoalan komitmen belajar.
Materi pelatihan menekankan bahwa membangun komitmen
bukan dimulai dari luar, tetapi dari dalam dari pengenalan diri, kesadaran akan
potensi, hingga penemuan makna kerja sebagai bentuk aktualisasi dan ibadah.
Dalam dunia pendidikan yang semakin menuntut
profesionalisme, banyak guru terjebak dalam rutinitas mengajar tanpa sempat
merenung: “Apa yang membuat saya tetap bertahan di dunia ini?” atau “Apa tujuan
saya sebagai pendidik?” Komitmen belajar menjadi jawabannya.
Ini bukan sekadar janji untuk hadir tepat waktu atau
menyelesaikan tugas administrasi, tetapi kesediaan untuk terus tumbuh, belajar
dari pengalaman, dan menyebarkan semangat belajar itu kepada peserta didik.
Pelatihan ini juga menyoroti pentingnya mengenal diri
sendiri dan orang lain. Guru yang mengenali potensi dirinya baik dari aspek
kejujuran, ketekunan, hingga kecerdasan emosional akan lebih mudah membangun
interaksi yang sehat dan penuh empati di kelas.
Sebaliknya, guru yang terus menerus memandang orang
lain secara negatif cenderung gagal membangun hubungan kerja yang harmonis,
baik dengan siswa maupun rekan sejawat.
Citra diri juga menjadi penentu komitmen belajar.
Banyak guru yang tidak menyadari bahwa persepsi mereka terhadap diri sendiri apakah
merasa cukup, kurang, atau tidak layak berpengaruh besar terhadap kualitas
mengajar dan motivasi pribadi.
Ketika guru memiliki citra diri yang positif, ia tidak
mudah goyah oleh tekanan eksternal. Ia mengajar bukan karena terpaksa, tetapi
karena merasa memiliki misi hidup.
Dalam konteks ASN dan pendidik, pelatihan ini
menekankan lima komponen utama pembentuk karakter profesional: disiplin diri,
citra diri, etos kerja, integritas moral, dan kemampuan bekerja sama.
Etos kerja menjadi salah satu penekanan penting,
karena menyangkut bagaimana seseorang memaknai pekerjaannya: apakah sebagai
beban atau sebagai ladang ibadah dan pelayanan.
Delapan etos kerja yang digagas Jansen Sinamo menjadi
inspirasi kuat dalam pelatihan ini. Mulai dari kerja sebagai rahmat, amanah,
hingga kehormatan dan pelayanan, semuanya mengarahkan guru pada kesadaran bahwa
profesi mereka bukan sekadar rutinitas, tetapi ibadah yang membutuhkan
ketulusan dan keunggulan.
Lebih lanjut, pelatihan ini juga menanamkan nilai
kerja sama kelompok yang efektif. Interaksi antarindividu, partisipasi,
kontribusi, dan dinamika kelompok menjadi bagian integral dalam membangun
komitmen belajar yang kolektif. Norma kelompok juga diperkenalkan sebagai alat
untuk menciptakan suasana belajar yang tertib, berorientasi tujuan, dan saling
menghargai.
Menariknya, pelatihan ini tidak berhenti pada tataran
teoritis. Para peserta diminta merumuskan sendiri komitmen belajar mereka dalam
bentuk konkret dan personal. Ini menjadi ruang refleksi yang jarang ditemukan
dalam pelatihan biasa.
Mereka diajak untuk menuliskan pekerjaan yang
membanggakan, kesalahan yang pernah dilakukan, hingga hal-hal yang perlu
dijunjung tinggi sebagai guru. Di sinilah transformasi bermula saat guru berani
bercermin dan berjanji untuk menjadi lebih baik.
Dari sinilah muncul kesadaran baru: komitmen belajar
bukan sekadar strategi mengajar, tetapi cara hidup. Ia tidak dibentuk dalam
sehari, tapi ditumbuhkan lewat refleksi, interaksi, dan kesediaan untuk
berubah.
Jika semua guru memiliki komitmen belajar yang kuat,
bisa dibayangkan betapa dahsyatnya dampak pada kualitas pendidikan kita.
Pertanyaannya, sudahkah kita sebagai guru benar-benar
berkomitmen untuk terus belajar, atau hanya sibuk mengajar tanpa pernah
menyentuh makna?
إرسال تعليق