Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Buku bukan sekadar lembaran kertas bertinta,
tetapi simbol peradaban. Di MTsN 2 Garut, buku menjadi arena pembuktian
kehebatan generasi muda menembus batas pelajaran konvensional.
Melalui buku antologi berjudul Goresan Pena Sejarah
Islam: 30 Kisah, 30 Pelajaran Berharga, sebanyak 30 peserta didik kelas 9
kembali menunjukkan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi
juga strategi membangun masa depan. Inilah antologi kedua, lanjutan dari sukses
tahun 2024 lalu yang telah melahirkan generasi literat dengan integritas
keilmuan berbasis sejarah Islam.
Uniknya, tidak semua siswa bisa ikut menulis buku ini.
Hanya mereka yang lolos seleksi ketat berupa syarat menulis 20 naskah di
semester ganjil dan 15 naskah di semester genap yang diberi kesempatan. Total
35 karya tulis menjadi tiket emas untuk ikut serta dalam proyek eksklusif ini.
Seleksi ini bukan semata soal angka, tetapi bentuk
pelatihan karakter berupa konsistensi, ketekunan, dan tanggung jawab dalam
menyelesaikan target.
Nurul Jubaedah, S.Ag., S.Pd., M.Ag., guru Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI) sekaligus editor buku ini, menyampaikan bahwa kolaborasi
antara literasi dengan mata pelajaran SKI bukan hanya strategi pembelajaran,
melainkan gerakan pendidikan yang relevan dengan zaman.
"Kita ingin lulusan yang tidak hanya tahu
sejarah, tapi bisa menuliskannya kembali dengan perspektif mereka sendiri. Ini
lebih dari sekadar hafalan. Ini tentang bagaimana ilmu membentuk karakter dan
keterampilan hidup," jelasnya.
Proyek menulis buku ini merupakan bagian dari program
Gerakan Literasi Madrasah (GLM) yang diterapkan secara terintegrasi. Nilai dari
naskah yang ditulis siswa menjadi bagian dari nilai pengetahuan pada mata
pelajaran SKI.
Sementara itu, keterampilan digital mereka diasah
melalui Project Based Learning (PjBL) berupa pembuatan video edukatif tentang
sejarah Islam yang juga dinilai sebagai bagian dari aspek keterampilan dalam
mapel SKI.
Dengan pendekatan ini, peserta didik MTsN 2 Garut tak
hanya lulus dengan ijazah, tapi juga dengan portofolio konkret: mereka telah
menerbitkan buku dan membuat karya digital sejarah Islam yang bisa ditonton
publik.
Ini membuktikan bahwa kurikulum tak harus kaku; bisa
luwes, produktif, dan memotivasi jika didesain dengan pendekatan yang membumi
dan bermakna.
Namun tak hanya soal keterampilan teknis, menurut
Nurul, proses ini juga membentuk pola pikir kritis dan kebiasaan reflektif.
Saat menulis ulang kisah para nabi, sahabat, dan tokoh
Islam, siswa diajak berpikir: pelajaran apa yang bisa dipetik? Apa relevansinya
dengan zaman sekarang? Bagaimana nilai-nilai itu bisa diterapkan dalam
kehidupan remaja masa kini?
Hasilnya luar biasa. Tak hanya siswa yang terlibat
merasakan manfaatnya, para orang tua juga ikut bangga dan mendukung penuh.
Salah satu wali murid menyampaikan bahwa anaknya kini lebih percaya diri dan
aktif berdiskusi tentang isu-isu keislaman dan sejarah karena proses menulis
membuatnya lebih paham dan punya sudut pandang sendiri.
Secara institusional, MTsN 2 Garut juga diuntungkan.
Citra madrasah sebagai lembaga yang adaptif dan kreatif semakin menguat.
Dengan menampilkan karya nyata siswa berupa buku yang
terbit secara profesional, madrasah membuktikan bahwa pendidikan agama bisa
bersinergi harmonis dengan literasi digital dan kompetensi abad 21.
Langkah Nurul Jubaedah dan para peserta didik ini
layak diapresiasi sebagai inovasi pendidikan di tingkat madrasah.
Di tengah tantangan zaman yang menuntut generasi muda
memiliki kemampuan berpikir kritis, literasi tinggi, dan kemampuan digital,
pendekatan ini bisa menjadi contoh praktik baik di madrasah-madrasah lainnya di
Indonesia.
Akhirnya, tujuan pendidikan sejati bukan hanya
mencetak siswa pintar, tapi melahirkan manusia pembelajar sepanjang hayat. Dan
lewat buku antologi ini, para siswa telah selangkah lebih dekat menuju
cita-cita itu.
إرسال تعليق