Anis Fatiha, S.Ag., M.Pd.
Di
antara lereng-lereng hijau dan kabut pagi yang turun pelan, berdirilah sebuah
sekolah dasar sederhana dengan dinding kayu dan atap seng yang sudah mulai
berkarat. Sekolah itu tidak istimewa bagi dunia, tetapi bagi anak-anak Desa
Sinarjati, sekolah itu adalah dunia mereka. Dan di tengah dunia kecil itu, ada
satu sosok yang tak tergantikan, seorang guru yang punya rasa asih, asah dan
asuh kepada anak didiknya: Ibu Guru Ranti.
Bu
Ranti bukan guru biasa. Ia dilahirkan dengan kondisi kaki yang lemah sejak
kecil, sehingga harus menggunakan tongkat kayu setiap kali melangkah. Tongkat
itu dibuat sendiri oleh ayahnya, seorang tukang kayu yang sudah lama wafat.
Bagi Bu Ranti, tongkat itu bukan lambang kelemahan, melainkan warisan semangat
yang menopangnya berdiri di depan kelas setiap hari.
Setiap
pagi sebelum matahari menyentuh pucuk-pucuk daun teh, Bu Ranti sudah berjalan
perlahan dari rumahnya menuju sekolah. Tidak pernah ada keluhan, tidak pernah
ada kata "lelah". Anak-anak menunggunya dengan penuh semangat, bukan
hanya karena mereka akan belajar, tetapi karena mereka akan bertemu sosok yang
selalu membawa senyum dan cerita. Di mata mereka, Bu Ranti adalah keajaiban
dengan tongkat kayu, mereka menyebutnya “Bu Guru Tongkat Ajaib.”
Di
kelas, Bu Ranti bukan hanya mengajarkan angka dan huruf. Ia menghidupkan
pelajaran dengan cerita-cerita rakyat, lagu-lagu sederhana yang ia karang
sendiri, dan permainan yang ia ciptakan dari barang-barang bekas. Ketika papan
tulis sudah tak bisa ditulisi dengan jelas, ia mengajak anak-anak menulis di
tanah menggunakan ranting. Ia mengajarkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk
berhenti berkreasi.
Namun
yang paling menyentuh hati adalah caranya menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ia selalu berkata, "Nilai tinggi itu
baik, tapi hati yang bersih lebih berharga. Jadilah anak yang jujur, tekun, dan
tidak malu bermimpi." Kata-kata itu tertanam dalam, lebih dari pelajaran
manapun.
Suatu
hari, datang seorang pejabat dinas pendidikan dari kota. Awalnya, ia hanya
berniat memeriksa bangunan sekolah dan menyampaikan bantuan buku. Namun saat ia
melihat cara Bu Ranti mengajar, cara anak-anak menjawab pertanyaan dengan
percaya diri, dan suasana kelas yang penuh keceriaan walau serba terbatas, ia
terdiam lama.
Setelah
pelajaran selesai, ia menghampiri Bu Ranti. “Ibu mengajar dengan begitu
semangat, padahal fasilitas sangat minim. Apa yang membuat Ibu tetap bertahan
di sini?”
Bu
Ranti tersenyum, menggenggam tongkat kayunya. “Karena saya percaya, satu anak
yang tersentuh hatinya bisa mengubah masa depan. Kaki saya mungkin tak bisa
berjalan jauh, Pak. Tapi jika ilmu ini bisa membuat mereka melangkah lebih
jauh, itu sudah cukup bagi saya.”
Cerita
tentang Bu Ranti menyebar. Ia diundang ke kota untuk berbicara di seminar guru,
bahkan beberapa muridnya mendapatkan beasiswa berkat prestasi yang tak terduga.
Tapi Bu Ranti tetap tinggal. Ia tak tergoda pindah atau mencari jabatan.
Baginya, panggilan hidupnya adalah di desa itu, di ruang kelas yang berdebu,
bersama anak-anak yang matanya selalu menyala tiap kali belajar.
Setiap
hari, ketika lonceng sekolah berdentang dan anak-anak pulang, Bu Ranti duduk
sebentar di bangku kelasnya, menatap langit melalui jendela terbuka. “Langkahku
kecil,” bisiknya suatu kali, “tapi semoga jejaknya dalam.”
Dan
dari langkah-langkah kecil itu, sebuah generasi tumbuh. Mereka yang dulu
belajar menulis di tanah kini menulis masa depan mereka sendiri. Dan nama Bu
Ranti, guru bertongkat kayu, tetap hidup dalam cerita mereka, sebagai cahaya
kecil yang pernah menuntun di tengah keterbatasan.
![]() |
إرسال تعليق