Bayang-Bayang Narsisme dalam Kepemimpinan: Sebuah Renungan Etis dalam Islam

 

Oleh

Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd

- Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia

- Dosen Tetap pada Prodi S2 Manajemen Pendidikan Islam, PPs UIN Sunan Gunung Djati Bandung

- Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi.


Ada kalanya, dalam kehidupan sosial dan organisasi, kita menyaksikan seseorang tampil begitu memukau di hadapan publik. Wajahnya tenang, bicaranya meyakinkan, langkahnya penuh percaya diri. Ia memancarkan aura yang membuat orang merasa sedang berhadapan dengan seorang pemimpin besar. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai jawaban dari segala persoalan yang selama ini menyesakkan.


Namun, dalam perjalanan waktu, sering kali kita temukan kenyataan yang berjarak dengan citra tersebut. Di balik retorika yang indah, tersembunyi watak yang keras dan tertutup terhadap kritik. Di balik senyuman yang terpancar, tersembunyi rasa haus akan pujian dan pengakuan. Di balik kharisma yang dipertontonkan, tersimpan kebutuhan mendalam untuk dikagumi secara terus-menerus. Inilah yang dalam ilmu kejiwaan dikenal sebagai narsisme—dan dalam kacamata etika Islam, merupakan penyakit ruhani yang bisa berujung pada kehancuran diri dan orang-orang di sekitarnya.


Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan, bukan raja. “Sayyidul qaumi khadimuhum”—pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka. Ini bukan sekadar petuah etis, melainkan fondasi spiritual bagi siapa pun yang diberi amanah memimpin. Seorang pemimpin sejati dalam Islam tidak mengejar kekuasaan demi citra atau gengsi, melainkan karena merasa terpanggil untuk menghadirkan kemaslahatan dan keadilan.


Sayangnya, dalam zaman yang serba visual dan dangkal seperti hari ini, ukuran kepemimpinan lebih sering ditentukan oleh kemampuan memikat publik daripada ketulusan hati. Kita hidup dalam era di mana performa sering kali mengalahkan substansi, dan pencitraan menenggelamkan kejujuran. Pemimpin yang narsistik pun mudah menjulang karena sistem sosial kita memberi panggung luas untuk itu.


Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa penyakit hati lebih berbahaya dari penyakit fisik, sebab ia merusak akal dan nurani, dua perangkat utama manusia untuk menimbang kebenaran. Pemimpin yang dikuasai oleh ego dan syahwat kekuasaan akan kehilangan kepekaan terhadap orang lain. Ia tidak lagi memimpin dengan hati yang terbuka, melainkan dengan rasa takut kehilangan kendali dan pujian. Orang-orang seperti ini lebih sibuk membangun kekuasaan daripada membina kepercayaan.


Dalam tradisi Islam, salah satu nilai tertinggi dalam kepemimpinan adalah amanah. Pemimpin yang amanah tidak sekadar mampu menjalankan tugas administratif, tapi juga menjaga keutuhan batin masyarakatnya. Ia mendengarkan sebelum memutuskan, menimbang sebelum bertindak, dan bersedia dikritik sebagai bentuk cinta terhadap kebenaran.


Satu ketika, Khalifah Umar bin Khattab berdiri di atas mimbar dan berkata, “Jika aku menyimpang, siapa yang akan meluruskanku?” Seorang sahabat mengangkat pedangnya dan berkata, “Dengan ini, wahai Amirul Mukminin.” Dan Umar menjawab, “Segala puji bagi Allah yang masih menjadikan umat ini berani menegur Umar.” Inilah jiwa kepemimpinan yang lahir dari kerendahan hati, bukan dari narsisme.


Pemimpin yang baik bukan yang membuat orang lain merasa kecil. Ia justru membuat orang-orang di sekitarnya tumbuh. Ia tak menciptakan ketakutan, tapi menyalakan harapan. Dalam kacamata tasawuf, kepemimpinan adalah ujian besar bagi jiwa: apakah seseorang mampu melampaui egonya, atau justru menjadi budak atas hawa nafsunya sendiri?


Dalam organisasi, saya pernah menyaksikan perbedaan mencolok antara dua tipe pemimpin. Yang satu selalu tampil mencolok, gemar bicara besar, namun sulit diajak berdialog. Yang satu lagi lebih tenang, jarang terlihat menonjol, tapi tim di bawahnya berkembang pesat. Yang satu membangun benteng kekuasaan, yang satu membangun jembatan kepercayaan. Dalam diam, kita tahu siapa yang sungguh-sungguh hadir untuk mengabdi.


Islam tidak menolak karisma. Bahkan Rasulullah pun adalah sosok yang sangat kharismatik. Tapi karisma dalam Islam tidak dimaknai sebagai cara menundukkan orang lain, melainkan sebagai pantulan dari kejujuran batin dan keindahan akhlak. Karisma sejati lahir dari hati yang jernih dan akal yang bening, bukan dari ego yang rakus akan sorotan.


Karena itu, sebagai masyarakat, kita perlu belajar lebih bijak dalam menilai pemimpin. Jangan cepat terpesona oleh tampilan luar. Lihatlah bagaimana ia memperlakukan orang kecil, bagaimana ia bereaksi terhadap kritik, dan seberapa besar ia bersedia belajar dari kesalahan. Sebab pemimpin bukanlah sosok tanpa cela, tapi mereka yang terus memperbaiki diri dan membawa kebaikan bagi banyak orang.


Mari kita rawat etika dalam kepemimpinan. Bukan karena kita ingin sempurna, tapi karena kita tahu bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Di dunia, dan kelak di hadapan Allah. Dan sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang takut kepada-Nya lebih dari takut kehilangan citra.


Sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah SAW:

"Ya Allah, siapa pun yang diberi amanah atas umatku lalu ia menyulitkan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa yang memudahkan urusan umatku, mudahkanlah urusannya.” (HR. Muslim)


Semoga kita tidak hanya mampu memilih pemimpin yang tepat, tapi juga menjadi pribadi yang menolak untuk larut dalam budaya narsistik. Karena dalam kepemimpinan, sebagaimana dalam hidup, yang abadi bukanlah sorotan kamera, melainkan jejak keberkahan.


Cag.

Post a Comment

أحدث أقدم