Dianing Banyu Asih
Mahasiswa
Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam
Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Ditengah kemajuan
yang terjadi di era globalisasi dan revolusi industri 4.0, pendidikan vokasi
pada sekolah menengah kejuruan (SMK) menjadi harapan besar dalam perkembangan
sumber daya manusia di Indonesia. Salah satu kebijakan pendidikan yang
mendorong tercapainya perkembangan sumber daya manusia adalah program”Link and Match” antara pendidikan vokasi
dan dunia kerja. Sayangnya hubungan antara keduanya seringkali hanya bersifat
seremonial dari pada subtantif. Alih-alih menjadi solusi untuk meminimalisir jumlah
pengangguran di Indonesia, banyak siswa SMK yang terjebak dalam keterampilan
sempit yang tidak relevan dan adaptif dalam perkembangan zaman.
Menurut data Badan
Pusat Statistik pada Februari 2024 jumlah pengangguran SMK mencapai 8,26% dan mengalami kenaikan pada
Agustus 2024 menjadi 9,01%, sehingga lulusan SMK menjadi kelompok dengan angka
pengangguran tinggi dibandingkan lulusan SMA. Padahal sejatinya pendidikan
vokasional pada SMK dirancang untuk mempercepat transisi dari dunia sekolah ke
dunia kerja. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya angka
pengangguran pada lulusan SMK adalah adanya ketidakselarasan antara kompetensi
yang dimiliki oleh lulusan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri, kurangnya
pengalaman kerja dan tebatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia.
Dilapangan, banyak
SMK yang telah menjalin kemitraan dengan dunia usaha, namun sayangnya hal ini
lagi-lagi hanyalah sebatas simbolis berupa penandatangan MoU, pelatihan satu
arah hingga program magang singkat dan tidak terstruktur. Sementara dunia kerja
dan industri membutuhkan tenaga kerja yang adaptif, produktif, siap pakai,
sedangkan kurikulum di banyak SMK seringkali masih terpaku pada kurikulum jadul
yang sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan jaman, keterbatasan sarana
pembelajaran serta minimnya pembaruan kompetensi guru menambah alasan untuk
lulusan SMK semakin terpinggirkan.
Sertifikasi : Solusi semu ?
Salah satu agenda
besar pendidikan vokasi di SMK dalam beberapa tahun terakhir ini adalah
meningkatkan jumlah sertifikasi kompetensi. Tujuan dari program ini tentu saja
baik, yaitu untuk memastikan bahwa lulusan SMK memiliki keterampilan yang
terstandarisasi dan dapat diakui oleh dunia Industri. Namun pada kenyataanya,
sertifikasi seringkali menjadi formalitas administratif dimana banyak peserta
didik yang “diluluskan” dari pelatihan meskipun pemahaman dan keterampilan yang
dimiliki masih jauh dari standar minimum.
Kecenderungan ini
menempatkan pendidikan vokasi khususnya pada jenjang SMK menjadi “jebakan
pendidikan buruh bersertifikat”, mereka mungkin bisa mengantongi dokumen
kompetensi namun tetap gagal menjadi tenaga kerja yang mandiri, penuh inovasi
dan memiliki fleksibilitas dalam dunia kerja. Anda tahu kenapa ? karena banyak
dari praktisi pendidikan yang lupa bahwa pendidikan merupakan proses
pembentukan manusia agar menjadi utuh bukan sekedar robot penghasil uang.
Pasca pandemi dan
lahirnya disrupsi digital, membuat dunia kerja tidak lagi bersifat linier,
sebuah perusahan tidak hanya membutuhkan pekerja yang menyelesaikan pekerjaan
sesuai prosedur dan instruksi, tetapi mereka membutuhkan manusia yang memiliki
kemampuan belajar secara cepat dan tepat, memiliki kemampuan problem solving
dan berpikir kritis, mampu bekerjasama dalam tim, juga memiliki kemampuan dalam
melakukan komunikasi produktif dan literasi digital.
Sayangnya, banyak
lembaga pendidikan vokasi yang terjebak hanya pada pendekatan teknis semata
tanpa menyentuh aspek humanistik, kewirausahaan dan pendidikan karakter, hal
ini menyebabkan lulusan pendidikan vokasi dapat dengan cepat digantikan oleh
teknologi atau mengalami kesulitan beradaptasi dengan dinamika pekerjaan dimasa
depan.
Jadi,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Untuk mengatasi
situasi seperti ini, tentunya kita membutuhkan pendekatan yang lebih radikal
bukan sekedar patching atau tambalan kebijakan. pendidikan vokasi perlu
direformasi dalam tiga ranah utama yaitu :
Pertama, pelibatan dunia usaha
dan industri secara nyata dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pendidikan,
sehingga bentuk kolaborasi tidak hanya sekedar magang dan selesai. Tetapi
mereka dilibatkan sejak perumusan kurikulum, penyediaan sarana prasarana, bahkan
dilibatkan dalam proses assessment
kelulusan. Ini menuntut kehadiran Teaching
Factory dan Industrial project based
learning secara nyata.
Kedua, guru dan instruktur pada
lembaga vokasi atau SMK tidak hanya mesin transfer pengetahuan, tetapi
merupakan jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, maka tidak cukup
hanya menguasai kompetensi pedagogik saja, tetapi juga membutuhkan pelatihan industri,
praktik lapangan secara berkala dan mengantongi sertifikasi dunia usaha yang
relevan. Siapa yang harus melakukan ini ? jawabannya tentu saja negara yang
harus hadir dalam menjamin peningkatan kapasitas pendidik secara sistematis.
Ketiga, pendidikan vokasi tidak
boleh hanya ditujukan untuk mencetak “buruh bersertifikat” tetapi harus mampu
mencetak pencipta lapangan kerja dengan cara menanamkan jiwa kewirausahaan
sebagai bagian dari ekosistem pembelajaran. Membuat inkubator bisnis, laboratorium
produksi dan bekerjasama dengan koperasi daerah atau UMKM sebagai bagian
integral dari proses pendidikan.
Pendidikan vokasi /
SMK yang mengejar output angka sertifikasi akan kehilangan makna jika tidak
membekali peserta didik dengan learning
agility dan karakter kerja yang kuat, karena saat ini yang kita butuhkan
lebih dari sekedar strategi link and
match, tetapi kita butuh co-creaton
and co-learning antara sekolah dan industri, antara guru dan praktisi,
antara murid dan dunia nyata. Selain itu pendidikan vokasi tidak boleh hanya
bersifat sektoral. Ia harus menjadi bagian dari visi pembangunan bangsa yang
inlusif dan berkelanjutan. Di era dimana dunia kerja terus berubah, pendidikan
tidak lagi cukup jika hanya menjawab kebutuhan hari ini. Ia harus mempersiapkan
generasi yang mampu menciptakan masa depan mereka sendiri.
Transformasi
pendidikan bukanlah tugas kecil, tetapi merupakan investasi besar. Bukan hanya
untuk masa depan tenaga kerja, tetapi untuk masa depan bangsa. Indonesia hanya
bisa berdiri tegak ditengah persaingan global jika memiliki generasi vokasional
yang hanya siap kerja, tetapi juga siap berinovasi dan berdaya cipta.
إرسال تعليق