“Memotret Pendidikan Karakter Digital untuk Masa Depan Generasi Indonesia”

Muhamad Nasir Pariusamahu

(Kabid Bidang III Agerlip PGM Indonesia, Komite Edukasi Mafindo Pusat)

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, pendidikan karakter digital muncul sebagai kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan Indonesia. Fenomena digitalisasi yang tak terbendung mengubah pola interaksi sosial, budaya belajar, hingga perilaku generasi muda. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5%. Angka ini mencerminkan realitas bahwa hampir seluruh aspek kehidupan kini bersentuhan langsung dengan dunia digital. (https://apjii.or.id/) 

Generasi Z dan Alpha tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan teknologi. Mereka tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga kreator di ruang digital. Hal ini menuntut penanaman nilai-nilai karakter sejak dini, agar mereka mampu mengarungi dunia digital secara etis dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter digital bukan hanya soal penggunaan teknologi, tetapi mengenai nilai, moral, dan etika dalam interaksi daring. Nilai-nilai seperti integritas, empati, tanggung jawab, dan toleransi harus diinternalisasi dalam konteks digital.

Sayangnya, data Microsoft Digital Civility Index (DCI) 2020 menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ke-29 dari 32 negara terkait keberadaban digital. Ini mencerminkan tingginya kasus ujaran kebencian, hoaks, dan perundungan siber. (https://www.kemenkopmk.go.id/)  Menurut Kominfo, sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 11.000 laporan konten hoaks yang tersebar luas di media sosial. Konten ini sebagian besar dikonsumsi oleh generasi muda yang belum memiliki kecakapan literasi digital dan karakter kuat.

Salah satu contoh nyata dampak minimnya karakter digital adalah fenomena "cancel culture" dan cyberbullying yang kerap menjangkiti pelajar. Tanpa penguatan nilai karakter, ruang digital menjadi arena bebas, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan mental dan sosial. Pendidikan karakter digital menuntut pendekatan baru yang menyelaraskan nilai-nilai moral dengan teknologi. Guru dan orang tua tidak cukup hanya melarang, tetapi harus membimbing anak-anak menggunakan teknologi secara bijak.

Kurikulum Merdeka yang diluncurkan Kemendikbudristek pada 2022 memberikan ruang bagi penguatan profil pelajar Pancasila. Salah satu dimensi utamanya adalah "berkebhinekaan global" dan "beriman, bertakwa, serta berakhlak mulia" yang sangat relevan dengan pendidikan karakter digital. Pendidikan karakter digital dapat diterapkan melalui pengintegrasian topik-topik etika digital dalam pembelajaran. Misalnya, pembahasan tentang jejak digital, keamanan data pribadi, hingga cara bersikap sopan di dunia maya.

Selanjutnya, Kementerian Kominfo menegaskan empat pilar literasi digital sebagai satu kesatuan yang utuh. Empat pilar tersebut adalah  digital skills, digital culture, digital safety, dan digital ethics. Nah, pilar keempat—etika digital—adalah ruang masuk strategis untuk pendidikan karakter digital. Tantangan lainnya adalah kesenjangan digital. Tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap perangkat dan jaringan internet, sehingga pendekatan pendidikan karakter digital harus inklusif dan adaptif.

Pendidikan karakter digital juga perlu memanfaatkan kekuatan media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube bisa digunakan sebagai sarana penyebaran nilai positif, jika diarahkan secara kreatif oleh guru dan komunitas pendidikan. Program komunitas belajar menjadi pelopor dalam mengembangkan model pembelajaran karakter digital. Guru didorong menjadi fasilitator yang mampu memadukan teknologi dengan nilai-nilai luhur bangsa.

Di beberapa sekolah, praktik baik sudah mulai muncul. Misalnya, program "Digital Citizenship" yang diterapkan oleh sejumlah sekolah swasta di Jakarta dan Yogyakarta, yang mengajarkan siswa untuk menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Penelitian dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tahun 2022 menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pendidikan karakter berbasis digital memiliki tingkat toleransi, tanggung jawab, dan kesadaran etis yang lebih tinggi.

Pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) juga efektif dalam menanamkan karakter. Siswa bisa diajak membuat kampanye digital anti-hoaks atau video edukasi etika internet, sekaligus mengasah empati dan kreativitas mereka. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat sangat diperlukan dalam membangun ekosistem karakter digital. Orang tua perlu melek digital agar bisa mendampingi anak-anak dengan bijak. Selain itu, lembaga penyiaran, influencer, dan komunitas digital memiliki peran penting dalam menyebarkan konten edukatif dan inspiratif yang memperkuat karakter generasi muda. Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan realitas virtual (VR) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pengalaman belajar yang imersif, seperti simulasi etika di dunia maya atau pemecahan konflik sosial virtual.

Meskipun demikian, pendidikan karakter digital tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada teknologi. Sentuhan humanis dari guru, orang tua, dan pembimbing tetap menjadi fondasi utama. Pendidikan agama dan budi pekerti juga perlu dikontekstualisasikan dalam era digital. Ajaran kebaikan universal harus relevan dengan tantangan kontemporer seperti pornografi, konten kekerasan, atau ekstremisme daring. Indonesia memiliki kekayaan nilai budaya dan spiritualitas yang bisa menjadi modal penting dalam pendidikan karakter digital. Nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan sopan santun harus hidup dalam interaksi digital.

Kita perlu ketahui, dunia pendidikan masa depan adalah dunia yang kolaboratif dan digital. Pendidikan karakter digital memastikan bahwa generasi Indonesia tidak hanya unggul dalam teknologi, tetapi juga luhur dalam sikap. Masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas karakter generasi mudanya. Dalam era digital, tantangan moral akan semakin kompleks, dan hanya karakter yang tangguh yang bisa menjawabnya. Evaluasi terhadap pendidikan karakter digital perlu dilakukan secara berkala. Pengukuran bisa mencakup perubahan perilaku siswa di dunia maya, respons terhadap informasi palsu, dan kualitas interaksi di media sosial.

Dengan pendidikan karakter digital yang kuat, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya pintar, tapi bijak dan bertanggung jawab. Mereka akan menjadi agen perubahan positif di tengah derasnya arus informasi. Maka, pendidikan karakter digital bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Ini adalah jalan strategis untuk membangun peradaban digital yang beretika, beradab, dan berkelanjutan bagi masa depan bangsa.

Post a Comment

أحدث أقدم