(57) Buku Antologi ke 40: Bagaimana Nurul Jubaedah Bisa Tulis 40 Buku? Ini Rahasia di Balik Antologi “Peribahasa 2” yang Wajib Dibaca Pencinta Bahasa!

 

                                                     Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag, S.Pd, M.Ag

Di tengah derasnya arus informasi digital, seorang perempuan penggerak literasi dari Garut kembali mencatatkan sejarah dalam jejak karyanya. Nurul Jubaedah, guru, penulis, dan pegiat pendidikan, resmi meluncurkan buku antologinya yang ke-40 pada Mei 2025, bertajuk “Peribahasa 2: Antologi Cerpen, Puisi, dan Opini.”

Sebuah karya sastra kolaboratif yang tidak hanya merayakan keindahan bahasa, tetapi juga menghidupkan kembali kekayaan budaya lisan Indonesia melalui peribahasa.

Mengapa ini penting? Sebab dalam era ketika generasi muda lebih akrab dengan istilah digital dan meme, keberadaan peribahasa sebagai sarana menyampaikan nilai dan kebijaksanaan lokal perlahan terpinggirkan. Buku ini hadir sebagai jawaban atas kegelisahan tersebut.

Disusun bersama 30 lebih penulis dari berbagai daerah dan latar belakang, “Peribahasa 2” bukan sekadar kumpulan karya sastra. Ia adalah ruang edukatif dan reflektif, tempat di mana peribahasa klasik Indonesia ditafsirkan ulang dalam bentuk cerita pendek, puisi, dan opini yang membumi dan relevan.

Setiap tulisan menyematkan satu peribahasa sebagai jiwa dari narasi, menjadikannya jembatan antara tradisi lisan dan ekspresi literer modern.

Bagi Nurul Jubaedah, buku ini bukan sekadar pencapaian angka"Antologi ke-40 ini merupakan ungkapan syukur saya, karena saya meyakini bahwa literasi bukanlah soal siapa yang paling banyak menulis, melainkan tentang siapa yang terus menginspirasi," ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa peribahasa bukan sekadar kalimat indah, tetapi warisan nilai yang harus dijaga bersama oleh para pendidik, penulis, dan pembaca.

Manfaat dari buku ini sangat luas. Bagi siswa dan guru, ini menjadi media alternatif untuk memahami peribahasa dengan pendekatan kontekstual.

Bagi masyarakat umum, buku ini menjadi jendela untuk melihat ulang kearifan lokal yang relevan dengan kehidupan masa kini. Bahkan, bagi penulis pemula, ini adalah bukti bahwa kolaborasi bisa melahirkan karya besar dan berdaya tahan.

Namun, kritik pun perlu disematkan: tantangan terbesar justru terletak pada distribusi dan daya jangkau. Sebagus apapun sebuah buku, jika hanya berputar di kalangan terbatas, maka dampaknya pun tidak maksimal.

Oleh karena itu, para penulis dan komunitas literasi di balik buku ini diharapkan lebih gencar memanfaatkan media sosial, platform digital, dan ruang-ruang publik pendidikan untuk menyebarluaskan karya ini.

Solusi jangka panjangnya? Pemerintah daerah dan sekolah-sekolah harus mulai melirik antologi lokal seperti ini sebagai bahan ajar alternatif. Integrasi literasi berbasis budaya ke dalam kurikulum akan membantu siswa tak hanya memahami bahasa, tapi juga membentuk karakter melalui refleksi nilai-nilai lokal.

Sebagai bagian dari karya kolaboratif nasional, “Peribahasa 2” tidak hanya menunjukkan konsistensi Nurul Jubaedah dalam dunia kepenulisan, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa perempuan guru dari pelosok bisa berkontribusi besar dalam peradaban literasi bangsa. Ia menjadi inspirasi bahwa menulis bukan sekadar bakat, tetapi komitmen panjang terhadap perubahan.

Dengan pencapaian 40 buku, Nurul Jubaedah menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar program atau proyek, tetapi napas perjuangan dalam sunyi, di antara ribuan kelas dan jam pelajaran yang kadang terlupakan.

Kini, ia tidak hanya menjadi panutan di madrasah tempatnya mengajar, tetapi juga simbol perlawanan terhadap apatisme literasi yang sering menjangkiti ruang pendidikan.

Apakah antologi ke-41 akan segera menyusul? Jika kita mengenal semangat Nurul, jawabannya hampir pasti: ya. Namun, untuk saat ini, mari rayakan “Peribahasa 2” sebagai langkah penting dalam menghidupkan bahasa, budaya, dan bangsa melalui tulisan.

Sudahkah Anda membaca peribahasa hari ini dengan cara yang baru?

Post a Comment

أحدث أقدم