Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag, S.Pd, M.Ag
Di tengah derasnya arus informasi digital,
seorang perempuan penggerak literasi dari Garut kembali mencatatkan sejarah
dalam jejak karyanya. Nurul Jubaedah, guru, penulis, dan
pegiat pendidikan, resmi meluncurkan buku antologinya yang ke-40 pada Mei 2025,
bertajuk “Peribahasa 2: Antologi Cerpen, Puisi, dan Opini.”
Sebuah karya sastra kolaboratif yang tidak hanya
merayakan keindahan bahasa, tetapi juga menghidupkan kembali kekayaan budaya
lisan Indonesia melalui peribahasa.
Mengapa ini penting? Sebab dalam era ketika
generasi muda lebih akrab dengan istilah digital dan meme, keberadaan
peribahasa sebagai sarana menyampaikan nilai dan kebijaksanaan lokal perlahan
terpinggirkan. Buku ini hadir sebagai jawaban atas kegelisahan tersebut.
Disusun bersama 30 lebih penulis dari berbagai
daerah dan latar belakang, “Peribahasa 2” bukan sekadar kumpulan karya sastra.
Ia adalah ruang edukatif dan reflektif, tempat di mana peribahasa klasik
Indonesia ditafsirkan ulang dalam bentuk cerita pendek, puisi, dan opini yang
membumi dan relevan.
Setiap tulisan menyematkan satu peribahasa
sebagai jiwa dari narasi, menjadikannya jembatan antara tradisi lisan dan
ekspresi literer modern.
Bagi Nurul Jubaedah, buku ini bukan sekadar
pencapaian angka"Antologi ke-40 ini merupakan ungkapan syukur saya, karena
saya meyakini bahwa literasi bukanlah soal siapa yang paling banyak menulis,
melainkan tentang siapa yang terus menginspirasi," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa peribahasa bukan
sekadar kalimat indah, tetapi warisan nilai yang harus dijaga bersama oleh para
pendidik, penulis, dan pembaca.
Manfaat dari buku ini sangat luas. Bagi siswa dan
guru, ini menjadi media alternatif untuk memahami peribahasa dengan pendekatan
kontekstual.
Bagi masyarakat umum, buku ini menjadi jendela
untuk melihat ulang kearifan lokal yang relevan dengan kehidupan masa kini.
Bahkan, bagi penulis pemula, ini adalah bukti bahwa kolaborasi bisa melahirkan
karya besar dan berdaya tahan.
Namun, kritik pun perlu disematkan: tantangan
terbesar justru terletak pada distribusi dan daya jangkau. Sebagus apapun
sebuah buku, jika hanya berputar di kalangan terbatas, maka dampaknya pun tidak
maksimal.
Oleh karena itu, para penulis dan komunitas
literasi di balik buku ini diharapkan lebih gencar memanfaatkan media sosial,
platform digital, dan ruang-ruang publik pendidikan untuk menyebarluaskan karya
ini.
Solusi jangka panjangnya? Pemerintah daerah dan
sekolah-sekolah harus mulai melirik antologi lokal seperti ini sebagai bahan
ajar alternatif. Integrasi literasi berbasis budaya ke dalam kurikulum akan
membantu siswa tak hanya memahami bahasa, tapi juga membentuk karakter melalui
refleksi nilai-nilai lokal.
Sebagai bagian dari karya kolaboratif nasional,
“Peribahasa 2” tidak hanya menunjukkan konsistensi Nurul Jubaedah dalam dunia
kepenulisan, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa perempuan guru dari pelosok
bisa berkontribusi besar dalam peradaban literasi bangsa. Ia menjadi inspirasi
bahwa menulis bukan sekadar bakat, tetapi komitmen panjang terhadap perubahan.
Dengan pencapaian 40 buku, Nurul Jubaedah
menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar program atau proyek, tetapi napas
perjuangan dalam sunyi, di antara ribuan kelas dan jam pelajaran yang kadang
terlupakan.
Kini, ia tidak hanya menjadi panutan di madrasah
tempatnya mengajar, tetapi juga simbol perlawanan terhadap apatisme literasi
yang sering menjangkiti ruang pendidikan.
Apakah antologi ke-41 akan segera menyusul? Jika
kita mengenal semangat Nurul, jawabannya hampir pasti: ya. Namun, untuk saat
ini, mari rayakan “Peribahasa 2” sebagai langkah penting dalam menghidupkan
bahasa, budaya, dan bangsa melalui tulisan.
Sudahkah Anda membaca peribahasa hari ini dengan
cara yang baru?
إرسال تعليق