Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Penunjukan Nurul Jubaedah, S.Ag., sebagai
Pelaksana Harian (PLH) Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Garut menuai
banyak pertanyaan di kalangan pendidik.
Surat resmi dengan Nomor:
2577/Kw.10/Kp.07.6/04/2025 yang diterbitkan oleh Kanwil Kementerian Agama
Provinsi Jawa Barat pada 24 April 2025 menetapkan masa tugasnya dari 25 Mei
hingga 3 Juli 2025 selama Kepala Madrasah definitif, Asep Sodikin, menjalani cuti
besar.
Namun, apa sebenarnya peran, tugas, dan batas
kewenangan seorang PLH Kepala Madrasah?
Berdasarkan regulasi kepegawaian dan ketentuan
pelaksanaan tugas PLH yang tercantum dalam Surat Edaran Kepala BKN Nomor
2/SE/VII/2019, seorang pelaksana harian bertugas menjalankan fungsi rutin
jabatan pimpinan yang ditinggalkan sementara, tanpa membuat keputusan strategis
yang berdampak besar dan jangka panjang.
Namun dalam surat penugasannya, Nurul Jubaedah
diminta untuk tetap melaporkan dan mengonsultasikan hal-hal strategis kepada
Kepala Kemenag Kabupaten Garut.
Dengan demikian, sebagai PLH Kepala Madrasah,
Nurul Jubaedah memiliki tugas utama menjaga stabilitas kepemimpinan dan
memastikan semua agenda pendidikan berjalan sebagaimana mestinya.
Ia bertanggung jawab mengelola operasional harian
madrasah, termasuk kehadiran dan kinerja guru, kegiatan pembelajaran,
pengelolaan administrasi keuangan harian, serta layanan kepada siswa dan orang
tua.
Tugas lain yang melekat adalah menjadi pengambil
keputusan dalam situasi mendesak di lingkup internal, menjaga koordinasi dengan
wali kelas, guru BK, dan tenaga kependidikan agar ritme akademik tidak
terganggu selama masa transisi.
Ia juga harus memimpin rapat rutin, mengawasi
proses belajar mengajar, dan menjadi garda depan dalam menjawab isu-isu
kedisiplinan, keamanan lingkungan sekolah, serta kelancaran ujian semester dan
program evaluasi.
Namun, sebagai PLH, Nurul tidak dapat mengambil
keputusan yang bersifat struktural seperti pengangkatan atau mutasi guru,
pengambilan kebijakan keuangan jangka panjang, atau kerja sama formal yang
mengikat institusi.
Keputusan semacam itu harus dikonsultasikan dan
ditandatangani oleh pejabat struktural berwenang atau disetujui oleh Kepala
Madrasah definitif melalui arahan tertulis atau komunikasi resmi.
Kewenangan yang dimiliki PLH bersifat
administratif-operasional. Dalam konteks ini, Nurul Jubaedah wajib menjaga
integritas data, dokumen, dan proses rutin madrasah sesuai standar audit
internal dan eksternal.
Ia juga wajib membuat laporan tertulis mengenai
pelaksanaan tugasnya selama menjabat sebagai PLH, sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada Kemenag Kabupaten Garut.
Selain tugas administratif, sebagai guru senior
yang juga dikenal aktif dalam literasi dan pengembangan karakter siswa, Nurul
diharapkan mampu mempertahankan suasana pembelajaran yang kondusif. Ia juga
perlu menyiapkan laporan kinerja bulanan, mengelola kegiatan ekstrakurikuler,
serta membina komunikasi dengan komite madrasah dan orang tua siswa.
Manfaat penunjukan ini jelas terasa. Bagi
lembaga, keberadaan PLH mencegah terjadinya kekosongan otoritas yang dapat
mengganggu jalannya program kerja. Bagi individu, ini menjadi ajang pembuktian
kapasitas kepemimpinan dan tanggung jawab.
Namun, agar optimal, dukungan kolegial dari guru
lain serta pendampingan administratif dari Kemenag sangat dibutuhkan, mengingat
beban ganda yang harus diemban.
Dalam konteks lebih luas, penunjukan guru sebagai
PLH Kepala Madrasah adalah peluang untuk menguji pola kaderisasi kepemimpinan
berbasis kinerja. Ini sekaligus menjadi pengingat bahwa profesionalisme dalam
pendidikan tidak hanya dilihat dari titel struktural, tetapi juga dari kesiapan
individu menjalankan peran strategis, meskipun bersifat sementara.
Apakah pola penunjukan PLH seperti ini cukup
efektif menjaga keberlanjutan kualitas pendidikan di madrasah? Jawaban atas
pertanyaan itu akan tercermin dari bagaimana Nurul Jubaedah menjalankan
tugasnya bukan sekadar mengisi kekosongan, tapi memastikan madrasah tetap
berjalan dengan semangat, arah, dan keteladanan yang utuh.
إرسال تعليق