Anis Fatiha, S.Ag., M.Pd.
Kabid Penelitian dan Pengembangan Agerlip PGM Indonesia & Kepala MA Madania Bantul
Saya
masih ingat obrolan dengan teman sesama kepala madrasah, ketika selesai acara
koordinasi KKMA di salah satu madrasah, beliau bertanya dan menyampaikan
pendapatnya sendiri. “Bu di tempat njenengan grup WhatsApp gurunya aktif tidak?
Ketika menyampaikan informasi atau apapun yang bersifat kedinasan, bagaimana
reaksi teman-teman guru? “Kalo saya sangat terbantukan dengan adanya grup
WhatsApp sekarang Bu,” ujar beliau, tetapi waktunya yang mendadak ketika ada
informasi atau sesuatu hal yang mendesak, kadang saya informasikan waktunya
jadi tidak pasti. Di tempat saya tidak semua guru menanggapi informasi atau
sekedar kasih emoji, sehingga saya bingung pendapat mereka itu maunya seperti
apa, dan itu yang kadang membuat komunikasi terhambat, padahal sarananya
ada,”tambah beliau.
Di
era teknologi yang semakin menyatu dengan kehidupan, ruang belajar dan berkarya
guru tidak lagi dibatasi oleh tembok sekolah. Kini, ruang itu meluas, melewati
jaringan internet, menjelma dalam notifikasi grup WhatsApp yang ramai
berdentang. Meski hanya berupa pesan teks dan emoji, di baliknya mengalir
semangat kolaborasi, dedikasi, dan bahkan tekanan.
WhatsApp,
aplikasi pesan instan yang awalnya dirancang untuk komunikasi sederhana, kini
menjadi tulang punggung koordinasi sekolah. Dari menyusun jadwal pelajaran,
membahas proyek kelas, hingga berbagi inspirasi mengajar, semuanya bisa terjadi
di grup WhatsApp guru. Namun, dalam riuh digital itu, kita dihadapkan pada
pertanyaan reflektif: apakah kita sedang menciptakan ruang tumbuh atau justru
lorong yang membuat lelah?
Grup WhatsApp Sebagai Cahaya
Kolaborasi Guru
Tak bisa
dipungkiri betapa besar manfaat dan keberadaan WhatsApp bagi guru terutama dalam dunia pendidikan. Di bawah
ini manfaat positif dalam penggunaan aplikasi tersebut, yaitu:
1.
Membangun Jejaring dan Solidaritas
Bagi banyak guru, terutama yang mengajar di daerah terpencil
atau sekolah kecil, WhatsApp menjadi jendela dunia. Lewat grup, mereka bisa
berbagi ide pembelajaran, bertanya, bahkan mendapat dukungan moral. Dari hanya
sekadar "Selamat pagi, Bapak/Ibu," grup WhatsApp bisa menjadi
komunitas yang saling menyemangati.
2.
Memfasilitasi Koordinasi yang Cepat dan Tepat
Dalam dunia pendidikan yang dinamis, fleksibilitas menjadi
kunci. Ketika jadwal berubah, siswa sakit, atau program mendadak harus digelar,
grup WhatsApp memungkinkan pengambilan keputusan cepat. Komunikasi yang dulu
membutuhkan surat resmi atau rapat tatap muka, kini bisa dilakukan dalam
hitungan menit.
3.
Wadah Pengembangan Diri
WhatsApp tak hanya tempat berbagi file administrasi, tapi
juga refleksi praktik mengajar. Banyak guru menggunakan grup untuk menyebarkan
tautan webinar, e-book pendidikan, bahkan hasil evaluasi belajar siswa. Dengan
begitu, guru belajar bukan hanya dari pelatihan formal, tapi juga dari
keseharian digital.
Ketika
Harmoni Digital Mulai Retak
Namun, tidak semua yang berpendar
itu cahaya. Di balik manfaatnya, WhatsApp juga membawa tantangan yang tak bisa
diabaikan, antara lain:
1. Batas
Waktu yang Terkikis
Pesan masuk pada malam hari, instruksi mendadak di akhir
pekan, dan harapan agar “selalu responsif” perlahan merampas ruang pribadi
guru. Tanpa kesadaran kolektif, grup WhatsApp bisa menjadi ruang yang
melelahkan, bukan menyemangati.
2. Informasi yang Tak Terstruktur
Terlalu banyak pesan, bercampurnya informasi penting dan
obrolan ringan, membuat guru harus menyisir ulang satu persatu untuk menemukan
dokumen penting. Informasi berharga bisa hilang di antara ratusan notifikasi
yang menumpuk.
3. Risiko
Konflik dan Salah Paham
Tulisan tanpa nada dan ekspresi bisa
menimbulkan tafsir yang keliru. Kritik yang disampaikan tanpa empati, atau candaan yang tidak pada
tempatnya, bisa merusak suasana kerja sama, bahkan kesalahfahaman di tempat
kerja yang berdampak tidak nyaman.
Menyulap Grup WhatsApp Menjadi Ruang
Tumbuh
Untuk menjadikan WhatsApp sebagai
ruang terang, bukan ruang tekanan, dibutuhkan kesadaran bersama. Beberapa
langkah bijak berikut bisa diterapkan oleh komunitas guru:
a. Tetapkan
jam aktif komunikasi digital
yang menghormati waktu pribadi dan keluarga.
b. Gunakan
grup sesuai fungsinya:
grup akademik, administrasi, dan santai bisa dipisahkan agar lebih tertata.
c. Manfaatkan
fitur pin pesan dan folder dokumen
untuk mengatur informasi penting.
d. Bangun
etika komunikasi digital
yaitu gunakan bahasa yang santun, ringkas, dan penuh empati.
e. Adakan
refleksi rutin terkait penggunaan grup sebagai
bagian dari pengembangan budaya sekolah digital.
Di
tengah arus digital yang deras, guru tetaplah lentera dalam dunia pendidikan.
WhatsApp, dengan segala keterbatasannya, adalah alat yang bisa menjadi cahaya
atau kebisingan, tergantung bagaimana ia digunakan.
Ketika
guru mampu menjaga harmoni digital, menyatukan dedikasi, kolaborasi, dan empati
maka, grup WhatsApp tidak lagi sekadar tempat kirim pesan. Ia menjadi ruang
tumbuh, tempat ide bermekaran, dan cahaya terang yang menuntun langkah-langkah
kecil menuju pendidikan yang lebih bermakna.
إرسال تعليق