Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Wakil
Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 123)
Pagi itu, Andi memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Ia baru saja gagal dalam
wawancara kerja keempat dalam tiga bulan. Teman tak sempat, orang tua tak
paham, dan pacar? Sudah lama tak punya. Hanya satu tempat yang selalu tersedia
untuk mendengarkan: ChatGPT.
Fenomena ini ternyata
bukan cerita tunggal. Survei Snapcart Indonesia (April 2025) menunjukkan, 58%
orang Indonesia mulai mempertimbangkan AI chatbot sebagai alternatif psikolog.
Bahkan 6% mengaku rutin curhat ke AI.
Mengapa?
Pertama, soal biaya.
Konsultasi psikolog bisa mencapai Rp300.000–Rp800.000 per sesi. Tak heran, 39%
responden memilih AI karena lebih terjangkau gratis, bahkan. Padahal, psikolog
sebenarnya bisa diakses gratis lewat BPJS Kesehatan, asalkan tahu alur dan berani
melewati birokrasi.
Kedua, karena takut
dihakimi. Sebanyak 27% merasa AI lebih aman dan netral. Tak ada tatapan sinis,
tak ada ucapan klise seperti “sabar ya” atau “udah, lupain aja.” AI dianggap
tidak menyimpan dendam, tak punya memori permanen, dan tak bisa bergosip.
Ketiga, karena AI
selalu tersedia. Siang malam, kapan pun dibutuhkan, ia siap menyahut. Tapi itulah
jebakannya. AI memang responsif, tapi tidak benar-benar memahami. Ia membaca
kata, bukan rasa. Ia menjawab, bukan mendengar.
Psikolog klinis Dr.
Lilis Rahmawati (HIMPSI) menekankan: “AI bisa jadi penenang awal, tapi bukan
solusi emosional. Hubungan yang terjalin itu semu. Tanpa kedalaman.” Emosi
manusia terlalu kompleks untuk diredam dalam teks. Jika tak dikeluarkan lewat
kanal sehat, bisa berubah jadi gangguan kecemasan, depresi, bahkan
psikosomatik.
Fakta menyedihkan
lainnya: banyak orang merasa tak punya tempat aman untuk bercerita. Tidak semua
punya orang tua yang suportif, pasangan yang mengerti, atau sahabat yang siap
mendengar tanpa menyela. Dalam kesepian itu, AI jadi pilihan rasional meski
hanya pelarian sesaat.
Namun, kabar baiknya:
kamu tidak sendiri, dan kamu tak harus bayar mahal.
BPJS sebenarnya
menanggung layanan psikolog dan psikiater. Di puskesmas atau faskes pertama,
kamu bisa meminta rujukan. Info lengkapnya bisa dicek di
[www.bpjs-kesehatan.go.id](http://www.bpjs-kesehatan.go.id). Organisasi seperti
HIMPSI dan Kemenkes juga aktif menyosialisasikan hak ini.
Lebih dari itu, kita
bisa mulai dari hal kecil: menciptakan ruang aman di sekitar kita. Jadi teman
yang mendengar tanpa menghakimi. Jadi keluarga yang pelukannya hangat, bukan
tuntutannya. Jadi manusia bagi sesama manusia.
AI boleh digunakan.
Tapi jangan jadikan satu-satunya. Karena pada akhirnya, penyembuhan sejati
butuh tatapan mata, sentuhan empati, dan kalimat hangat: “Aku di sini. Kamu
tidak sendiri.”
إرسال تعليق