Dibungkam Atas Nama Moderasi: Ketika Perbedaan Tak Lagi Ditoleransi

 

 

Oleh Dina Sutiana

Mahasiswi Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam / Aktivis Literasi Islam

 

Konsep moderasi beragama di Indonesia awalnya diusung sebagai upaya merawat harmoni dalam masyarakat majemuk dan menangkal ekstremisme. Kementerian Agama RI melalui Buku Saku Moderasi Beragama (2021) menegaskan bahwa “moderasi tidak berarti memoderatkan ajaran agama, tetapi memoderatkan cara memahami dan mengamalkan ajaran agama agar tidak berlebihan dan tidak ekstrem.” Namun dalam praktik di lapangan, gagasan ini mulai mengalami distorsi. 


Alih-alih membuka ruang dialog yang sehat, moderasi kerap berubah menjadi alat kontrol wacana yang menuntut keseragaman. Pandangan dari khazanah klasik Islam yang berbeda, atau pendekatan yang dianggap konservatif, sering dicurigai sebagai radikal meskipun sah secara keilmuan. Distorsi inilah yang kini paling terasa dalam dunia pendidikan Islam, ketika akal kritis, adab berpikir, dan keberagaman pemikiran mulai terpinggirkan atas nama moderasi.

 

Apa yang terjadi ketika sebuah ide mulia kehilangan arah dalam pelaksanaannya? Inilah yang mulai dirasakan dalam dunia pendidikan Islam hari ini. Moderasi beragama—yang semula diusung untuk menumbuhkan toleransi dan merawat harmoni—justru sering terdistorsi menjadi alat pembingkaian tunggal yang mempersempit ruang berpikir dan mengerdilkan kekayaan intelektual Islam.

 

Distorsi ini paling terasa di lingkungan pendidikan. Sekolah-sekolah Islam, pesantren, madrasah, hingga kampus Islam kini dihadapkan pada ambiguitas: dituntut “memoderasi” narasi keagamaan tanpa kejelasan batas atau definisi. Banyak pendidik akhirnya memilih jalan aman—menghindari tema-tema yang sensitif, menyingkirkan perdebatan kritis, bahkan membungkam keberagaman pemikiran. 


Akibatnya, pendidikan Islam terancam kehilangan ruhnya sebagai ruang pembentukan akal kritis dan keberanian intelektual. Padahal sejarah membuktikan, keagungan peradaban Islam justru tumbuh dari keberanian berdialog, bukan dari pembatasan pikiran di bawah bayang-bayang pembungkaman.

 

Di ruang publik, diskusi keagamaan kian sulit berkembang sehat. Banyak ulama, akademisi Islam, bahkan dosen di kampus-kampus Islam merasa tak nyaman mengungkapkan pendapat yang berbeda dari arus dominan. Ketakutan akan dilabeli “anti-moderasi” atau “intoleran” menjadi penghalang besar bagi terbentuknya dialog keagamaan yang dewasa dan bermartabat.

 

Contoh konkret tampak di lingkungan kampus. Sejak 2021, sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia mulai melakukan penyesuaian kurikulum untuk menyesuaikan dengan arus moderasi beragama. Namun, dalam proses ini, beberapa tema penting dalam kajian Islam, seperti jihad, khilafah, dan fiqh siyasah, sering kali dihindari atau diajarkan dengan narasi yang lebih terbatas. 


Hal ini terjadi karena khawatir akan adanya pandangan yang menyempit atau distigmatisasi terhadap pengajaran tema-tema tersebut. Meskipun tidak ada data yang menyebutkan secara langsung bahwa dosen merasa enggan membahas topik-topik ini, ada indikasi bahwa keberagaman perspektif dalam kajian tersebut sering kali terhambat oleh norma-norma moderasi yang lebih dominan.

 

Padahal, semua itu adalah bagian integral dari khazanah keilmuan Islam. Jika diskursus ilmiah dibatasi oleh framing ideologis dan takut akan pelabelan, maka pendidikan Islam akan kehilangan kedalaman dan ketajamannya, yang seharusnya menjadi kekuatan dalam membentuk pemikiran kritis dan berimbang.

 

Sektor pendidikan Islam kini menjadi salah satu titik paling rawan dalam penerapan moderasi yang ambigu. Lembaga-lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, dituntut mempromosikan nilai-nilai moderasi sebagai bagian dari visi nasional, namun tanpa batasan atau definisi yang jelas. Kelenturan makna ini membuat banyak pendidik dan pengelola institusi gamang: apakah mengajarkan materi yang dianggap “sensitif” berisiko? Apakah memperkenalkan pemikiran klasik yang berbeda dari narasi dominan akan dipersoalkan?

 

Ambiguitas ini melahirkan atmosfer pendidikan yang kurang sehat. Guru dan dosen yang berpandangan khas atau konservatif—yang sah secara akademik—sering merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan narasi yang dianggap aman. Akibatnya, demi menghindari stigma, banyak pendidik memilih menghindari tema penting, mengurangi kedalaman diskusi, atau bahkan menghapus ruang perdebatan intelektual.

 

Padahal, pendidikan sejati bukan sekadar mentransfer pengetahuan yang aman, melainkan membangun keberanian berpikir dan tanggung jawab moral. Bila ruang berpikir makin sempit karena tekanan narasi tunggal, pendidikan Islam berisiko hanya melahirkan generasi yang bergerak dalam koridor steril, bukan pemikir yang merdeka. Di sinilah bahaya distorsi moderasi: menggeser pendidikan Islam dari semangat keilmuan yang terbuka menjadi ruang yang diliputi ketakutan dan kepatuhan semu.

 

Moderasi sejati seharusnya tidak menolak perbedaan, tetapi justru merayakannya. Moderasi bukan berarti semua orang harus berpikir seragam, tetapi bagaimana umat Islam bisa berdialog secara adil dalam keragaman. Moderasi bukan alat sensor, melainkan jembatan untuk menjangkau berbagai pemikiran dalam semangat ilmu dan adab.

Umat Islam sendiri memiliki tradisi panjang dalam perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang produktif. Perdebatan antara mazhab fiqh, pemikiran politik, hingga metode tafsir dalam Islam menunjukkan bahwa pluralitas pandangan adalah keniscayaan dalam sejarah peradaban Islam. Menghapus atau menolak keragaman pandangan demi “stabilisasi” hanya akan menjauhkan pendidikan Islam dari akarnya yang kokoh. Justru, jika pemerintah ingin menguatkan moderasi, ia harus membuka ruang kritik, mendengar suara dari berbagai golongan, termasuk mereka yang selama ini tidak populer di media atau kekuasaan. Di sinilah pentingnya kebijakan yang berbasis prinsip, bukan hanya tren atau tekanan politik.

 

Dalam dunia pendidikan Islam, tugas kita bukan sekadar mencetak siswa yang paham istilah “moderat” di permukaan. Yang jauh lebih penting adalah melahirkan generasi yang mengerti mengapa mereka harus adil, beradab, dan menghargai perbedaan—karena tahu dasar ilmunya, dalilnya, sejarahnya. Moderasi sejati tidak akan pernah tumbuh dari ruang kelas yang membungkam akal dan mematikan keberanian berpikir. Ia hanya hidup jika ruang dialog tetap terbuka, ruang perdebatan tetap terhormat, dan perbedaan tetap diberi tempat yang wajar.

 

Hari ini, pendidikan Islam menghadapi pilihan genting: akan tetap setia pada prinsip keilmuan yang agung, atau menyerah pada tekanan narasi tunggal yang membatasi. Jika kita membiarkan moderasi yang semu menjelma menjadi doktrin yang menakutkan perbedaan, kita bukan hanya merugikan dunia pendidikan, tetapi juga mencederai masa depan umat.

 

Karena itu, jika kita sungguh ingin menyelamatkan generasi mendatang dari polarisasi yang semu, dari kemiskinan intelektual yang terbungkus jargon, maka kita memerlukan keberanian—keberanian untuk tetap berpikir merdeka, dalam bingkai iman dan adab. Dan pendidikan Islam, jika ingin tetap relevan di era yang serba terbuka ini, harus berdiri di garis terdepan perjuangan tersebut—menjadi rumah bagi akal yang jernih, hati yang beradab, dan jiwa yang siap merengkuh hikmah dari setiap sudut perbedaan.

 

Post a Comment

أحدث أقدم