Hijrah: Ketika Waktu Mengajak Kita Jadi Lebih Manusia

 

Oleh: 

Mulyawan Safwandy Nugraha


Setiap kali 1 Muharram tiba, saya seperti diingatkan oleh sesuatu yang halus tapi tajam: waktu tak pernah berhenti. Ia terus berjalan, pelan-pelan tapi pasti, meninggalkan siapa pun yang tak mau bergerak. Tahun baru Islam bukan tentang perayaan meriah. Tidak ada suara petasan, tidak ada gegap gempita. Tapi di sanalah justru letak kekuatannya: ia mengajak kita merenung diam-diam, tapi dalam.


Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, kalau dipikir-pikir, bukan peristiwa yang heboh. Tidak ada pasukan besar, tidak ada bentrokan dahsyat. Tapi dari situlah Islam memulai fondasi peradabannya. Jadi saya sering berpikir, mungkin hidup kita pun butuh momen kecil tapi menentukan. Bukan lompatan besar, tapi langkah sadar ke arah yang lebih baik.


Kita sering terjebak dalam rutinitas. Bangun pagi, kerja, pulang, lalu tidur. Ulang lagi besok. Lama-lama kita seperti mesin. Produktif, tapi tak selalu merasa hidup. Di titik itu, hijrah bisa menjadi tanda seru: hei, masihkah kamu menjadi manusia, atau sekadar menjalani hidup secara otomatis?


Hijrah, buat saya, bukan soal pindah rumah atau ganti pekerjaan. Tapi soal keberanian meninggalkan hal-hal yang membuat jiwa kita mati pelan-pelan: iri hati, dendam lama, rasa malas yang dibungkus santai. Bahkan kadang, hijrah itu cuma sekadar diam saat ingin membalas. Atau menahan komentar sarkas yang sebenarnya sudah di ujung lidah.


Setiap tahun baru, saya punya kebiasaan kecil: mencatat pertanyaan untuk diri sendiri. Misalnya, “Apakah saya lebih sabar dari tahun lalu?” atau, “Kenapa saya masih mudah kesal pada hal remeh?” Jawabannya sering kali menyebalkan. Tapi dari situlah proses perubahan bisa dimulai. Kalau tidak jujur pada diri sendiri, kita akan terus bersembunyi di balik topeng.


Agama, dalam pemahaman saya, adalah undangan untuk terus bertumbuh. Bukan sekadar taat, tapi juga tangguh. Tuhan tak menuntut kita menjadi sempurna, tapi Dia ingin kita terus belajar menjadi lebih baik. Dan proses itu sering kali sepi, melelahkan, dan tak terlihat orang. Tapi percayalah, nilainya justru ada di sana.


Kadang saya merasa, banyak orang tampak sibuk, tapi sebenarnya bingung. Banyak yang kelihatan bahagia, tapi kosong. Kita mengejar banyak hal, tapi lupa untuk menengok ke dalam. Hijrah bisa jadi momen jeda. Bukan berhenti, tapi menyesuaikan arah. Seperti kapal yang menyetel ulang kompas sebelum melanjutkan pelayaran.


Saya teringat ucapan seorang teman: “Yang bikin hidup berat itu bukan masalah, tapi cara kita meresponnya atau menanggapinya.” Kalimat sederhana, tapi dalam. Barangkali kita tak perlu mengubah dunia luar. Cukup ubah cara kita memandangnya. Dan itu, juga bagian dari hijrah.


Dalam konteks yang lebih luas, bangsa ini juga butuh hijrah. Dari ujaran kebencian ke dialog yang sehat. Dari politik identitas ke kerja sama. Dari saling curiga ke saling dukung. Kita tak bisa berharap perubahan kalau tak ada keberanian untuk beranjak. Perubahan sosial selalu dimulai dari kesadaran personal.


Hijrah bukan soal meninggalkan sesuatu, tapi menuju sesuatu. Bukan lari dari kenyataan, tapi mendekat ke makna. Tuhan memberi waktu bukan supaya kita sekadar tua, tapi supaya kita tumbuh. Dan pertumbuhan itu, kalau boleh jujur, kadang menyakitkan. Tapi tetap lebih baik daripada diam dan membusuk.


Jadi, saat tahun baru ini datang, saya tak punya target muluk. Cukup satu: menjadi sedikit lebih baik dari kemarin. Lebih sabar, lebih jujur, lebih ringan memaafkan, lebih banyak waktu untuk anak dan isteri, lebih menyedikitkan waktu utk hal scroll Tiktok dan medsos lainnya. Karena itu semua, walau kecil, kalau dikumpulkan, bisa jadi fondasi untuk hidup yang lebih utuh. Dan itulah, saya kira, tujuan dari hijrah.


*) Akademisi dan pegiat pemikiran Islam transformatif. Tertarik pada isu Kepemimpinan, Manajemen, Pendidikan. Pengelola Jurnal Ilmiah Bereputasi dan Terakreditasi. Saat ini diamini sebagai Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia

Post a Comment

أحدث أقدم