oleh: Dr. Musriaparto, M.M (Ketua Umum PGM Indonesia PD Kota Subulussalam)
Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga perubahan dari kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik secara spiritual dan material. Ini adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dalam bingkai peribadatan.
Hijriyah dihitung dari hijrahnya Nabi ke Madinah dan merupakan momentum berakhirnya model dakwah periode Mekah. Periode Mekah ditandai dengan seruan urgensi nilai-nilai tauhid. Tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah. Tiada yang pas menjadi orientasi hidup selain Allah. Tiada yang pantas dituju, dicintai dan disayangi selain Allah.
Nabi menerapkan strategi dakwah yang komprehensif di Madinah, termasuk mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, membuat perjanjian dengan masyarakat non-Muslim (Piagam Madinah), dan membangun ekonomi rakyat.
Prinsip dasar ini harus menjadi fatsun yang melandasi semua aktifitas manusia dalam menata kehidupan. Orientasi semua gerak dan aktifitas, baik dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, keamanan, budaya dan sebagainya adalah tauhid.
Umat dengan pondasi tauhid seperti ini lah yang di bawa Nabi hijrah ke Madinah. Madinah (yasrib) saat itu, dalam berbagai bidang berada dalam dominasi Yahudi. Suku dan klan lain nyaris tidak memiliki kekuatan fundamental untuk bertahan hidup bermartabat, apalagi berhadapan dengan kekuatan Yahudi.
Sampai di Madinah, setelah Nabi membangun mesjid sebagai simbol orientasi hidup manusia, berikutnya konsensus yang dibangun Nabi bersama pengikutnya adalah menetapkan langkah strategis membangun peradaban.
Umat dan komunitas madinah diikat dengan ukhwah yang kuat dan kokoh berbasis pada nilai nilai tauhid, yang intinya adalah merdeka, mandiri dan beradab.
Modal ini digunakan untuk mengatasi persoalan mendasar yang dihadapi mayoritas komunitas Madinah, yaitu ketergantungan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Muara persoalannya adalah kelemahan dalam bidang ekonomi. Semua simpul tersebut dikuasai Yahudi yang bertindak sebagai tengkulak, memeras dan mencekik rakyat.
Tindakan pertama yang dilakukan Nabi merespon persoalan ini adalah memberi intruksi mengambil alih simpul-simpul ekonomi karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Nabi membangun pasar yang dikelola sesuai nilai-nilai Islam, yaitu kejujuran dan keadilan. Ia Juga memerintahkan sahabatnya membeli sumber-sumber air dari Yahudi untuk didistribusikan secara adil kepada masyarakat.
Akhirnya pasar Yahudi yang sarat dengan riba kosong peminat dan pengunjung, konsumen beralih ke pasar yang dikelola umat Islam karen menjunjung tinggi nilai nilai kejujuran, keadilan dan keadaban.
Satu demi satu simpul ekonomi dikuasai umat Islam. Masyarakat Madinah merasakan betapa ajaran Islam memberi rahmat bagi alam semesta. Mereka mendukung dan loyal kepada kebijakan Muhammad, karena terbukti mensejahterakan dan memandirikan.
Sejarah Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita, setelah pondasi tauhid ditegakkan, maka tugas berikutnya adalah membangun kekuatan ekonomi.
Tanpa itu, maka umat ini akan tetap menjadi bulan-bulanan konglomerat dan tengkulak yang siap menghisap darah rakyat dan menjerumuskan umat pada kekafiran.
Nabi Muhammad juga tidak pernah melayani perang sebelum umat betul-betul siap dan diperhitungkan untung ruginya secara strategis.
Terpilihnya Nabi menjadi kepala negara Madinah juga bukan merupakan proses Abra kadabra atau sim salabim, tetapi melewati proses panjang dan terencana.
Karakter dan sikap inilah yang membuat umat Islam sukses dan berkembang dengan pesat di berbagai bidang dan menyebar ke berbagai wilayah.
Belajar dari apa yang dilakukan Nabi, maka kita perlu mengaca dan berupaya mendudukkan gerakan sesuai sunah Nabi karena telah teruji sukses hantarkan umat Islam pada kejayaan.
Semoga upaya ini, selain sebagai usaha mencontoh nabi dalam pengembangan umat, juga memberi sumbangsih bagi geliat ekonomi umat di Indonesia.
إرسال تعليق