Anis Fatiha, S.Ag., M.Pd._Kepala
MA Madania Bantul
Hari
Raya Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah momentum spiritual yang
penuh makna, di mana umat Islam diajak untuk mengingat, merenung, dan
menghidupkan kembali semangat pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Namun, lebih dari sekadar mengenang sejarah, Idul Adha adalah panggilan jiwa
untuk berbagi. Di tengah zaman yang sering memuja kepemilikan dan kesenangan
pribadi, Idul Adha datang membawa pesan yang lembut namun kuat: bahwa hakikat
hidup terletak pada memberi, bukan hanya memiliki.
Sejarah
Pengorbanan: Dari Kesalehan Menuju Kepedulian
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tidak
hanya tentang ketaatan luar biasa kepada Allah, tetapi juga tentang bagaimana
pengorbanan menjadi jembatan menuju kasih sayang sosial. Allah menggantikan
Ismail dengan seekor domba sebagai bukti bahwa niat tulus untuk berkorban
adalah hal yang utama. Dalam praktik umat Islam saat ini, penyembelihan hewan
qurban bukan semata-mata simbolik, tetapi juga nyata: dagingnya dibagikan
kepada yang membutuhkan, tanpa memandang status atau kedekatan.
Berbagi
dalam Idul Adha bukan sekadar "memberi sebagian". Ia adalah
manifestasi dari keikhlasan, pengakuan bahwa rezeki yang kita miliki adalah
titipan, bukan milik mutlak.
Berbagi
sebagai Pilar Kemanusiaan
Di dunia yang penuh ketimpangan,
berbagi menjadi napas bagi mereka yang nyaris tak terdengar suaranya. Idul Adha
menghadirkan kembali rasa keadilan sosial secara konkret: setiap orang,
termasuk yang paling miskin, berhak mencicipi daging yang mungkin hanya mereka
lihat setahun sekali. Ini bukan tentang belas kasihan semata, melainkan tentang
kesetaraan rasa dan perhatian.
Berbagi qurban juga menghapus
batas-batas sosial. Orang kaya, kelas menengah, bahkan yang sederhana, duduk
bersama dalam satu semangat: melayani sesama. Ini adalah pendidikan sosial yang
luar biasa, yang mungkin tidak bisa diajarkan oleh teori manapun.
Makna
Spiritual Berbagi
Dalam perspektif ruhani, berbagi
saat Idul Adha menumbuhkan empati, memurnikan hati dari sifat tamak, dan
menguatkan solidaritas. Seseorang yang memberikan hewan qurban dengan niat
lillahi ta’ala, sesungguhnya sedang menyucikan hartanya, menumbuhkan syukur,
dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan melalui sesama manusia.
Berbagi juga mendidik diri untuk
tidak menjadi budak materi. Sebab ketika kita menyerahkan sesuatu yang kita cintai,
hewan terbaik, uang, tenaga, kita sedang menundukkan ego, membebaskan diri dari
jeratan duniawi, dan menumbuhkan cinta yang lebih tinggi: cinta kepada Tuhan
dan makhluk-Nya.
Idul
Adha di Tengah Krisis Kemanusiaan
Tahun demi tahun, Idul Adha sering
kali datang di tengah berbagai krisis: perang, kemiskinan, bencana,
pengungsian. Di momentum seperti ini, relevansi berbagi menjadi semakin nyata
dan mendesak. Qurban bukan hanya ibadah individual, tetapi bentuk kepedulian
global. Banyak lembaga kemanusiaan kini menyalurkan hewan qurban hingga ke
wilayah-wilayah konflik dan bencana, menjadikan Idul Adha sebagai jembatan
cinta dari mereka yang berkelebihan kepada mereka yang terpinggirkan.
Ini adalah bentuk berbagi yang lintas batas agama, negara, dan budaya, karena nilai kemanusiaan jauh lebih luas dari sekadar identitas formal.
Mewariskan
Nilai Berbagi kepada Generasi Muda
Generasi muda adalah harapan masa
depan. Idul Adha menjadi peluang emas untuk mengajarkan mereka nilai empati,
tanggung jawab sosial, dan pentingnya berbagi. Ketika anak-anak dilibatkan
dalam proses qurban, memilih hewan, menyaksikan penyembelihan, hingga membantu
membagikan daging, mereka belajar bahwa hidup bukan hanya tentang mengambil,
tetapi juga memberi. Ini adalah pendidikan karakter yang tidak bisa didapatkan
di ruang kelas, tetapi tertanam melalui pengalaman langsung dan keteladanan.
Menjadikan
Idul Adha Sebagai Gaya Hidup
Lebih dari sekadar perayaan tahunan,
Idul Adha adalah filosofi hidup. Berbagi bukan hanya dilakukan setahun sekali,
tetapi menjadi kebiasaan harian. Jika semangat qurban bisa menjelma menjadi
gaya hidup, maka kita telah menghidupkan nilai-nilai Idul Adha sepanjang tahun.
Berbagi tidak lagi menunggu momentum, tetapi menjadi karakter, menjadi budaya,
menjadi bagian dari ibadah sehari-hari.
Maka, ketika Idul Adha datang, kita
tidak sekadar menyembelih hewan, tetapi juga menurunkan ego. Tidak hanya
membagi daging, tetapi juga berbagi kasih sayang. Tidak hanya mengenang
pengorbanan Nabi Ibrahim, tetapi juga menjadi penerus semangatnya dalam
kehidupan yang nyata. Semoga Allah memberikan kita kemudahan dan istiqomah
menjadikan idul adha sebagai gaya hidup. Amin.
إرسال تعليق