Dr.H.Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd
Tanggal 1 Juni bukan sekadar tanggal sejarah. Ia adalah momen ketika para pendiri bangsa menyadari bahwa negeri ini terlalu besar untuk dibangun atas dasar sempit. Maka dipilihlah Pancasila—sebuah rumusan nilai yang bersumber dari akar kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dari kebudayaan, agama, dan akal sehat yang terbuka.
Saya kira, kebesaran Pancasila justru karena ia tak memihak pada satu golongan tertentu. Ia mengandung nilai-nilai universal yang juga ditemukan dalam ajaran agama manapun. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan—semuanya adalah nilai luhur yang bisa diterima oleh siapa saja, yang beriman maupun yang tak mengaku beriman.
Dalam suasana sosial kita hari ini, Pancasila kembali mendapat tantangan. Bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam: dari cara sebagian kita memahaminya secara sempit atau bahkan mencurigainya. Padahal Pancasila justru dibentuk untuk menghindari dominasi satu kelompok atas yang lain. Ia adalah jalan tengah yang arif—hasil dari ijtihad kebangsaan yang sangat luhur.
Saya sering mengatakan, agama dan Pancasila bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Keduanya bisa bertemu, bahkan saling menguatkan. Pancasila memberikan ruang hidup yang damai bagi semua pemeluk agama. Dan agama, pada hakikatnya, menuntun manusia menuju nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Jika Pancasila digugat karena dianggap sekuler, maka saya ingin mengatakan bahwa sekularisme dalam konteks Indonesia bukanlah pengusiran agama dari ruang publik. Ia justru memastikan bahwa semua agama punya ruang hidup yang setara. Tak ada yang ditinggikan, tak ada yang direndahkan.
Bangsa ini berdiri karena perbedaan. Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa Indonesia adalah kumpulan dari ribuan budaya, ratusan bahasa, dan puluhan agama. Menyatukannya dengan paksaan ideologi tunggal berbasis tafsir agama akan membuatnya rapuh. Pancasila menjaga agar yang majemuk ini tidak pecah.
Saya menyampaikan ini bukan dalam semangat defensif. Tapi dalam semangat memelihara warisan luhur yang telah diuji oleh sejarah. Pancasila lahir bukan di ruang steril, tapi dalam dinamika politik dan sosial yang keras. Ia lahir dari proses dialog, bukan pemaksaan.
Sebagaimana yang dikatakan Ir. Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945:
> “Apakah prinsip yang akan kita pakai untuk Indonesia merdeka? Saya usulkan lima: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan.”
Soekarno menyebut lima prinsip itu sebagai dasar yang “jika Tuan-tuan setuju, kita namakan dia: Pancasila.” Ia sadar bahwa negeri ini butuh dasar pemersatu yang tidak memihak pada satu golongan, melainkan mewakili jiwa seluruh bangsa.
Dalam konteks pemikiran, Cak Nur juga pernah menyampaikan bahwa:
> “Pancasila adalah titik temu antara semangat religius dan cita kebangsaan. Ia bukan kompromi, tapi konsensus yang cerdas dan beradab.”
Bagi beliau, Pancasila adalah bentuk “sekularisasi yang positif”, bukan anti-Tuhan, tapi pemisahan yang sehat antara tafsir agama dan kekuasaan negara demi keadilan dan keterbukaan.
Dalam konteks ini, saya percaya bahwa merawat Pancasila juga berarti merawat keindonesiaan kita. Dan itu berarti bersedia berbagi ruang, menghormati yang berbeda, dan tidak mudah menuduh mereka yang tak sepaham sebagai musuh.
Peringatan hari lahir Pancasila tahun 2025 ini berdekatan dengan suasana Idul Adha atau Idul Qurban. Saya jadi merenung tentang makna kurban itu sendiri secara sederhana. Bukan hanya dalam pengertian ritual, tetapi juga spiritual. Kita mesti rela mengorbankan ego kelompok demi keutuhan bangsa. Kadang, itu lebih sulit daripada menyembelih hewan.
Sebagaimana agama yang membutuhkan keikhlasan, Pancasila juga memerlukan komitmen. Ia tidak bisa dijaga hanya dengan pidato, tetapi dengan sikap hidup. Dengan memilih tidak memaki yang berbeda. Dengan tetap menolong meski tak sepaham. Dengan berani bicara bila kebencian mulai merajalela.
Anak-anak kita suatu hari akan bertanya: apakah kita telah menjaga warisan ini dengan baik? Apakah Pancasila hanya slogan, atau sungguh menjadi jalan hidup? Jawaban itu tidak perlu banyak kata. Cukup dengan tindakan-tindakan kecil yang menunjukkan bahwa kita memang cinta negeri ini
Semoga.
##################
*) Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Ketua Umum Agerlip PGM Indonesia
Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Sukabumi
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi MUI Kota Sukabumi
Ketua Komisi Bidang Pendidikan ICMI Kota Sukabumi
Litbang, Perpustakaan, Kajian dan Kurikulum DKM Masjid Agung Kota Sukabumi
Ketua FU-Warci (Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul) Kota Sukabumi
إرسال تعليق