(39) PGM Indonesia: Mampukah Guru Perempuan Menjadi Kunci Menuju Generasi Emas 2045 atau Sekadar Slogan Manis?

 

                                                Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.

Dalam arus besar menuju Indonesia Emas 2045, peran guru perempuan seringkali hanya disebut dalam pidato seremonial. Namun, Dr. Hj. Neni Argaeni, M.Pd.I, Wakil Ketua Umum PP PGM Indonesia, menegaskan bahwa guru perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi utama dalam pembangunan karakter bangsa. Hal ini diungkapkannya dalam forum Bincang Pendidikan Srikandi PGM Indonesia yang bertajuk "Peran dan Strategi Guru Perempuan dalam Menyiapkan Generasi Emas 2045".

Menurutnya, visi Indonesia Emas 2045 tak akan tercapai jika peran guru—terutama perempuan tidak diberdayakan secara sistematis. Generasi unggul tidak lahir dari kecanggihan teknologi semata, tetapi dari keteladanan, pendampingan, dan penguatan karakter sejak dini. Di sinilah guru perempuan berperan ganda: sebagai pendidik, ibu, sekaligus agen perubahan sosial.

Dokumen strategi PGM Indonesia menyatakan bahwa peningkatan kualitas dan profesionalitas guru madrasah adalah keniscayaan. Namun dalam praktiknya, guru perempuan kerap dihadapkan pada tumpukan peran tanpa dukungan memadai. Mereka dituntut profesional, cerdas, dan berakhlak, tapi masih bergelut dengan persoalan kesejahteraan dan beban kerja ganda.

Lebih dari sekadar retorika, strategi PGM Indonesia mengusulkan langkah-langkah konkret. Di antaranya, menyiapkan guru perempuan sebagai puteri, istri, ibu, serta profesional sosial. Program parenting menjadi salah satu bentuk sinergi antara pendidikan formal, informal, dan nonformal yang melibatkan masyarakat dan orang tua secara aktif.

Namun demikian, pertanyaannya: apakah strategi ini benar-benar diterapkan secara menyeluruh di lapangan? Masih banyak guru perempuan yang menjalankan peran strategis tanpa perlindungan regulasi yang kuat. Padahal, Undang-Undang Guru dan Dosen telah menegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional yang wajib didukung oleh sistem yang adil dan berpihak.

Pendidikan karakter bangsa, yang kini menjadi jargon tiap kurikulum, harus dimulai dari perlakuan adil terhadap pendidik. Guru perempuan yang menjalani fungsi ganda memerlukan pelatihan berkelanjutan, penghargaan setimpal, dan ruang berekspresi untuk inovasi. Tanpa itu, strategi sebesar apapun hanya akan menjadi dokumen kosong.

Salah satu solusi yang ditawarkan PGM Indonesia adalah peningkatan kolaborasi dengan pemerintah dalam memberikan pendidikan bagi orang tua atau parenting education. Sebab pendidikan bukan hanya tugas sekolah, tapi rumah dan masyarakat adalah ekosistem yang saling menopang.

Pernyataan Dr. Neni yang mengutip ayat-ayat suci dan sabda Rasulullah tentang akhlak mulia menunjukkan bahwa spiritualitas dan moralitas harus menjadi fondasi pendidikan. Guru perempuan yang mewariskan nilai ini bukan hanya mencetak siswa pintar, tapi manusia utuh yang siap menyambut abad emas.

Namun untuk itu semua, diperlukan keberanian politik dan anggaran. Apakah pemerintah siap menjadikan guru khususnya guru perempuan sebagai prioritas pembangunan SDM? Ataukah kita masih terjebak dalam euforia visi tanpa realisasi?

PGM Indonesia telah memulai langkah dengan merumuskan strategi. Kini saatnya semua pemangku kepentingan dari madrasah hingga kementerian menjadikan guru perempuan sebagai garda terdepan, bukan sekadar simbol.

Menuju 2045, kita tidak hanya butuh siswa yang cerdas, tapi guru yang sejahtera dan bermartabat. Karena masa depan bangsa bukan hanya tentang teknologi dan ekonomi, tapi tentang siapa yang membentuk karakter anak-anak hari ini.

Post a Comment

أحدث أقدم