Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.
Dalam arus besar menuju Indonesia Emas 2045, peran guru perempuan seringkali hanya disebut dalam pidato seremonial. Namun, Dr. Hj. Neni Argaeni, M.Pd.I, Wakil Ketua Umum PP PGM Indonesia, menegaskan bahwa guru perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi utama dalam pembangunan karakter bangsa. Hal ini diungkapkannya dalam forum Bincang Pendidikan Srikandi PGM Indonesia yang bertajuk "Peran dan Strategi Guru Perempuan dalam Menyiapkan Generasi Emas 2045".
Menurutnya, visi Indonesia Emas 2045 tak akan tercapai
jika peran guru—terutama perempuan tidak diberdayakan secara sistematis.
Generasi unggul tidak lahir dari kecanggihan teknologi semata, tetapi dari
keteladanan, pendampingan, dan penguatan karakter sejak dini. Di sinilah guru
perempuan berperan ganda: sebagai pendidik, ibu, sekaligus agen perubahan
sosial.
Dokumen strategi PGM Indonesia menyatakan bahwa
peningkatan kualitas dan profesionalitas guru madrasah adalah keniscayaan.
Namun dalam praktiknya, guru perempuan kerap dihadapkan pada tumpukan peran
tanpa dukungan memadai. Mereka dituntut profesional, cerdas, dan berakhlak,
tapi masih bergelut dengan persoalan kesejahteraan dan beban kerja ganda.
Lebih dari sekadar retorika, strategi PGM Indonesia
mengusulkan langkah-langkah konkret. Di antaranya, menyiapkan guru perempuan
sebagai puteri, istri, ibu, serta profesional sosial. Program parenting menjadi
salah satu bentuk sinergi antara pendidikan formal, informal, dan nonformal
yang melibatkan masyarakat dan orang tua secara aktif.
Namun demikian, pertanyaannya: apakah strategi ini
benar-benar diterapkan secara menyeluruh di lapangan? Masih banyak guru
perempuan yang menjalankan peran strategis tanpa perlindungan regulasi yang
kuat. Padahal, Undang-Undang Guru dan Dosen telah menegaskan bahwa guru adalah
pendidik profesional yang wajib didukung oleh sistem yang adil dan berpihak.
Pendidikan karakter bangsa, yang kini menjadi jargon
tiap kurikulum, harus dimulai dari perlakuan adil terhadap pendidik. Guru
perempuan yang menjalani fungsi ganda memerlukan pelatihan berkelanjutan,
penghargaan setimpal, dan ruang berekspresi untuk inovasi. Tanpa itu, strategi
sebesar apapun hanya akan menjadi dokumen kosong.
Salah satu solusi yang ditawarkan PGM Indonesia adalah
peningkatan kolaborasi dengan pemerintah dalam memberikan pendidikan bagi orang
tua atau parenting education. Sebab pendidikan bukan hanya tugas sekolah, tapi
rumah dan masyarakat adalah ekosistem yang saling menopang.
Pernyataan Dr. Neni yang mengutip ayat-ayat suci dan
sabda Rasulullah tentang akhlak mulia menunjukkan bahwa spiritualitas dan
moralitas harus menjadi fondasi pendidikan. Guru perempuan yang mewariskan
nilai ini bukan hanya mencetak siswa pintar, tapi manusia utuh yang siap
menyambut abad emas.
Namun untuk itu semua, diperlukan keberanian politik
dan anggaran. Apakah pemerintah siap menjadikan guru khususnya guru perempuan sebagai
prioritas pembangunan SDM? Ataukah kita masih terjebak dalam euforia visi tanpa
realisasi?
PGM Indonesia telah memulai langkah dengan merumuskan
strategi. Kini saatnya semua pemangku kepentingan dari madrasah hingga
kementerian menjadikan guru perempuan sebagai garda terdepan, bukan sekadar
simbol.
Menuju 2045, kita tidak hanya butuh siswa yang cerdas,
tapi guru yang sejahtera dan bermartabat. Karena masa depan bangsa bukan hanya
tentang teknologi dan ekonomi, tapi tentang siapa yang membentuk karakter
anak-anak hari ini.
إرسال تعليق