Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.
Stereotip bahwa perempuan tak cocok menjadi
pemimpin masih kerap terdengar di tengah masyarakat. Namun dalam forum “Bincang
Pendidikan Srikandi PGM Indonesia”, Dr. Aty Mulyani, Ketua Umum PGM Indonesia
Wilayah Provinsi Jambi, mematahkan stigma itu dengan pendekatan ilmiah,
sosial-budaya, dan nilai-nilai Islam yang komprehensif.
Melalui paparannya berjudul "Perempuan &
Kepemimpinan dalam Perspektif Sosial Budaya, Biologis, dan Islam untuk
Indonesia Emas", Dr. Aty mengurai realitas yang sering kali dipelintir
oleh tradisi dan tafsir sempit terhadap teks agama.
Budaya Mencetak Persepsi, Tapi Bukan
Takdir
Secara sosial budaya, peran perempuan selama ini
dikonstruksi oleh norma, adat, dan budaya yang patriarkis. Tradisionalnya,
laki-laki memimpin dan perempuan mengikuti. Namun dunia kini telah bergerak:
perempuan berada di garda depan sektor politik, pendidikan, bisnis, bahkan
militer. Perubahan ini bukan sekadar simbol, tetapi bukti bahwa kemampuan
perempuan bukan mitos, melainkan realitas.
Menurut Dr. Aty, konstruksi sosial harus dilihat
sebagai hal yang bisa diubah. Bukan hal sakral yang membatasi kiprah perempuan.
“Perempuan masa kini harus punya kesadaran atas potensi dirinya, baik sebagai
pendidik, pengambil kebijakan, maupun sebagai pemimpin masyarakat,” tegasnya.
Bukti Biologis Justru Menguatkan
Lalu, bagaimana dengan perspektif biologis? Justru
dari sisi ini, perempuan terbukti memiliki keunggulan untuk menjadi pemimpin
modern. Berdasarkan penelitian Ragini Verma (2013), otak perempuan memiliki
lebih banyak jaringan antarhemisfer, yang memperkuat kemampuan multitasking,
komunikasi, dan empati.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence
(1995) menegaskan bahwa kepemimpinan efektif hari ini ditentukan oleh
kecerdasan emosional—kemampuan memahami, mengelola emosi, serta menjalin
hubungan. Perempuan unggul dalam aspek ini.
Hormon oksitosin yang dominan dalam tubuh perempuan
juga memengaruhi perilaku kepemimpinan yang kolaboratif, peduli, dan
menciptakan iklim kerja harmonis. Ditambah lagi, menurut Harvard Business
Review (2020), daya tahan perempuan terhadap stres dan krisis lebih tinggi
dibanding laki-laki. Maka, siapa bilang perempuan tak bisa memimpin?
Islam: Kesetaraan dalam Nilai dan
Peran
Dalam perspektif Islam, perempuan dipandang mulia dan
setara di sisi Allah. QS. Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa kemuliaan
seseorang bukan dilihat dari jenis kelaminnya, tapi ketakwaannya. Al-Qur’an
bahkan mencatat sosok pemimpin perempuan: Ratu Balqis dalam Surah An-Naml, yang
disebut sebagai ratu bijak dan strategis.
Dr. Aty mengajak semua pihak untuk tidak menggunakan
teks agama secara parsial sebagai alat pembatas. “Islam justru membuka ruang
partisipasi aktif bagi perempuan di masyarakat. Kuncinya ada pada maslahat,
amanah, dan keadilan,” ujarnya.
Menuju Indonesia Emas: Saatnya
Maksimalkan Sumber Daya Perempuan
Indonesia tengah menyiapkan generasi emas 2045. Namun
visi besar ini takkan tercapai jika separuh potensi bangsa dibiarkan
terkungkung oleh stigma dan diskriminasi. Membangun Sumber Daya Perempuan
(SDP) yang kaffah adalah keniscayaan. Karena dari merekalah akan lahir SDM
unggul masa depan.
Perempuan bukan hanya ibu rumah tangga. Mereka adalah
pendidik, penggerak, pelindung, bahkan agen perubahan. Dalam dunia madrasah,
mereka berperan ganda: mendidik dengan hati dan memimpin dengan visi. Jika kita
masih meminggirkan perempuan dari kepemimpinan, kita bukan hanya mengkhianati
potensi bangsa, tapi juga membatasi kualitas masa depan.
Kepemimpinan perempuan bukan soal boleh atau tidak,
tapi soal bagaimana masyarakat menyediakan ruang yang adil. Ilmu pengetahuan,
budaya modern, dan Islam memberi dukungan kuat terhadap peran strategis
perempuan. Maka pertanyaannya kini bukan lagi bolehkah perempuan memimpin,
tetapi siapkah kita menerima kepemimpinan perempuan yang visioner dan
solutif?
إرسال تعليق