Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.
Isu keadilan gender bukan lagi milik ruang-ruang
aktivis atau seminar akademik belaka. Madrasah sebagai lembaga pendidikan
berbasis nilai keislaman justru punya peran krusial dalam menciptakan
lingkungan belajar yang adil bagi semua gender. Tapi, apakah madrasah hari ini
sudah benar-benar bebas dari bias? Atau justru masih memelihara ketimpangan
yang tak terlihat?
Dalam Webinar Bincang Pendidikan Srikandi PGM
Indonesia, Sulistya Budiwati menegaskan urgensi peran guru madrasah dalam
mewujudkan keadilan gender. Dengan tajuk “Peran Guru Madrasah dalam Mewujudkan
Keadilan Gender,” Sulistya mengupas tuntas tantangan, solusi, dan langkah nyata
yang bisa diambil.
Gender Bukan Sekadar Urusan
Perempuan
Sebelum berbicara soal keadilan, penting memahami
perbedaan antara gender dan seks. Gender adalah konstruksi sosial tentang peran
laki-laki dan perempuan, sedangkan seks adalah perbedaan biologis. Keadilan
gender berarti memberikan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang setara
bagi semua.
Sayangnya, di lingkungan madrasah, bias gender masih
terasa dalam bentuk yang subtil—buku teks yang menampilkan tokoh laki-laki
sebagai pemimpin, contoh soal yang menyudutkan perempuan, bahkan ucapan
sehari-hari guru yang tidak sadar mengandung stereotip.
Guru Madrasah: Agen Perubahan atau
Justru Pelestari Bias?
Guru adalah figur sentral yang dilihat, ditiru, dan
didengar oleh siswa setiap hari. Maka, keadilan gender harus dimulai dari guru
itu sendiri. Dalam paparannya, Sulistya menyebut tiga peran penting guru:
menjadi teladan adil, menggunakan bahasa inklusif, dan mendorong berpikir
kritis.
Misalnya, saat mengajar pelajaran sejarah atau bahasa,
guru bisa menyisipkan kisah perempuan berprestasi dan memunculkan diskusi
tentang peran gender. “Norma tidak selalu harus diterima begitu saja. Justru
madrasah bisa jadi tempat aman untuk menantangnya secara sehat,” ujar Sulistya.
Kurikulum dan Materi Ajar Butuh
Revisi Segera
Penting untuk melakukan revisi terhadap materi ajar
yang masih sarat stereotip. Buku teks perlu menampilkan figur perempuan dengan
beragam peran: pemimpin, ilmuwan, ulama, dan bukan hanya ibu rumah tangga atau
pendamping. Materi yang inklusif adalah kunci agar siswa belajar menghargai
semua gender sejak dini.
Guru juga dianjurkan menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran) yang menyisipkan isu-isu gender di mata pelajaran apapun, bukan
hanya pada pelajaran agama atau kewarganegaraan.
Lingkungan Aman dan Mendukung Bukan
Pilihan, Tapi Kewajiban
Keadilan gender juga harus tercermin dari atmosfer
madrasah. Perlu ada kebijakan anti diskriminasi dan mekanisme pencegahan
kekerasan berbasis gender. Layanan konseling, dukungan psikologis bagi korban,
dan pelibatan seluruh warga madrasah menjadi penting.
Tak kalah penting adalah ruang partisipasi bagi siswa
perempuan. Mereka harus dilibatkan aktif dalam organisasi, ekstrakurikuler, dan
forum-forum diskusi. “Program mentoring dan pelatihan kepemimpinan bisa
meningkatkan kepercayaan diri mereka,” papar Sulistya.
Kolaborasi: Guru Tidak Bisa Sendiri
Madrasah tidak bisa bekerja sendiri dalam menciptakan
keadilan gender. Kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat sangat penting.
Sosialisasi kepada orang tua tentang pentingnya kesetaraan dan keterlibatan
tokoh agama bisa memperkuat pesan yang diajarkan di sekolah.
Di tengah masyarakat yang masih memelihara norma
patriarkis, madrasah bisa menjadi agen perubahan kultural. Caranya? Dengan
menjadi ruang aman, inklusif, dan berpihak kepada keadilan.
Keadilan Dimulai dari Kesadaran
Perubahan besar seringkali dimulai dari langkah kecil.
Perubahan sikap guru, revisi kalimat di buku, hingga pemilihan tokoh inspiratif
dalam pelajaran bisa menggeser paradigma yang menindas.
Keadilan gender bukan soal siapa lebih unggul, tapi
siapa yang diberi ruang yang sama untuk tumbuh dan berkontribusi. Madrasah
punya peran strategis dalam menyiapkan generasi masa depan yang adil, kritis,
dan inklusif. Tapi semua itu hanya bisa terwujud jika para guru bersedia
berubah dan membebaskan diri dari bias lama.
إرسال تعليق