(41) PGM Indonesia: Madrasah Sudah Adil Gender atau Masih Bias Diam-diam? Peran Guru Jadi Penentu!

 

                                                   Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.

Isu keadilan gender bukan lagi milik ruang-ruang aktivis atau seminar akademik belaka. Madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis nilai keislaman justru punya peran krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang adil bagi semua gender. Tapi, apakah madrasah hari ini sudah benar-benar bebas dari bias? Atau justru masih memelihara ketimpangan yang tak terlihat?

Dalam Webinar Bincang Pendidikan Srikandi PGM Indonesia, Sulistya Budiwati menegaskan urgensi peran guru madrasah dalam mewujudkan keadilan gender. Dengan tajuk “Peran Guru Madrasah dalam Mewujudkan Keadilan Gender,” Sulistya mengupas tuntas tantangan, solusi, dan langkah nyata yang bisa diambil.

Gender Bukan Sekadar Urusan Perempuan

Sebelum berbicara soal keadilan, penting memahami perbedaan antara gender dan seks. Gender adalah konstruksi sosial tentang peran laki-laki dan perempuan, sedangkan seks adalah perbedaan biologis. Keadilan gender berarti memberikan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang setara bagi semua.

Sayangnya, di lingkungan madrasah, bias gender masih terasa dalam bentuk yang subtil—buku teks yang menampilkan tokoh laki-laki sebagai pemimpin, contoh soal yang menyudutkan perempuan, bahkan ucapan sehari-hari guru yang tidak sadar mengandung stereotip.

Guru Madrasah: Agen Perubahan atau Justru Pelestari Bias?

Guru adalah figur sentral yang dilihat, ditiru, dan didengar oleh siswa setiap hari. Maka, keadilan gender harus dimulai dari guru itu sendiri. Dalam paparannya, Sulistya menyebut tiga peran penting guru: menjadi teladan adil, menggunakan bahasa inklusif, dan mendorong berpikir kritis.

Misalnya, saat mengajar pelajaran sejarah atau bahasa, guru bisa menyisipkan kisah perempuan berprestasi dan memunculkan diskusi tentang peran gender. “Norma tidak selalu harus diterima begitu saja. Justru madrasah bisa jadi tempat aman untuk menantangnya secara sehat,” ujar Sulistya.

Kurikulum dan Materi Ajar Butuh Revisi Segera

Penting untuk melakukan revisi terhadap materi ajar yang masih sarat stereotip. Buku teks perlu menampilkan figur perempuan dengan beragam peran: pemimpin, ilmuwan, ulama, dan bukan hanya ibu rumah tangga atau pendamping. Materi yang inklusif adalah kunci agar siswa belajar menghargai semua gender sejak dini.

Guru juga dianjurkan menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang menyisipkan isu-isu gender di mata pelajaran apapun, bukan hanya pada pelajaran agama atau kewarganegaraan.

Lingkungan Aman dan Mendukung Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Keadilan gender juga harus tercermin dari atmosfer madrasah. Perlu ada kebijakan anti diskriminasi dan mekanisme pencegahan kekerasan berbasis gender. Layanan konseling, dukungan psikologis bagi korban, dan pelibatan seluruh warga madrasah menjadi penting.

Tak kalah penting adalah ruang partisipasi bagi siswa perempuan. Mereka harus dilibatkan aktif dalam organisasi, ekstrakurikuler, dan forum-forum diskusi. “Program mentoring dan pelatihan kepemimpinan bisa meningkatkan kepercayaan diri mereka,” papar Sulistya.

Kolaborasi: Guru Tidak Bisa Sendiri

Madrasah tidak bisa bekerja sendiri dalam menciptakan keadilan gender. Kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat sangat penting. Sosialisasi kepada orang tua tentang pentingnya kesetaraan dan keterlibatan tokoh agama bisa memperkuat pesan yang diajarkan di sekolah.

Di tengah masyarakat yang masih memelihara norma patriarkis, madrasah bisa menjadi agen perubahan kultural. Caranya? Dengan menjadi ruang aman, inklusif, dan berpihak kepada keadilan.

Keadilan Dimulai dari Kesadaran

Perubahan besar seringkali dimulai dari langkah kecil. Perubahan sikap guru, revisi kalimat di buku, hingga pemilihan tokoh inspiratif dalam pelajaran bisa menggeser paradigma yang menindas.

Keadilan gender bukan soal siapa lebih unggul, tapi siapa yang diberi ruang yang sama untuk tumbuh dan berkontribusi. Madrasah punya peran strategis dalam menyiapkan generasi masa depan yang adil, kritis, dan inklusif. Tapi semua itu hanya bisa terwujud jika para guru bersedia berubah dan membebaskan diri dari bias lama.

Post a Comment

أحدث أقدم