Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag.
Menuju tahun 2045, Indonesia bercita-cita menjadi
negara maju melalui pembangunan sumber daya manusia unggul. Namun, mimpi besar
ini berpotensi gagal jika dunia pendidikan masih terkungkung dalam budaya
patriarki dan bias gender yang membatasi potensi peserta didik. Di sinilah
pentingnya peran strategis guru perempuan, sebagaimana dipaparkan oleh Siti
Mutiah, S.Pd.I, M.Pd dalam forum Srikandi PGM Indonesia bertajuk “Peran
Strategis Guru Perempuan dalam Menyiapkan Generasi Emas 2045”.
Menurutnya, guru perempuan di madrasah tidak hanya
berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga pembentuk karakter dan penggerak
transformasi sosial. Sayangnya, mereka masih sering terjebak dalam sistem dan
budaya pendidikan yang menormalisasi ketimpangan peran berdasarkan gender.
Pendidikan Berbasis Gender: Bukan
Tren, Tapi Keperluan
Salah satu solusi yang diangkat adalah penerapan
pendidikan berbasis gender. Ini bukan tentang menyamakan semua hal, melainkan
menciptakan lingkungan belajar yang memahami perbedaan, sekaligus memberikan
kesempatan setara bagi semua siswa untuk berkembang.
Pendidikan berbasis gender mencakup penggunaan bahasa
inklusif, penghapusan stereotip dalam materi ajar, pelibatan siswa laki-laki
dan perempuan secara setara dalam kegiatan belajar, hingga diskusi terbuka
tentang isu gender di dalam kelas. “Guru perempuan bisa menjadi agen utama
dalam menerapkan pendekatan ini karena mereka tahu rasanya menjadi bagian dari
kelompok yang sering dipinggirkan,” ujar Siti.
Membongkar Patriarki Mulai dari
Ruang Kelas
Paparan ini juga menyentil langsung akar masalah:
sistem patriarki. Budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas dan
perempuan sebagai pelengkap telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat,
termasuk dalam sistem pendidikan.
Dampak dari patriarki tidak hanya dirasakan oleh
perempuan dalam bentuk subordinasi, stereotip, kekerasan, hingga minimnya akses
dan representasi. Laki-laki pun tak luput dari dampaknya, seperti tekanan
menjadi maskulin, beban sebagai pencari nafkah tunggal, dan stigma terhadap
ekspresi emosional.
“Membongkar patriarki bukan perang gender, tapi
perjuangan bersama untuk menciptakan masyarakat yang sehat, adil, dan
inklusif,” tegasnya.
Guru Perempuan: Teladan, Pemberdaya,
dan Pembangun Bangsa
Siti Mutiah menekankan bahwa guru perempuan harus
diberdayakan sebagai model peran yang kuat. Mereka bisa menjadi teladan dalam
mempromosikan kesetaraan, mendorong anak-anak perempuan percaya diri mengambil
peran strategis, dan membuka kesadaran anak laki-laki untuk menghormati serta
bekerja sama dengan setara.
Dengan mengembangkan keterampilan abad 21 seperti
komunikasi, kolaborasi, literasi digital, dan empati, guru perempuan bisa
membantu siswa melampaui batas-batas gender yang kaku.
Tak kalah penting, guru perempuan juga perlu terus
dilatih agar memiliki perspektif gender yang kuat dan mampu menyisipkan
nilai-nilai keadilan dalam kurikulum dan strategi pembelajaran mereka.
Visi 2045 Tak Akan Terwujud Tanpa
Keadilan Gender
Generasi emas tidak akan lahir dari sistem yang tidak
adil. Sebuah negara tidak bisa besar jika masih setengah dari rakyatnya
dibatasi potensi dan perannya. Oleh karena itu, membongkar patriarki di dunia
pendidikan bukanlah pilihan, tetapi keniscayaan.
Langkah-langkah strategis seperti revisi kurikulum,
pelatihan guru, kolaborasi dengan masyarakat, hingga kampanye kesadaran publik
harus terus didorong. Ini bukan sekadar program, tetapi investasi masa depan.
Mendidik Adil, Membangun Bangsa
Perubahan selalu dimulai dari ruang-ruang kecil:
kelas, diskusi, dan percakapan sehari-hari. Di sanalah benih keadilan bisa
ditanam. Guru perempuan adalah pilar penting dalam menyiapkan generasi yang
kritis, adil, dan bebas dari belenggu bias lama.
Jika kita sungguh ingin melihat Indonesia gemilang di
2045, maka mari kita mulai dari memberdayakan guru perempuan hari ini.
إرسال تعليق