Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag, S.Pd, M.Ag
Di tengah tantangan krisis mutu pendidikan dan
rendahnya hasil asesmen nasional maupun PISA, konsep “Pembelajaran Mendalam”
menjadi jawaban strategis yang diusung Kementerian Agama. Namun, gagasan ini
tak akan berjalan tanpa elemen kunci yang kerap luput disorot: pendamping
madrasah. Siapa sangka, mereka bukan sekadar fasilitator teknis, tetapi agen
transformasi yang mampu mengubah wajah pendidikan dari dalam.
Permasalahan pendidikan madrasah tak bisa
dianggap sepele. Keterbatasan sumber daya, pemahaman konsep yang belum merata,
hingga budaya pembelajaran yang masih berorientasi pada hafalan menjadi
penghambat utama.
Pendamping madrasah hadir sebagai penggerak
perubahan yang menjembatani kebijakan dan implementasi konkret di ruang kelas.
Dengan tugas meliputi coaching, mentoring, consulting, facilitating, dan
training, pendamping tak hanya membekali guru dengan strategi, tapi juga
menanamkan cara berpikir baru.
Mengacu pada PermenpanRB 21/2024 dan Perdirjen
GTK 7328/2023, pendamping madrasah diposisikan sebagai tokoh sentral dalam
penguatan kompetensi guru dan transformasi sistem pembelajaran.
Mereka tidak hanya memastikan guru memahami
rencana pembelajaran yang efektif, tetapi juga membimbing penyusunan kurikulum
kontekstual, mengembangkan strategi asesmen mendalam, dan memanfaatkan
teknologi digital untuk efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar.
Mengapa peran ini begitu vital? Karena
pembelajaran mendalam bukan sekadar pendekatan baru, melainkan budaya belajar
yang memuliakan potensi manusia. Peserta didik tidak hanya diajak memahami
materi, tetapi dilibatkan secara aktif, disadarkan untuk belajar mandiri, serta
diarahkan menjadi pemikir kritis dengan keterampilan lintas disiplin.
Di sinilah pendamping memegang peranan penting:
membina guru agar mampu menjadi fasilitator pembelajaran yang humanis, kreatif,
dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Namun, idealisme saja tidak cukup. Tantangan di
lapangan seperti minimnya pelatihan, tidak meratanya alokasi anggaran, serta
kurangnya kolaborasi antara pendamping dan pemangku kebijakan sering kali
membuat peran mereka tidak optimal.
Dibutuhkan sistem pendampingan yang terstruktur,
pelatihan berkelanjutan, serta penguatan monitoring dan evaluasi yang konkret.
Kuesioner kepuasan guru, laporan berkala, hingga telaah instrumen monitoring
harus dilakukan secara sistematis untuk memastikan pembelajaran mendalam
berjalan efektif dan bermakna.
Kisah sukses beberapa madrasah yang mengalami
peningkatan kualitas pembelajaran membuktikan bahwa peran pendamping bukan
sekadar formalitas. Komitmen kepala madrasah, dukungan orang tua, dan
kolaborasi antar guru yang diperkuat oleh pendamping berdampak langsung pada
semangat belajar peserta didik, termasuk meningkatnya partisipasi dalam
kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler.
Optimalisasi peran pendamping bukan hanya soal
individu, tapi tentang ekosistem. Pemerintah perlu memastikan dukungan
kebijakan yang konkret: alokasi anggaran yang memadai, standar pelayanan
pendidikan yang terukur, dan pelibatan masyarakat sebagai mitra aktif.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan harus menjadi
ruang kolaboratif, bukan hanya bagi guru dan siswa, tetapi juga bagi pendamping
yang bekerja di belakang layar.
Kesimpulannya, menjadikan pendamping madrasah
sebagai garda depan transformasi pendidikan adalah langkah strategis yang sudah
seharusnya diperkuat secara nasional. Di tengah visi Indonesia Emas 2045 dan
bonus demografi yang menanti, investasi pada pendamping madrasah adalah
investasi pada masa depan.
Tak cukup sekadar perubahan kurikulum, Indonesia
butuh perubahan budaya belajar dan itu dimulai dari mereka yang mendampingi di
akar rumput.
Apakah madrasah Anda sudah punya pendamping yang
digdaya? Atau masih berjalan sendiri menavigasi kompleksitas pembelajaran zaman
kini? Inilah saatnya menjadikan pendamping madrasah sebagai mitra strategis,
bukan pelengkap administratif semata.
إرسال تعليق