Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Indonesia kembali menjadi sorotan dunia, namun
kali ini bukan karena prestasi membanggakan, melainkan karena fakta
mencengangkan: negara ini menempati peringkat keempat dunia dalam kategori
produksi sampah pangan atau food loss and waste.
Fakta ini diungkap oleh Utusan Khusus Presiden
Bidang Ketahanan Pangan, Muhamad Mardiono, dalam sebuah diskusi di Menara
Kompas, Jakarta, Kamis (24/4/2025). Temuan ini bukan sekadar opini, melainkan
hasil dari diskusi resmi bersama Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB,
yang dilakukan pada tahun 2023 di Italia dan Thailand.
Menurut Mardiono, skala pemborosan pangan di
Indonesia sudah masuk kategori darurat. “Di Indonesia ini tingkat pemborosan
atau disebut sebagai food loss and waste itu mencapai angka yang cukup
besar, dan kita berdasarkan diskusi dengan FAO pada dua tahun yang lalu bahwa
Indonesia menduduki ranking keempat,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa dampak ekonomi
dari masalah ini sangat besar, yakni kerugian mencapai Rp500 triliun setiap
tahun. Angka yang luar biasa ini seharusnya cukup membuat seluruh pemangku
kebijakan dan masyarakat tergerak.
Apa sebenarnya yang menyebabkan Indonesia begitu
boros dalam urusan makanan? Banyak faktor yang berkontribusi. Mulai dari
perilaku konsumtif rumah tangga, budaya prasmanan yang tidak memperhitungkan
porsi, distribusi pangan yang tidak merata, hingga sistem pertanian dan
logistik yang belum optimal.
Ironisnya, di sisi lain, masih banyak masyarakat
yang mengalami kekurangan gizi dan sulit mengakses makanan bergizi.
Masalah ini tentu bukan hanya urusan dapur atau
kantin sekolah, tapi sudah menyentuh persoalan struktural yang menyangkut
ketahanan pangan nasional.
Terbuangnya makanan sama dengan terbuangnya
sumber daya air, energi, lahan, dan tenaga kerja yang seharusnya bisa
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan, food loss and waste juga
menyumbang emisi karbon yang memperparah krisis iklim global.
Sementara Indonesia masih bergelut mencari pola
penyelesaian, beberapa negara sudah bergerak lebih jauh dengan cara-cara
inovatif. Prancis dan Belgia, misalnya, membagikan ayam gratis kepada rumah
tangga.
Bukan untuk dimakan, tapi untuk dijadikan ‘mesin
daur ulang’ limbah organik. Setiap ekor ayam bisa mengonsumsi hingga 150
kilogram sampah makanan per tahun. Selain mengurangi limbah, kebijakan ini juga
mempererat hubungan warga dengan lingkungan dan sumber pangannya.
Inspirasi dari luar negeri tentu patut ditelaah
dan dimodifikasi sesuai konteks Indonesia. Tak semua pendekatan bisa langsung
diimpor, tapi prinsip dasarnya yakni kolaborasi antara kebijakan negara dan
kesadaran masyarakat harus dijadikan fondasi utama. Edukasi publik mengenai
pentingnya belanja bijak, konsumsi sadar, dan manajemen sisa makanan bisa
dimulai dari ruang kelas hingga media sosial.
Sekolah dan madrasah juga bisa mengambil peran
strategis. Kampanye “piring kosong tanpa sisa”, program bank makanan di kantin,
hingga pembelajaran kontekstual tentang daur ulang dan pertanian kota dapat
menjadi solusi jangka panjang.
Di sisi lain, pemerintah perlu memperkuat
regulasi industri makanan, memperbaiki rantai distribusi, serta mendorong
inovasi teknologi pengelolaan sisa pangan.
Persoalan food loss and waste bukan lagi isu
pinggiran, melainkan tantangan sentral dalam pembangunan berkelanjutan. Jika
Indonesia terus berada di posisi keempat dunia sebagai penyumbang sampah pangan
terbesar, maka bukan hanya kerugian ekonomi yang ditanggung, tetapi juga
reputasi dan masa depan ketahanan pangan bangsa.
Sudah waktunya seluruh lapisan masyarakat dari
rumah tangga, sekolah, industri, hingga pemerintah beraksi nyata. Sebab,
menyelamatkan makanan bukan soal selera, tapi soal masa depan.
Demikian informasi terkini dilansir dari https://www.instagram.com/gutasi.adv/
Inilah saatnya kita bertanya lebih dalam: apakah
kita akan terus menjadi bangsa yang membuang makanan di tengah kelaparan? Atau
mulai menjadi pelopor perubahan demi ketahanan pangan yang adil, efisien, dan
berkelanjutan?
إرسال تعليق